Berita kunjungan Hina Jilani:
Berita kunjungan Hina Jilani:
UN Indonesia Press Release, 5 June 2007
Special Representatives of the Secretary-General on the Situation of Human Rights Defenders Visits Indonesia
Jakarta, 5 June 2007 – The Special Representative of the Secretary-General on the situation of Human Rights Defenders, Ms Hina Jilani, is visiting the Republic of Indonesia from 5 to 13 June 2007 at the invitation of the Government.
The purpose of the visit is to assess the situation of human rights defenders, and to examine the legal framework as well as the environment in which they function for the protection and promotion of human rights. After the visit, a report containing the Special Representative's findings and recommendations will be published and presented to the United Nations Human Rights Council.
The Special Representative is scheduled to meet, among other Indonesian officials, with the Minister for Foreign Affairs, the Minister for Defense, the Minister for Home Affairs, the Minister for Law and Human Rights, the Director-General for Human Rights, the Director-General for Corrections, the Chief Justice of the Constitutional Court, the Deputy Chief Justice on Judiciary Matters, the Attorney General on General Crimes, the Chief of Military Armed Forces, the Chief of the National Police, the Chairman of the National Commission on Human Rights, the Chairperson of the National Commission on Women, and the Ombudsman.
She will also meet with a wide ranging segment of civil society and the press, and with representatives of the United Nations. The Special Representative is scheduled to visit Jakarta, Aceh, and West Papua where she has also requested to meet with relevant actors within the local authorities and civil society. Ms. Jilani will give a press conference in Jakarta at the end of the mission on 12 June 2007, at which she will present her preliminary findings.
Ms. Jilani, an advocate at the Supreme Court of Pakistan, was appointed Special Representative of the Secretary-General in August 2000.
DETIKCOM, 5 June 2007
Wakil Sekjen PBB Urusan HAM Sambangi Indonesia
Rafiqa Qurrata A - detikcom
Jakarta - Situasi pembela HAM di Indonesia akan ditinjau langsung Wakil Sekjen PBB Urusan Situasi Pembela HAM, Hina Jilani. Kunjungan Jilani dimulai hari ini, 5 Juni 2007 dan berakhir pada 13 Juni 2007.
"Beliau juga akan mempelajari kerangka hukum serta keadaan dimana kerangka hukum tersebut berfungsi untuk melindungi dan mempromosikan HAM," kata staf Kantor Komunikasi PBB di Indonesia, Laksmita Noviera, dalam keterangan yang diterima detikcom, Selasa (5/6/2007).
Jilani adalah seorang pengacara di Mahkamah Agung Pakistan. Jabatan Wakil Khusus Sekjen PBB dipegang sejak tahun 2000.
Di Indonesia, Jilani dijadwalkan bertemu dengan 4 menteri, yaitu Menlu, Menhan, Mendagri, dan Menkum HAM. Dia juga akan berjumpa dengan Dirjen HAM, Dirjen Lapas, Ketua MK, Ketua Muda MA bidang Peradilan, Jampidum, Panglima TNI, Kapolri, Ketua Komnas HAM, dan Ketua Komnas Perempuan.
"Temuan dan rekomendasi Sekjen PBB ini nantinya akan dipublikasikan dan dipresentasikan kepada Dewan HAM PBB," kata Laksmita.
Selain pejabat pemerintah, Jilani akan bertemu dengan berbagai organisasi kemasyarakatan dan pers. Dia juga akan berkunjung ke Aceh dan Papua Barat. (fiq/bal)
ADNKRONOS International, 5 June 2007
INDONESIA: U.N. REPRESENTATIVE VISITS TO CHECK HUMAN RIGHTS SITUATION
Jakarta, 5 June (AKI) - The Special Representative of UN Secretary-General Ban Ki-moon on the situation of Human Rights Defenders, Hina Jilani, arrived Tuesday in Jakarta for a week-long visit aimed at assessing the situation of human rights defenders and to examine the legal framework and the environment in which they operate. Hina Jilani, who is an advocate at the Supreme Court of Pakistan, was appointed to her current position in 2000, is scheduled to meet Indonesian ministers, police officials, lawyers and rights activists.
She is scheduled to visit Jakarta, Aceh, and West Papua.
After the visit, a report containing her findings and recommendations will be published and presented to the United Nations Human Rights Council. The visit is at the request of the Indonesian government.
(Rar/Aki)
KOMPAS CYBER MEDIA, 5 June 2007
Pertemuan Utusan Khusus PBB Tertutup
Jakarta, Kompas - Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembela Hak Asasi Manusia, Hina Jilani, akan mengadakan pertemuan tertutup dengan Komite Solidaritas untuk Munir. Pertemuan akan berlangsung pada hari Rabu (6/6) dan dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan penyidikan kasus pembunuhan Munir. Komite Solidaritas untuk Munir diwakili Usman Hamid dan Suciwati, istri Munir.
"Pertemuan tertutup atas permintaan Jilani. Mungkin karena dia butuh data yang lebih detail tentang kasus Munir, untuk melengkapi data yang didapat dari pemerintah," kata Usman, Senin (4/6) di Jakarta. Jilani berada di Indonesia pada 6-14 Juni 2007.
Dalam pertemuan yang akan berlangsung satu hingga dua jam dan baru pertama kali dilakukan langsung dengan utusan khusus Sekjen PBB itu, Usman berniat menjelaskan berbagai hal tentang kasus Munir. Misalnya, mengapa kasus itu tidak kunjung selesai, bagaimana kinerja penegak hukum, kerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan DPR.
Pada 7 Juni 2007, Jilani akan mendengarkan pengalaman kekerasan terhadap pembela HAM yang dilakukan kelompok fundamentalis bersenjata, kekerasan pada masa konflik dan sesudah konflik, serta kekerasan yang dialami pembela HAM saat mengungkap kasus korupsi dan penyalahgunaan kekerasan.
Dalam acara yang berlangsung terbuka itu, Jilani juga akan mendengarkan pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap pembela HAM, serta kekerasan yang dialami pembela HAM yang bekerja bagi kelompok rentan diskriminasi dan kekerasan. Setelah itu, dia ke Aceh dan kemungkinan ke Papua.
Koordinator Human Right Working Group Rafendi Djamin mengakui, hasil kunjungan Jilani dilaporkan dalam sidang Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss, April 2008. Apa pun laporannya akan ditanggapi Dewan HAM. (NWO)
VOICE OF HUMAN RIGHTS, 6 June 2007
Perlindungan Pembela HAM
Hina Jilani Datangi Mahkamah Konstitusi
Jakarta - Perwakilan Khusus Sekjen PBB Bidang Hak Asasi Manusia, Hina Jilani, Rabu (6/6) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi. Dia meminta informasi mengenai perlindungan bagi pembela HAM di Indonesia.
Hina Jilani menyatakan kunjungannya ke Indonesia selama tanggal 4 hingga 15 Juni untuk mencari, menerima, meneliti, dan menjawab informasi tentang situasi HAM, khususnya perlindungan bagi penegak HAM. "Saya ke sini tidak membahas kasus per kasus, seperti kasus Munir, tapi fokus pada perlindungan para penegak HAM.”
Seusai pertemuan, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, Hina Jilani berkunjung untuk mengetahui peran Mahkamah Konstitusi dalam melindungi para pembela HAM. "Tidak ada kaitan dengan kasus-kasus tertentu.”
Hina Jilani juga berencana mengunjungi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Rencana itu berkaitan dengan laporan tahunan Perwakilan Khusus Sekjen PBB Bidang HAM sebelumnya perihal banyaknya pelanggaran terhadap pembela HAM di kedua provinsi tersebut. Pada 12 Juni dia akan menggelar konferensi pers untuk menjelaskan hasil kunjungan dai Indonesia.
Pejabat tinggi pemerintah yang akan ditemui Hina Jilani adalah Wakil Presiden, Menkopolhukam, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menneg Lingkungan Hidup, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Kepala BPN, Ketua MK, Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, dan Panglima TNI. (E1)
VOICE OF HUMAN RIGHTS, 7 Juni 2007
Hina Jilani:
Indonesia Belum Lindungi Pembela HAM
Jakarta - Pemerintah Indonesia belum melakukan perubahan kebijakan mendasar dalam melindungi para pembela hak asasi manusia. Sampai saat ini Indonesia belum membuat kebijakan nyata.
Demikian pernyataan Perwakilan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM, Hina Jilani, dalam dengar pendapat dengan sejumlah LSM HAM Indonesia di Jakarta, Kamis (7/6).
“Saya melihat di Indonesia cukup ada kemajuan, tapi hal itu harus dinyatakan secara tegas. Jangan hanya wacana,” katanya.
Hina Jilani meminta para pejuang HAM Indonesia lebih akurat mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran kemanusiaan. Hal itu dilakukan untuk menghindari serangan balik melalui jalur hukum dari para pelanggar HAM.
Koordinator Kontras Sulawesi Edmond Leonardo mengatakan, para penggiat HAM di daerah konflik seperti Poso bahkan kerap menjadi korban pelanggaran seperti pelecehan seksual dan intimidasi. “Pemerintah Indonesia dari Orde Baru sampai pemerintahan SBY- JK sekarang sama sekali belum memberikan jaminan keamanan bagi pembela HAM.”
Hina Jilani, perempuan asal Pakistan yang mengagas berdirinya lembaga bantuan hukum pertama di negaranya ini, juga menyayangkan belum terjaminnya hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia. Selama kunjungannya di Indonesia, dia menemukan bukti bahwa kemiskinan di negara ini meningkat disertai tingginya biaya kesehatan dan pendidikan.
Kunjungan Hina Jilani ke Indonesia merupakan pelaksanaan mandat Sekjen PBB atas permintaan Komisi HAM untuk memantau kemajuan penegakan HAM di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hina Jilani akan mengakhiri kunjungannya di Indonesia pada 13 Juni nanti dan hasil kunjungannya akan dilaporkan pada rapat Dewan HAM PBB tahun ini. (E1)
TEMPO INTERAKTIF, 7 Juni 2007
UN Special Envoy Questions Human Rights Upholding
Thursday, 07 June, 2007 | 14:45 WIB
TEMPO Interactive, Jakarta: Hina Jilani, a special representative of the United Nations (UN) Secretary General, came to the Constitutional Court yesterday (6/6) as a part of her visit to Indonesia regarding the upholding of human rights.
During the one-hour meeting, Constitutional Court Chief, Jimly Asshiddiqie, explained the Court's role in the upholding of human rights.
“There was no connection to any specific cases,” said Jimly.
He went on to say that this was because specific human rights cases such as the Munir murder case are regarded as being more related to the roles of the executive and ordinary judiciary.
Jilani said that her visit would last from June 4 until June 15 and that she was scheduled to meet with officials including: the Vice President; the Coordinating Minister for political, Legal and Security Affairs; the Foreign Affairs Minister; the Justice and Human Rights Minister; the Home Affairs Minister; the Defense Minister; the Manpower and Transmigration Minister; the State Minister for the Environment; Agriculture Minister; the Finance Minister and the Head of the National Land Agency (BPN).
“My coming here will focus on the matter of human rights upholding,” said Jilani.
Therefore, while she is in Indonesia she will also meet with law enforcement officers, non-governmental organizations (NGOs) and lawyers.
“I'll also meet with the National Police Chief, the Indonesian Military (TNI) Commander, the Supreme Court Chairman and the Attorney General,” she said
When asked about human rights violation such as the murder of human rights defender activist, Munir, and the clash between marines and locals in Pasuruan, Jilani refused to comment.
“I'll explain later,” she said.
Rafensi Djamin, Coordinator of the Human Rights Working Group, said that his organization—an association union of around 40 NGOs dealing with human rights—will convey the demand of the importance of protection for human rights defender via Jilani.
“We hope that the envoy can give the government recommendations to make a frame of protection for human rights defenders,” he said.
RINI KUSTIANI
DETIKCOM, 7 June 2007
Dephan Janji Jamin Pembela HAM
M. Rizal Maslan - detikcom
Jakarta - Departemen Pertahanan (Dephan) berjanji menjamin perlindungan terhadap sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membela hak asasi manusia (HAM). Jaminan ini akan disampaikan kepada Wakil Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani.
"Saya tunggu kedatangan beliau. Kemarin sebenarnya dijadwalkan, tapi saya sedang menghadiri rapat di DPR mewakili presiden dan menteri lain," kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono usai diskusi tentang 'Pencegahan konflik dan pembangunan yang damai' di Gedung LIPI, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (7/6/2007).
Juwono menjelaskan, Jilani merupakan sosok yang sangat konsern tentang perlindungan terhadap LSM yang membela HAM, termasuk di Indonesia. "Ia meminta jaminan bahwa LSM yang bergerak di bidang HAM jangan sampai terancam," jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Juwono juga menegaskan, dirinya akan menjamin TNI tetap berkomitmen untuk melindungi sejumlah LSM tersebut. "Termasuk yang sering mengganggunya (TNI), kita jamin itu," tegasnya.
Juwono juga menyatakan, datang atau tidaknya Hina Jilani ke Indonesia, pemerintah sangat berkomitmen untuk melindungi LSM tersebut. Walau begitu, Juwono mengakui, adanya pembatasan terhadap sejulah LSM asing untuk masuk ke wilayah Papua.
Sebab, lanjut dia, bila dibiarkan, justru akan memicu konflik di antara masyarakat di Papua. Sebagian masyarakat di Papua ada yang menuding kedatangan orang asing sebagai tempat pengaduan.
"Daripada menimbulkan kerawanan, kita batasi. Kita selektif untuk membiarkan wartawan atau atase pertahanan negara asing datang ke Papua," tandasnya.
Wakil Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani meminta pemerintah Indonesia harus menyusun prosedur dan mekanisme untuk pembela HAM.
Menurut Jilani yang jugaberprofesi sebagai pengacara di MA Pakistan ini dalam kunjungannya di Jakarta, jaminan perlindungan terhadap pembela HAM di Indonesia dirasakan masih sangat minim. (zal/sss)
DETIKCOM, 7 June 2007
7/06/2007 17:19 WIB
Wasekjen PBB: RI Harus Tahu Apa itu Pembela HAM
Oskar Birawa - detikcom
Jakarta - Kasus pelanggaran HAM di Indonesia diakui cukup banyak. Namun jaminan perlindungan terhadap pembela HAM dirasakan masih sangat minim.
"Pemerintah harus menyusun prosedur dan mekanisme untuk pembela HAM," kata Wakil Sekjen PBB Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani.
Hal tersebut disampaikan Jilani yang juga berprofesi sebagai pengacara di MA Pakistan ini dalam acara Public Hearing Pembela HAM Indonesia di Goethe House, Jl Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/6/2007).
Sementara Ketua Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mendesak pemerintah harus menciptakan situasi yang kondusif bagi para aktivis pembela HAM.
"Pemerintah harus memberikan jaminan atas hak berpendapat, berkumpul dan berorganisasi. Pembela HAM mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi," kata Rafendi.
Acara dihadiri para aktivis dan sejumlah LSM yang yang dikenal getol memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia, antara lain Imparsial, Kontras, LBH, LPSHAM, Komnas Perempuan, dan HRWG. (bal/sss)
KOMPAS CYBER MEDIA, 7 June 2007
Perlindungan Pembela HAM Perlu Diperhatikan
Wakil Khusus Sekjen PBB Temui Ketua Mahkamah Konstitusi
Jakarta, Kompas - Wakil Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB Hina Jilani meminta Pemerintah Indonesia memerhatikan perlindungan para pembela hak asasi manusia atau HAM. Perlindungan terhadap keselamatan semua pembela HAM adalah sesuatu yang sangat penting.
Hal itu diutarakan Hina Jilani seusai menemui Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie di Kantor MK, Jakarta, Rabu (6/6). Dalam pertemuan dengan Jimly, ia menyampaikan kepedulian PBB terhadap keselamatan aktivis pembela HAM dan juga pentingnya akses terhadap keadilan bagi rakyat miskin.
Seusai pertemuan, Hina menjelaskan, meski ia membawa wacana HAM, ia memfokuskan pada perlindungan keselamatan aktivis pembela HAM, termasuk bagaimana cara mereka bekerja. Aktivis pembela HAM itu bisa wartawan, pengacara, dan penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Soal kepedulian internasional terhadap kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir dalam pesawat Garuda Indonesia, Hina mengatakan, "Kasus itu secara pribadi merupakan kasus istimewa. Saya sudah menyampaikan pemikiran dan pandangan saya kepada Pemerintah Indonesia. Saya berharap selama rangkaian masa tugas bisa mengemukakan persoalan ini kepada pejabat yang saya temui dan bisa mendapatkan masukan-masukan dari mereka."
Selain menemui pejabat di Jakarta dan Komnas HAM, ia juga akan menemui pejabat di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam. Ia juga bertemu dengan aktivis HAM.
Pejabat pemerintah yang ingin ditemui antara lain Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Ia juga ingin bertemu dengan Panglima TNI Marsekal (TNI) Djoko Suyanto dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto.
Hina juga akan ke Aceh dan Papua. Mengenai hasil dari kunjungannya ke Indonesia, ia akan menggelar jumpa pers pada 12 Juni mendatang di Kantor Perwakilan PBB Jakarta.
Sejak tahun 2004, Wakil Khusus Sekjen PBB tentang Situasi Para Pembela HAM mengajukan permohonan kepada Pemerintah Indonesia agar dapat diundang untuk melakukan kunjungan resmi. Tahun 2006, pemerintah memutuskan memenuhi permintaan itu untuk memberi kesempatan kepada Wakil Khusus menyaksikan kondisi pembela HAM di Indonesia.
Tahun 2003 terdapat 13 kasus kekerasan terhadap pembela HAM yang dilaporkan ke PBB. Tahun 2004 terdapat 13 kasus juga. Tahun 2005 terdapat tujuh kasus dan tahun 2006 dua kasus. Dalam laporan tahun 2007 sudah terdapat tujuh kasus kekerasan terhadap pembela HAM yang dilaporkan ke PBB. (vin)
ANTARA, 8 June 2007
UN secretary general`s special envoy visiting Papua
Jayapura, Papua (ANTARA News) - A special envoy of the United Nations secretary general, Hina Jilani, arrived here Friday on a Garuda Indonesia flight for a two-day visit.
Jilani arrived in Sentani airport at 7.45 a.m. after an eight-hour flight from Cengkareng airport in Banten province with transits at Denpasar`s Ngurah Rai airport and Timika in the country`s easternmost province of Papua.
Papua administration officials as well as Papua and West Irian Jaya human rights activists welcomed Jilani at Sentani airport.
Papua Governor Barnabas Suebu was not present at the airport as he was on a 40-day tour of the northern coastal and mountainous areas of less developed Papua province which he began last June 4.
During her stay in Jayapura, Jilani is scheduled to meet with provincial administration officials, military and police chiefs, members of the provincial legislative assembly and the Papuan People`s Council (MRP) as well as religious and non-governmental organization leaders.
At a meeting with Constitutional Court Chairman Jimly Asshiddiqie in Jakarta on Wednesday, Jilani asked the Indonesian government to pay due attention to the protection of human rights campaigners.
She said the United Nations was really concerned about protection of human rights campaigners and poor people`s access to justice.
Jilani was also scheduled to visit Aceh, the country`s westernmost province.
She will hold a press conference in Jakarta on June 12 on the results of her visit to Indonesia.
THE JAKARTA POST, 8 June 2007
UN rep hears RI human rights defenders testimonies
Several Indonesian human rights activists delivered five-minute reports on their work at a public hearing with a special UN representative in the hope of receiving greater protection and attention from the world body.
Receiving the reports was Special Representative of the UN Secretary General on Human Rights Defenders Hina Jilani.
Asiah, a human rights defender from the Aceh office of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence, said that during the 1989-2005 military operation in Aceh, seven human rights defenders were imprisoned, 150 were tortured, 25 were arrested, 20 were intimidated and 30 female human rights defenders were sexually harassed.
"Of all the violence cases, only two were handled by the police, but were stopped at the investigation level," Asiah said Thursday during the public hearing.
During her report she recounted a case in which three human rights volunteers had been murdered, reiterating that the matter remains unsolved despite the chronology of events and the identity of the murderer being known.
"The government and officials often say that our work and our data are bogus. We also see a shifting pattern from physical threats to psychological intimidation," she said.
Kusnul Hidayati, a defender from Yogyakarta who focuses on helping victims of the 1965 tragedy, said she has faced intimidation and stigma because of her work.
"My parents banished me from their house because they couldn't accept my activities. My mother thinks I'm a whore because she heard that female human rights defenders usually have a free-sex life," said the 33-year-old single woman.
The coordinator of Indonesian NGO Coalition for International Human Rights Advocacy, Rafendi Djamin, said the state should be responsible for protecting human rights activists, but that Indonesia had no such protection mechanisms.
"The government must comprehend that human rights activists can be anyone, such as lawyers, teachers and journalists, and the government should protect them as defenders of human rights," Rafendi said.
He added that the unsolved case of murdered human rights activist Munir Said Thalib is still of grave concern.
"There will be talks, open and closed, on this subject, especially about the government's efforts over the last two years and the political obstacles," he said.
"Mrs. Jilani is also giving special attention to the Munir case. She wants to know about this case first hand. If there are political obstacles, she can help initiate a political breakthrough."
Rafendi said that Jilani would report on the results of her visit at a 2008 UN Human Rights Council meeting. He added that the report would cover the meeting with the Indonesian human rights activists and officials and include a comparative study of the meetings and recommendations to the council.
"This could apply the pressure we need in the international forum because Indonesia is a member of the UN Human Rights Council. Indonesia must show consistency and be cooperative about international recommendations," he said.
Jilani said she had noticed changes in Indonesia, such as the establishment of democratic institutions, since the 1998 reforms, adding that these changes must be kept in motion to allow Indonesians to benefit from the reformation.
"I hope I will be able to identify the issues, make assessments and give recommendations for better human rights in Indonesia," she said. (14)
HUKUMONLINE, 8 Juni 2007
Kunjungan Hina Jilani dan Nasib Pembela HAM di Indonesia
Kedatangan Hina Jilani ke Indonesia benar-benar dimanfaatkan para aktivis human rights defender untuk curhat.
Begitulah yang tampak pada pertemuan di Goethe Haus Jakarta, sepanjang Kamis (07/6) kemarin. Satu per satu aktivis pembela hak asasi manusia bergantian menyampaikan uneg-uneg mereka. Hina Jilani tampak mendengarkan secara cermat curhat para aktivis tersebut.
Hina Jilani, wanita Pakistan yang berprofesi sebagai pengacara, datang ke Indonesia sebagai utusan khusus Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Urusan Situasi Pembela HAM. Ia akan berada di Indonesia selama sepekan. Kedatangan Hina benar-benar dimanfaatkan para aktivis HAM untuk menyampaikan pengalaman mereka selama ini mendampingi dan mengadvokasi masyarakat atau kelompok yang rentan pelanggaran hak asasi. “Kunjungan itu cukup berarti karena para pembela HAM belum mendapat perlindungan yang layak dari Pemerintah,” kata Wahyu Wagiman, aktivis Elsam.
Intimidasi, ancaman, kekerasan fisik hingga menjadikan instrumen hukum untuk melawan adalah tantangan yang banyak dihadapi para aktivis. Di depan Hina Jilani, para aktivis menyebut hambatan dengan sebutan diskriminasi, viktimisasi dan kriminalisasi. Pelakunya bervariasi mulai dari aparat hingga anggota keluarga sang aktivis.
Dengarlah apa yang dialami Nurlaila, Guru SMP 56 Melawai yang akhirnya harus duduk di kursi pesakitan karena melawan kebijakan ruislag sekolah itu ke tempat yang lebih jauh, sementara lokasi sekolah akan dijadikan gedung bisnis. Memang, PN Jakarta Selatan menyatakan ia bebas. Tetapi belakangan ia baru tahu, jaksa masih menempuh upaya hukum yang lebih tinggi. Nurlaila bukan hanya harus kehilangan sumber kehidupannya sebagai guru, tetapi juga dikriminalisasi.
Baby Jim Aditya, aktivis penderita HIV/AIDS menceritakan bagaimana dia segan hadir dalam perkawinan. “Karena kalau saya hadir seakan-akan salah satu dari mempelai adalah penderita (HIV/AIDS). Saya terstigma oleh profesi saya sendiri,” ceritanya. Wa Ode Habibah dari KPI Muna, Sulawesi Tenggara bahkan dituduh membakar rumahnya sendiri untuk mencari sensasi. “Itu fitnah! Rumah saya dibakar preman dengan kami terkunci di dalam,” tandasnya.
Kekerasan fisik dan ancaman pembunuhan juga tidak jarang dihadapi oleh orang-orang LSM ini. “150 orang disiksa, 25 ditangkap, 7 dipenjara, 30 aktivis perempuan dilecehkan, 5 kasus penggeledahan paksa, 2 orang hilang,” sembur Asiah, anggota Kontras Aceh.
“Kaki saya dibacok,” cerita Lery Mboeik, aktivis PIAR NTT. “Wartawan Bernas dibunuh 1996, wartawan Berita Sore hilang 2005, dan wartawan Delta Pos dibunuh 2006,” beber Abdul Manan dari AJI. “Saya diperkosa,” cetus Hartoyo, aktivis hak kaum homoseksual dan transeksual. Aktivis lain mengeluhkan gampangnya aparat menggunakan tuduhan mencemarkan nama baik untuk membungkam para aktivis. Begitulah, satu per satu para aktivis itu curhat.
Sembari memuji keberanian para aktivis HAM datang, Hina menandakan bahwa perlindungan terhadap para pembela HAM sebenarnya merupakan keniscayaan. PBB juga sudah mengadopsi sejumalh hak mereka melalui UN Declaration on Human Rights Defender. “Deklarasi ini harus diadopsi negara-negara tanpa pengecualian. Jika tidak diadopsi secara legal, minimal secara moral,” tandas Hina.
Beruntung, mereka bisa curhat kepada utusan khusus PBB. Banyak aktivis yang tak memiliki akses seperti mereka yang mendapatkan perlakuan tak baik saat menjalankan tugas. Hukumonline pernah mencatat bagaimana nasib seorang Abdul Muis P, aktivis yang dikejar-kejar aparat hukum dengan berbagai cara, setelah ia melaporkan dugaan korupsi kepala daerah suatu kabupaten di Sumatera Utara. Semula polisi menjeratnya dengan tuduhan melanggar UU Kearsipan hanya karena ia memiliki salinan hasil audit BPK. Lain waktu ia dituduh mencemarkan nama baik Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, tetap memberi perlindungan terhadap para aktivis. Termasuk mereka yang selama ini sering mengkritik Pemerintah.
Ada hubungan timbal balik antara penegakan HAM dengan pelanggaran terhadap hak-hak pembela HAM. Menurut Hina Jilani, semakin tinggi upaya penegakan HAM, semakin tinggi pula potensi ancaman terhadap para pembela HAM. Untuk itu, PBB terus mendorong agar negara-negara anggota memberikan perlindungan yang cukup kepada para aktivis pembela HAM. “Harus ada prosedur yang mendukung keamanan dan kredibilitas pembela HAM,” komentarnya.
Sedikit harapan terbersit dengan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Masalahnya, kata Emerson, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban belum terealisir karena terbentur pendanaan. Aktivis ICW ini berharap Hina Jilani bisa mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera merealisir LPSK tadi.
Sebelum mendengarkan curhat para aktivis, Hina Jilani berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kunjungan saya juga untuk memastikan apakah MK punya peranan sebagai perjuangan penegakan HAM di Indonesia,” ujar Jilani.
Hina juga ingin mendengar dan melihat langsung penerapan akses terhadap keadilan (access to justice) bagi warga negara yang hak-hak asasinya dilanggar. Ketua Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kebanyakan perkara yang masuk ke MK berkaitan dengan HAM. “Sebelas persen permohonan judicial review yang masuk dikabulkan,” jelas Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Hina Jilani memang sengaja diutus untuk menghimpun data, laporan dan masukan mengenai situasi pembela HAM. Indonesia bukan negara pertama yang dia kunjungi terkait tugas tersebut. Tahun lalu, Hina sudah menjalankan tugas special representative itu ke Brazil, Nigeria dan Palestina. Laporan-laporan yang disampaikan Hina pun bisa diakses dengan mudah.
Satu hal yang patut dicatat, aktivis tak bisa mengandalkan advokasinya dari belakang meja. Ia harus duduk dan berbicara dengan orang-orang yang mereka advokasi dan para pemangku kepentingan. Seperti yang pernah dikatakan Hina Jilani saat diwawancarai Michelle Stephenson, Koordinator Komite Pengacara HAM pada American Bar Association sebagaimana dikutip situs organisasi para advokat Amerika ini (www.abanet.org).
Hina berkata: “A human rights activist, but I could never be a human rights lawyer sitting at a desk. I have to go to court, that is something that inspires me most. To be able to go to court, to take a lot of cases, whether they're individual cases or collective rights cases-it gives me a lot of satisfaction. Even if I lose, it may not give me satisfaction, but it gives me the sense that I have to fight more. . . . There is a lot of frustration. The kinds of judges and the kind of judicial system that we work with are not the best environment to give you encouragement in the kind of work that we do”.
(CRP/M-3/M-5/Mys)
KOMPAS CYBER MEDIA, 8 June 2007
Utusan PBB Dihadang Puluhan Mahasiswa di Jayapura
Laporan Wartawan Kompas Aryo Wisanggeni G
JAYAPURA, KOMPAS- Intimidasi- Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa mengenai Pembela Hak Asasi Manusia, Hina Jilani dihadang puluhan mahasiswa di Swiss-Bel Hotel, Jayapura, Papua, Jumat (8/6). Para mahasiswa itu ingin menyampaikan aspirasi terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Awalnya, protokoler menolak mempertemukan para mahasiswa dengan Jilani, karena Jilani pada waktu yang sama dijadwalkan melakukan pertemuan dengan Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Tedjo Suprapto. Akan tetapi mahasiswa besi-kukuh menolak membubarkan diri sebelum mereka bertemu Jilani.
Para mahasiswa berbaris membarikade jalan keluar Swiss-Bel Hotel. Mereka membentangkan spanduk dan berbagai poster. Poster itu antara lain bertuliskan "Stop Killing in West Papua", "Stop Violence to Papuan People", dan "Welcome Mrs Hina Jilani, Who Carry Freedom for All The West Papua".
Sekitar pukul 09.15 WIT, akhirnya protokoler mempertemukan perwakilan mahasiswa dengan Jilani. Saat berjalan memasuki lobi hotel, salah satu wakil mahasiswa, Buchtar Tabuni, sempat marah karena sejumlah intel berusaha mengikuti rombongan yang akan menemui Jilani.
"Yang bukan wartawan tidak boleh ikut masuk. Kami tidak mau," kata Tabuni. Salah satu petugas protokoler pun melarang intel mengikuti
Tabuni yang akan melapor kepada Jilani.Saat bertemu Jilani, Tabuni, menyerahkan laporan tertulis yang tersimpan dalam map berwarna hijau. "Tolong disimpan, dokumen itu hanya untuk Anda," kata Tabuni kepada Jilani.
Jilani berjanji menjaga dokumen itu. Jilani pun mengundang mahasiswa untuk hadir dalam pertemuan dengan aktivis HAM di Papua pada Jumat sore. Setelah bertemu Jilani, mahasiswa pun membubarkan diri.
Hingga berita ini diturunkan, Jilani masih melakukan pertemuan tertutup dengan Sekretaris Daerah Tedjo Suprapto. Sepanjang Jumat, Jilani dijadwalkan untuk bertemu Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kepolisian Daerah Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Panglima Daerah Militer XVII/Trikora, Majelis Rakyat Papua, Rektor Universitas Cenderawasih, para tokoh agama dan aktivis HAM di Papua.
KOMPAS CYBER MEDIA, 8 June 2007
Kegiatan Intelijen dan Penambahan TNI di Papua Jadi Sorotan
Laporan Wartawan Kompas Aryo Wisanggeni G
JAYAPURA, KOMPAS- Dalam kunjungannya ke Jayapura, ibukota Provinsi Papua pada Jumat (8/6), Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pembela Hak Asasi Manusia, Hina Jilani, melakukan sejumlah pembicaraan dengan berbagai pihak, termasuk polisi, jaksa, dan Majelis Rakyat Papua. Dalam berbagai pimbicaraan itu, Jilani antara lain membicarakan kegiatan intelijen dan penambahan prajurit TNI di Provinsi Papua.
Kunjungan itu sempat diwarnai aksi penghadangan oleh Koalisi Masyarakat Peduli Papua yang ingin bertemu langsung dengan Jilani. Selain itu, kunjungan juga diwarnai aksi damai Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat yang sempat besitegang dengan polisi karena spanduk dan poster mereka disita.
Jilani mengawali kunjungannya dengan melakukan serangkaian dialog, antara lain dengan Sekretaris Daerah Provinsi Papua Tedjo Soeprapto dan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua Lorents Serworwora. Setelah itu, Jilani melakukan pertemuan tertutup dengan Kepala Kepolisian Daerah Papua (Kapolda), Brigjen Max Donald Aer.
Dalam pertemuan dengan Kapolda, Jilani mengklarifikasi laporan yang diterimanya tentang banyaknya aktivitas intelejen di Papua. Jilani menyampaikan pihaknya telah menerima laporan bahwa para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua merasa tidak aman karena sering diintai dan dimata-matai intelejen.
Seusai pertemuan itu, Aer menyatakan tidak benar jika kegiatan intelejen di Papua dilakukan untuk mengintimidasi para aktivis HAM. "Kewajiban polisi adalah melindungi dan mengayomi seluruh masyarakat. "Jadi kalau ada masyarakat yang merasa tidak aman, silahkan melapor kepada polisi. Beliau menyatakan menerima laporan bahwa aktivis HAM di Papua selalu diintai intelejen. Saya jelaskan bahwa hal itu tidak benar. Tugas intel polisi adalah mengumpulkan informasi dan keterangan untuk diolah untuk diteruskan kepada reserse kriminal jika (diduga) ada tindak pidana)," kata Aer.
Aer sendiri menyatakan kunjungan Jilani sangat positif, karena dengan demikian Jilani memperoleh informasi yang berimbang tentang kondisi di Papua. "Jadi, dengan pertemuan seperti tadi kami bisa menyampaikan versi kami," kata Aer.
Jilani juga bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua. Dalam pembicaraan tertutup dengan Jilani, Majelis Rakyat Papua melaporkan penambahan pasukan Tentara Nasional Indonesia terus terjadi pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer. Penambahan pasukan itu dinilai menghambat kerja MRP dalam melakukan pembelaan hak kultural masyarakat asli Papua.
"Jilani menanyakan kepada kami apa yang bisa dilakukannya untuk memberikan perlindungan bagi aktivitas MRP dalam memperjuangkan hak kulturan masyarakat asli Papua. Kami pun melaporkan kondisi riil, bahwa penambahan pasukan TNI menghambat kerja kami untuk memperjuangkan hak kultural masyarakat asli Papua. Bagaimana kami mau bekerja, jika kami mengunjungi daerah selalu diikuti oleh tentara," kata Ketua Majelis Rakyat Papua, Agus Alue Alua.
Kepada Jilani, Alua melaporkan bahwa sejak Otonomi Khusus bagi Papua diberlakukan jumlah Komando Resor Militer telah bertambah dari tiga menjadi lima satuan teritorial. Sementara jumlah batalion non teritorial yang ditempatkan di Papua bertambah dari tiga batalion menjadi enam batalion. "Di setiap distrik juga ada satuan tugas TNI, yang biasanya memiliki 18 sampai 25 orang personil. Kondisi seperti itu menyulitkan kami bekerja dengan bebas," kata Alua.
Alua menyatakan hasil dialog itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. "Akan tetapi, kami meminta harus ada perhatian khusus kepada Papua, khususnya terhadap MRP dalam melakukan tugasnya memperjuangkan hak kultural masyarakat asli Papua," kata Alua.
Ditemui usai bertemu Kapolda Papua, Jilani menyatakan pihaknya akan mengumumkan kesimpulan hasil kunjungan ke Papua melalui keterangan pers yang akan disampaikan di Jakarta pada Selasa (12/6) mendatang. "Saya melakukan pembicaraan yang sangat baik dengan berbagai pihak, termasuk informasi yang berguna untuk merumuskan tindak lanjut yang harus dilakukuan (untuk meningkatkan jaminan keamanan pembela HAM di Papua. Saya menemukan adanya kebutuhan yang sangat besar tentang hal itu. Akan tetapi, saat ini masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan dari hasil observasi kami," kata Jilani.
Kunjungan itu sempat diwarnai aksi penghadangan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Papua yang ingin bertemu langsung dengan Jilani pada Senin pagi. Penghadangan itu berakhir setelah koordinator aksi, Buchtar Tabuni diizinkan menyerahkan dokumen aspirasi mereka secara langsung kepada Jilani.
Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat juga melakukan aksi damai untuk menyuarakan berbagai pelanggaran HAM di Papua. Aksi itu berakhir tegang, karena polisi menyita spanduk dan poster mereka. Akan tetapi tidak terjadi kericuhan.
Pada Jumat petang, Jilani bertemu Komisi Nasional HAM Perwakilan Papua. "Dalam pertemuan itu, kami melaporkan bahwa kami anggota Komnas HAM Perwakilan Papua juga sulit bertugas karena mengalami intimidasi. Dalam kasus Bentrokan 16 Maret 2006 misalnya, ada anggota Komnas HAM Perwakilan Papua yang dipukul aparat," kata Sekretaris Komnas HAM Perwakilan Papua, Fritz Ramanday.
Jilani juga bertemu para tokoh agama di Keuskupan Jayapura. Pada Jumat malam, Jilani menemui aktivis HAM yang ada di Papua, untuk menerima langsung laporan situasi dan kondisi advokasi pelanggaran HAM di Papua.
KOMPAS CYBER MEDIA, 8 June 2007
Kunjungan Utusan Khusus PBB Diwarnai Penyitaan Spanduk
Laporan Wartawan Kompas Aryo Wisanggeni G
JAYAPURA, KOMPAS - Kunjungan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa untuk urusan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM), Hina Jilani, ke Jayapura, Papua, Jumat (8/6), diwarnai penyitaan spanduk dan poster para demonstran. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan Jilani berada di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Sejak sekitar pukul 12.00 WIT, sekitar 20 mahasiswa yang tergabung dalam Front Persatuan Perjuangan Rakyat (Pepera) Papua Barat (PB) melakukan unjuk rasa di depan kantor DPRP. Mereka berunjuk rasa untuk menyuarakan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan tuntutan referendum bagi penyelesaian masalah di Papua. Para pengunjuk rasa juga membawa puluhan poster yang menyuarakan pelanggaran HAM di Papua. Sekitar pukul 13.09 WIT, polisi akhirnya merampas spanduk dan poster itu. Spanduk yang disita akhirnya disimpan di dalam truk polisi yang terparkir di halaman DPRP.
Juru bicara nasional Front Pepera PB, Arkilius Baow menyatakan penyitaan itu membuktikan bahwa Papua tidak aman. "Penyitaan itu juga membuktikan bahwa selama ini selalu terjadi represi terhadap upaya rakyat Papua untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum," ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan sekitar pukul 14.25 WIT, Jilani masih melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan DPRP. Sementara mahasiswa telah membubarkan diri.
AFP, 8 June 2007
Papuans ask for UN help to overturn 1969 vote
JAKARTA (AFP) - Hundreds of people rallied Friday in West Papua, calling on the
United Nations
United Nations to put pressure on Jakarta to overturn a 1969 referendum that joined the territory to Indonesia, organisers said.
Rallying during a visit by UN envoy Hina Jilani, demonstrators urged the United Nations to reconsider the vote, in which voters opted to join Indonesia rather than become independent. Many here insist the vote was a sham.
"We urge the United Nations to accept the Papuan people's aspiration to review the Act of Free Choice," as the referendum was known, rally organiser Jek Wanggai told AFP by phone.
"The United Nations must register Papuan areas as colonised zones and organise an immediate referendum vote," Wanggai said.
He said about 900 people took part in the rally in Manokwari, 800 kilometres (500 miles) from the provincial capital Jayapura, where Jilani was meeting with officials on Friday. No figure was immediately available from police.
Papuans have also long accused Indonesia's military of violating human rights in the province and complain that the bulk of earnings from its rich natural resources flow to Jakarta.
The Pakistan-born Jilani was named as the UN envoy on human rights defenders in 2000. She has been meeting with Indonesian officials since arriving on Tuesday.
Wanggai called on her to meet representatives of his movement while in West Papua.
"We no longer believe in the corrupt Indonesian justice system and hope an international court will deal with human rights violations in Papua," he said.
AFP, 8 June 2007
Indonesia Needs to Do More on Human Rights: UN Envoy
JAKARTA: A special UN envoy on Thursday praised Indonesia for making great strides towards improving the human rights situation in the country, but said more needed to be done to protect activists.
"There has been significant changes ... (but) these changes must be reflected in actions on the ground," Hina Jilani, the special representative of the UN secretary general on human rights defenders, told a public hearing.
"What happens in Indonesia not only affects regional security but also the movement in this region towards democratisation of governments (and) countries and the strengthening of civil society."
Jilani, a Pakistani attorney who founded that country's first all-female law firm in 1980, is in Indonesia on a 10-day working visit to assess the situation of human rights defenders.
She will submit recommendations to the Jakarta government when her stay ends on June 15.
"Governments are urged to act in a manner that supports the legitimacy and the value of human rights defenders," she said, before listening to the stories of more than 20 activists from across Indonesia.
One of those scheduled to meet Jilani is the widow of slain activist Munir Said Thalib, who was poisoned on his way to Amsterdam in 2004.
Police and the government have also come under pressure from Munir's widow and rights groups amid claims of a cover-up in the original investigation because of links to the nation's national intelligence agency, BIN.
RADIO NEW ZEALAND INTERNATIONAL, 8 June 2007
Papuans plan demonstration to coincide with UN envoy’s Indonesia trip
About 1,000 Papuans are expected to conduct a peaceful demonstration in Manokwari today to coincide with the visit to Indonesia’s Papua province of a United Nations representative.
The UN Secretary General`s Special Envoy for Humanitarian Affairs, Hina Jilani, is making an excursion to Papua during her working visit to Indonesia at the government`s invitation.
The purpose of her trip is to observe how human rights are being funded and promoted in Indonesia as well as to study the legal framework to defend human rights.
The Papua Youth and Student organisation, which has planned the demonstration, aims to inform the UN about human rights abuses they continue to suffer.
Its spokesman, Jek Wanggai, says they have three main points to make:
“The people people of West Papua, we want to [have the UN] review the Act of Free Choice in 1969; then the second, we cannot use Special Autonomy again, because it’s not good for our people; and then the third, we want a total referendum [on self-determination] in West Papua.”
THE JAKARTA POST, 9 June 2007
Papuans greet UN envoy with rallies, demands
Nethy Dharma Somba, The Jakarta Post, Jayapura
Hundreds of Papuans rallied Friday in Papua and West Papua provinces during a one-day visit by special representative of the UN Secretary General on Human Rights Defenders Hina Jilani.
In both provinces, Jilani was greeted with rallies.
In Papua, the protesters, from the Coalition of Community Concern on Papua and the United Front of West Papua People's Fight, welcomed Jilani, while others called on her to "stop the genocide of the Papuans" and "stop the killing in West Papua".
In West Papua's capital city Manokwari, the protesters called on the UN to put pressure on Jakarta to overturn the 1969 referendum that joined the territory to Indonesia, AFP reported.
"We urge the United Nations to accept the Papuan people's aspiration to review the Act of Free Choice," as the referendum was known, rally organizer Jek Wanggai told AFP by phone.
"The United Nations must register Papuan areas as colonized zones and organize an immediate referendum vote."
The protesters gathered outside the hotel where Jilani was staying Jayapura, demanding to see her.
Jilani briefly met the protesters, during which their representative, Bucthar Tabuni, handed her a green map detailing human rights violations in Papua.
A rally was also held outside Papua Legislative Council building but was broken up by police.
Jilani met with top Papuan officials, including provincial secretary Tedjo Suprapto, Papua Police chief Brig. Gen. Max Donald Aer, the council's speaker John Ibo as well as religious leaders and non-governmental activists.
Jilani said she was in the province to check on reports received by the UN that several human rights workers in Papua were not comfortable conducting their work and believed they were being spied on.
Such reports were also received by Papua Legislative Council speaker John Ibo.
"I told Ibu Jilani that several human rights workers in Papua are working under pressure, getting outside intervention that makes them uncomfortable in doing their work," John Ibo told journalists after meeting Jilani.
Max D. Aer said the report received by Jilani did not reflect the real situation in Papua since the police guaranteed all people's safety.
"If there are those who feel uncomfortable we're open to getting the report. Our job is to protect people. If people don't feel comfortable, please file a report," he said.
Jilani, who was first named by to the post by the secretary general in 2000 following a request from the Commission on Human Rights, is assigned to support the implementation of the Declaration on Human Rights Defenders and gather information on the actual situation of human rights defenders around the world.
According to the UN High Commissioner for Human Rights, as a special representative Jilani is assigned to seek, receive, examine and respond to information on the situation and the rights of anyone, acting individually or in association with others, to promote and protect human rights and fundamental freedoms.
The special representative was asked to submit annual reports to the commission and to the General Assembly.
CENDERAWASIH POS, 9 Juni 2007
Di Manokwari, Puluhan Warga Demo Tuntut Referendum
Manokwari, Meski utusan khusus Sekjen PBB Hina Jilani hanya berkunjung ke Jayapura Provinsi Papua, namun di Manokwari ada aksi penyambutan menggelar turun jalan dan berunjuk rasa menyampaikan aspirasi.
Warga yang tergabung dalam Persatuan Nasional Rakyat Papua Untuk Pembebasan Papua meminta untuk digelar 'Referendum' di tanah Papua.
Dari pantauan Manokwari Pos (Grup cenderawasih Pos) sejak pukul 08.00 WIT beberapa orang mulai membentangkan beberapa buah spanduk di samping Gedung olahraga (GOR) Sanggeng. Secara tertib massa bergerak sambil memegang lima buah spanduk. Spanduk-spanduk berwarna putih tersebut bertuliskan, "Segenap rakyat Papua ras Melanesia menuntut referendum". Disamping spanduk tersebut terdapat gambar bendera bintang kejora. Spanduk lain mereka juga meminta membebaskan tapol/napol tanpa syarat orang Papua bukan makar.
Selain itu, melalui spanduk mereka juga menulis "PBB segera mengirim obesever internasional ke Papua. Juga meminta PBB untuk segera merevisi Pepera tahun 1969 dan mencabut resolusi PBB nomor 2504 tanggal 19 November. Tak ketinggalan pula dalam spanduk lainnya, mereka menulis agar kasus pelanggaran HAM berat di Papua segera diselesaikan. Antara lain pelanggaran HAM di Wasior, Biak, Abepura dll.
Massa yang dipimpin Jack Wanggai tersebut melewati jalan Yos Sudarso. Sebelum melanjutkan perjalanan, massa pendemo singgah di DPRD Kabupaten Manokwari untuk menyampaikan aspirasi tersebut.
Massa yang tiba didepan pagar Kantor DPRD Manokwari tidak langsung ditemui Ketua maupun anggota DPRD. Bahkan pintu pagar dalam kondisi tertutup. Hanya aparat keamanan yang nampak berjaga-jaga di dalam halaman. Akibat kesal, salah seorang orator yang didukung para pendemo mengancam DPRD akan memboikot pemilu 2009. Awalnya, penyampaian aspirasi dilakukan dengan perwakilan. Namun pendemo yang lain tidak menyetujui hal tersebut. Sehingga akhirnya Wakil Ketua DPRD Bons Rumbruren didamping Metusalak Awom, SH keluar menemui pendemo.
Sementara itu, dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua Persatuan Nasional Rakyat Papua untuk Pembebasan Papua Jack Wanggai dan beberapa pengurusnya menyatakan PBB segera mereviuw Pepera 1969 dan mencabut resolusi nomor 2504 tanggal 19 November 1969. Meminta komisi dekolonisasi PBB untuk segera mendaftarkan status politik tanah Papua sebagai wilayah jajahan yang harus diberikan kemerdekaan lewat referendum. Meminta agar pelaku-pelaku pelanggaran HAM untuk diadili sejak Pepera 1969 sampai sekarang ke Pengadilan Internasional. Mereka juga menyatakan Otsus telah gagal di tanah Papua, untuk itu segera lakukan Referendum.(sr)
CENDERAWASIH POS, 9 June 2007
Isu Pelanggaran HAM Tidak Jelas
Jayapura, Selain ke Pemprov dan DPRP, Ms Hina Jilani juga mengunjungi Kejaksaan Tinggi (Kejati), Jumat, (8/6), kemarin. Pada kesempatan itu, Ms. Hina Jilani diterima langsung Wakil Kepala Kejati Papua Domu P Sihite, SH, MH, Sendjung Manulang, SH, MH (As Intel), As Datun dan asisten pembinaan Kejati Papua dalam pertemua tertutup yang berlangsung dari pukul 10:00 WIT- 11:00 WIT (1 jam). Apa yang dibicarakan?
Menurutnya, As Intel Kejati Papua Sendjung Manulang, SH, MH pada pertemuan itu, Hina Jilani banyak bertanya penyelesaian kasus HAM di Papua, dan ia ingin mengetahui bagaimana peran kejaksaan dalam menangani kasus-kasus HAM. Untuk itu, Wakajati Papua menjelaskan bahwa berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002 tentang peradilan HAM, kejaksaan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadapat perkara HAM. "Penyidikan HAM bersumber dari Komnas HAM Indonesia,"jelasnya saat ditemui Cenderawasih Pos di ruang kerjanya setelah acara pertemuan selesai, Jumat, (8/6), kemarin.
Hina Jilani yang mendirikan Komisi HAM Pakistan Tahun 2002 juga menyampaikan informasi isu terjadi beberapa pelanggaran HAM di Papua, dimana aktivis HAM sering mendapat perlakuan yang melanggar ketentuan, seperti dipanggil dan diperiksa tapi penanganan kasusnya tidak kunjung selesai.
Untuk itu, Senjung Manulang, menjelaskan bahwa informasi isu tersebut kurang benar, karena tidak semua kejadian yang terjadi merupakan perkara HAM, mungkin aktivis yang merima perlakuan, menganggap perkara HAM, namun sebenarnya perkara itu bukan masalah HAM.
Selain itu, utusan Sekjen PBB itu, tidak menyebutkan secara rinci, kasus apa yang terjadi di Papua yang telah melanggar HAM. Hanya saja kerap kali ia mendapat informasi bahwa ada aktivis HAM yang diperlakukan semena-mena. "Informasinya tidak dapat kami tanggapi karena kasus yang dimaksudkan tidak dijelaskannya,"paparnya.
Lanjut dia, Hina Jilani menyimpulkan kejadin pelanggaran HAM tidak dapat ditangani dengan baik, karena karena pada umumnya aparat penegak hukum di Indonesia belum tahu materi HAM secara memadai, sehingga ia menyarankan perlunya pembekalan materi HAM pada aparat penegak hukum oleh lembaga internasional yang menangani HAM (NGO).
Menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos, berapa kasus pelanggaran HAM yang sudah ditangani Kejati Papua, Sendjung Manulang, menjelaskan bahwa 3 Tahun terakhir ini tidak ada kasus pelanggaran HAM yang ditangani Kejati Papua. "Sejauh ini belum ada kasus HAM yang masuk kemari,"ungkapnya.
Ditambahkannya, kemungkinan orang diluar melihat kasus Abepura merupakan pelanggaran HAM, namun menurut hukum di Indonesia kasus Abepura merupakan pidana umum. "Belum semua daerah mempunyai peradilan HAM, dan untuk wilayah Indonesia Timur peradilan HAM berada di Makassar,"pungkasnya.
Di Polda Papua
Setelah sebelumnya melakukan pertemuan di Kantor Kejaksaan Tinggi Papua, maka rombongan wakil khusus Sekjen PBB yang dipimpin Ms. Hina Jilani sekitar pukul 12.15 WIT tiba ke Mapolda Papua dan selanjutnya diterima Kapolda Papua Brigjen Pol Drs. Max Donald Aer dengan didampingi Wakapolda Papua, Brigjen Pol. Drs. FR. Andi Lolo,SH,MM.
Usai pertemuan Kapolda menjelaskan yang dibicarakan antara lain adanya informasi yang sampai ke utusan PBB bahwa di Papua ini pembela HAM seolah-olah merasa tidak bebas. "Saya katakan, di sini tidak seperti itu. Kalau polisi semua menjamin keamanan, karena tugas polisi melindungi, melayani dan mengayomi seluruh warga masyarakat, siapapun dia. Apakah dia penegak HAM atau warga biasa, tetap kami lindungi," ungkapnya saat ditanya wartawan.
Pada kesempatan tadi, lanjut Kapolda, utusan Sekjen PBB itu tidak menyebutkan secara terbuka, dari pembela HAM mana yang merasa dikekang. "Saya juga tidak berkepentingan untuk mencari tahu, tetapi melalui beliau (Ms. Hina Jilani), saya tegaskan, silahkan kalau ada yang merasa tidak aman, tidak nyaman atau merasa pernah membuat laporan ke polisi, tetapi tidak ditanggapi, silahkan lapor. Kita membuka diri setiap saat," tandasnya.
Mantan Kapolresta Manado ini kembali menegaskan, kewajiban Polri disini adalah melindungi, melayani dan mengayomi seluruh warga masyarakat.
"Jadi kalau ada yang merasa tidak terjamin keamanannya, lebih baik lapor ke kita. Cuma yang diterima oleh wakil sekjen ini informasinya sudah sedemikian keadaannya, sehingga mereka (para pembela HAM) merasa tidak terjamin keamanannya. Bahkan katanya selalu disurveilans oleh intelijen," paparnya.
Terkait hal ini Kapolda menjelaskan, tugas intel kepolisian adalah mengumpulkan informasi, mencari keterangan-keterangan yang nantinya diinformasikan ke fungsi reskrim kalau itu memang terkait tindak pidana.
"Saya tadi juga jelaskan bahwa polisi disini setiap hari ditingkatkan pengetahuannya tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Bahkan dalam pendidikan bintara pun juga diberikan materi tentang HAM. Kita disinipun bekerjasama dengan Komnasham, karena Mabes Polri juga sudah membuat MoU dengan Komnasham. Upaya-upaya ini sudah kita lakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Sehingga saya katakan jika ada hal-hal yang mengganggu keamanan, atau merasa tidak nyaman, sebetulnya tinggal komunikasi dan laporkan saja," terangnya.
Kemudian terkait adanya laporan ke utusan PBB bahwa pejuang atau pembela HAM di Papua ini ada yang aktifitasnya dimata-matai, sehingga mereka kemudian melakukan kegiatan-kegiatan secara sembunyi-sembunyi. "Saya jelaskan di sini, sebetulnya tidak perlu sembunyi-sembunyi. Kalau intel kepolisian tidak bermaksud memata-matai, toh sudah tahu kegiatannya. Kalaupun dia melakukan kegiatan politik, mereka juga sudah tahu aturannya. Mereka tinggal memberi tahu saja," paparnya.(api/fud)
CENDERAWASIH POS, 9 Juni 2007
Beberkan 6 Kasus Kekerasan
Jayapura, Janji sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua akan membeberkan sejumlah kasus HAM kepada Ms Hina Jilani, akhirnya ditepati.
Pertemuan Hina Jilani dengan LSM, tokoh masyarakat, agama dan komponen masyarakat lainnya itu berlangsung di Kantor Sinode GKI Tanah Papua dengan dihadiri sekitar 70 orang. Pertemuan tersebut sekaligus merupakan pertemuan terakhir tadi malam, setelah siang hingga sore harinya, utusan khusus Sekjen PBB itu bertemu sejumlah komponen di Papua.
Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih 1,5 jam (19.15 - 20.45) itu, ada enam orang perwakilan yang berkesempatan membeberkan kesaksiannya tentang apa yang mereka alami selama menjalankan tugasnya, baik sebagai pembela HAM maupun tugas-tugas pokoknya.
Kasus-kasus tersebut seperti intimidasi, teror dan pelanggaran HAM lainnya yang disampaikan oleh keenam orang perwakilan ada tokoh adat, perempuan dan korban. Dalam pemberitaan ini tidak disebutkan korban dan jenis kekaran yang dialami karena sumber meminta dirahasiakan.
"Kalau soal pelanggarannya dan korbanya sebenarnya tidak perlu kami beberkan ke media massa, tapi yang pasti teman-teman tadi menceritakan apa adanya dan situasi para pekerja HAM di Papua," kata Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua J. Septer Manufandu kepada Cenderawasih Pos via Handphone, tadi malam.
Septer mengaku dalam pertemuan ini pihak LSM dan masyarakat secara umum khususnya yang hadir dalam pertemuan itu merasa puas karena sejak tahun 1969 baru pertama kali utusan PBB, khususnya yang menangani soal HAM melihat kondisi yang sebenarnya terjadi di Papua.
Meski hanya diskusi sebatas memberikan informasi tentang potret kasus dan pekerja HAM di Papua, namun pihaknya merasa puas. Pasalnya, dalam kesempatan itu pihaknya mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan diskusi meskipun hanya sebatas memberikan informasi kepada utusan PBB tersebut. "Tidak ada kesepakatan atau janji dalam pertemuan itu, hanya memberikan informasi dan diskusi tentang kondisi para pekerja HAM dan masalah HAM di Papua. Dan menurut Ibu Jilani hal ini akan dilaporkan nantinya, termasuk di daerah lainnya yang sempat dikunjunginya," katanya.
MRP Minta Perhantian Internasional
Sebelum bertemu para LSM tadi malam, sore harinya, Wakil Khusus Sekjen PBB yang membidangi situasi Para Pembela HAM, Ms Hina Jilani ini juga ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertemuan yang sedianya dijadwalkan pukul 13.00 molor hingga pukul 15.30 WIT. Hina Jilani ditemui langsung Ketua MRP Drs Agus Alue Alua, M.Th di ruang kerja dan didampingi oleh sejumlah anggota MRP lainnya.
Di MRP, Jilani juga melakukan pertemuan tertutup sekitar 1,5 jam. Meski begitu usai petermuan dengan utusan PBB itu, Agus A Alua menggelar konferensi pers dengan wartawan yang memang sudah menunggu sejak pukul 12.30 WIT.
Dalam kesempatan itu, Alua membeberkan kalau pihaknya sangat sulit dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga kultural, karena masih adanya sejumlah batasan meskipun semuanya sudah tertuang dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. "Kami juga menyampaikan bahwa sangat sulit dalam menjalankan tugas dengan baik, karena masih ada batasan kewenangan dan tekanan dari pihak tertentu, pada hal dalam UU No 21 Tahun 2001 sudah memberikan ruang. Oleh karen itu, kami minta perhatian Internasional dalam implementasi soal kultural ini," kata Alua.
Menurutnya, dalam pertemuan itu memang tidak terlalu banyak hal yang diungkapkan. Pasalnya Jalani sendiri nampaknya sudah banyak tahu tentang kondisi di Papua. "Dari hasil pertemuan kami terungkap kalau Ibu Jilani ini sebenarnya sudah banyak tahu tentang Papua, termasuk keberadaan MRP namun kami tetap berbicara seputar lembaga ini," tuturnya.
Selain itu, kata Alua, pihaknya juga berbincang-bincang tentang bagaimana peran MRP dalam melakukan pembelaan HAM sesuai dengan fungsi kulturalnya. Hal itu dikatakan karena dalam menjalankan tugasnya pihaknya sering mengalami kendala dan tekanan di lapangan. Dalam pertemuan itu juga, MRP dikelompokan sebagai pejuang HAM orang Papua dengan memperhatikan proteksi terhadap hak-hak asasi masyarakat adat.
Juga disampaikan bahwa akar permasalah di Papua adalah masalah politik. Dimana terjadi pelanggaran HAM besar-besaran, masalah kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat asli yang sampai sekarang belum terpenuhi. Demikian halnya dengan pembangunan yang sampai saat ini masih jauh tertinggal meskipun sudah ada di era Otsus.
"Dalam menjalankan tugas kami sering mengalami kendala, sering ada batasan atau tantangan. Baik soal pelaksaan Otsus secara menyerluruh maupun dalam menjalankan tugas MRP. Dan kami tentunya berharap agar segala apa yang termuat dalam UU No 21 Tahun 2001 itu dijalankan secara menyeluruh, pemerintah pusat mestinya mendukung ini," papar Alua.
Demo di Uncen
Sedangkan rencana Hina Jilani bertemu Rektorat Universitas Cenderawasih Jayapura, mendapat reaksi dari Koalisi Mahasiswa dan masyarakat Peduli Tanah Papua, yang dikoordinir Markus Gwijangge. Mereka melakukan demo di Rektorat Uncen Perumnas III Kelurahan Yabansai, Distrik Heram.
Para pendemo yang diperkirakan 30 orang tersebut, datang dengan membawa spanduk dan beberapa kertas manila yang bertuliskan," Stop genosaid of Papua, Welcame Mrs, Hina Jilani,Who Carry Fredom for all The West Papua" serta beberapa tulisan lainnya. Bahkan dalam kartas manila mereka sempat juga ada gambar Bendera Bintang Kejora.
Demo itu dimulai pukul 8.30 Wit, dimana mereka berkumpul tepat di Gapura Kampus Uncen Prumnas III, dan sempat memalang Gapura yang berada di jalan naik ke Kampus Uncen baru Perumnas III, dengan menggunakan balok, namun belum lama melakukan pemalangan tersebut, polisi datang dan membubarkan aksi pemalangan tersebut,sehingga jalur menuju ke kampus baru Perumnas III, kembali lancar.
Karena palang dilepaskan, para pendemo tersebut selanjutnya naik ke kantor Rektorat Uncen, dengan membawa atribut demo mereka, serta beberapa alat musik. Sesampainya di sana, mereka selanjutnya menyayikan lagu-lagu daerah Papua, serta berorasi di Kantor Rektorat tersebut, dengan maksud untuk menunggu kedatangan utusan PBB tersebut, saat bertemu dengan Rektor Uncen.
Kordinator Demon, Markus Gwijangge mengatakan, maksud mereka melakukan demontrasi tersebut, adalah dalam rengka memberitahukan fakta-fakta yang terjadi di Tanah Papua, terutama tentang pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa baik kasus 16 Maret 2006, serta beberapa kasus-kasus sebelumnya, yang mana aparat melakukan penyisiran-penyisiran ke asrama-asrama mahasiswa dan melakukan penganiayaan-penganiayaan terhadap mahasiswa.
" Kami akan menyampaikan aspirasi kami langsung kepada Ibu Hina Jilani (utusan PBB), tentang pelangaran HAM, yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa,serta beberapa kasus pelanggaran HAM lainnya,"jelasnya.
Namun saat sampai sore hari menunggu, ternyata para mahasiswa tersebut, tidak berhasil bertemu dengan utusan PBB tersebut, sebab setelah dari MRP, utusan tersebut selanjutnya ke arah Jayapura untuk beristirahat. Karena yang ditunggu tak kunjung tiba, akhirnya mereka membubarkan diri.(ito/cak)
CENDERAWASIH POS, 9 Juni 2007
Ke Papua Karena Dengar Ada Pelanggaran HAM
Jayapura, Sesuai rencana, kemarin Wakil Khusus (Special Respresentative) Sekjen PBB untuk bidang pembela HAM (Human Rights Defender) Ms Hina Jilani tiba di Jayapura.
Jilani bertemu dengan berbagai pihak mulai dari Pemprov Papua yang diwakili oleh Sekda Drs Tedjo Suparapto, MM, DPRP,MRP, Rektor Uncen hingga sejumlah LSM di Papua.
Hanya saja sebelum Ms Jilani menuju Kantor Gubernur, di Swissbell Hotel tempat ia menginap sempat didemo. Sekitar 50-an massa dari mahasiswa yang datang sekitar pukul 09.00 WIT berdiri di depan hotel tersebut sambil membentangkan spanduk yang antara lain bertuliskan 'Welcome Mrs. Hina Jilani Who Carry Freedom for All The West Papua', 'Stop Genocide of The Papua', 'Stop Killing In West Papua," dan beberapa poster dan spanduk lainnya.
Pada kesempatan itu, massa yang dipimpin Buchtar Tabuni ini juga meminta penuntasan kasus HAM di Papua, seperti kasus Theys, Tom Wanggai dan kasus lainnya.
Setelah Ms. Hina Jilani keluar dari hotel, iapun menemui massa pendemo dan saat itu Buchtar Tabuni menyerahkan sebuah map berwarna hijau dan diterima langsung oleh Ms. Hina Jilani. Setelah pertemuan dengan massa ini, maka sekitar pukul 09.00 WIT rombongan utusan Sekjen PBB ini menuju ke Kantor Gubernur Papua.
Karena aksi demo tersebut, perempuan asal Lahore Pakistan itu baru tiba di Kantor Gubernur sekitar 09.15 WIT dan langsung menuju ruang kerja Sekda bertemu Sekda Tedjo Suprapto. Pertemuan tertutup itu berlangsung selama 1 jam lebih.
"Tadi kami hanya bicara mengenai apa yang dilakukan Pemerintah Daerah untuk pemenuhan HAM rakyat Papua intinya itu" kata Sekda Tedjo Suprapto kepada Cenderawasih Pos usai pertemuan.
Dikatakan, ada penilaian dari wakil khusus Sekjend PBB itu bahwa pelanggaran HAM di Papua tak ada yang tuntas dan ia juga mendengar banyak terjadi pelanggaran HAM di Papua, termasuk yang dilaporkan ke PBB.
"Itu salah satu sebab kenapa mereka datang ke sini," imbuhnya. Sehingga sempat ditanyakan peran pemerintah daerah dalam menghindari konflik dengan harapan pelanggaran - pelanggaran HAM bisa dikurangi dan tidak terjadi lagi di masa depan.
Ms Jilani yang juga pengacara hukum itu menilai pemerintah belum serius terhadap perkembangan HAM di Papua. Ia juga mengatakan berdasarkan laporan yang diterima pekerja HAM dihalangi-halangi dan diintimidasi bahkan diteror.
Yang dijawab Sekda bahwa Otsus justru mengakui hak - hak dasar orang asli Papua dan dengan Otsus kesejahteraan orang asli Papua akan diwujudkan melalui berbagai program, utamanya pendidikan, kesehatan, gizi, pemberdayaan ekonomi.
"Jadi saya menjelaskan justru Otsus sangat memihak orang asli Papua dan jutsru mengakomodir seluruh hak - hak dasar orang asli Papua," tukasnya.
Dalam Otsus semua yang menyangakut hak - hak orang asli Papua termasuk masyarakat umumnya sudah diakomodir di dalamnya, termasuk penegakan HAM di Papua dan sebagainya satu persatu dibenahi. Hanya saja memang belum sepenuhnya terlaksana.
Sekda mengatakan bahwa memang sempat disinggung adanya kasus pelanggaran HAM yang masih ada dan sejauh mana ditangani pemerintah. "Kami sampaikan bahwa itu perlu dikoordinasikan dengan pihak - pihak terkait lainnya. Tapi pada dasarnya pemerintah sangat terbuka untuk menerima masukan yang berkaitan pelanggaran HAM yang ada. Dan kita berkepentingan untuk menyelesaikan dan menjaga supaya tidak terjadi pelanggaran HAM lagi," tuturnya.
Hanya saja, tidak dijelaskan secara eksplisit kasus pelanggaran HAM apa saja yang terjadi itu, sehingga membuat putri seorang aktivis politik asal Pakistan ini jauh - jauh datang ke Papua. "Memang disebutkan ada pelanggaran HAM, tapi mereka (Jilani red) tidak menyebutkan kasus apa saja, namun dikatakan masih ada kasus - kasus itu, tapi kami katakan bisa dikoordinasikan dengan pihak terkait dengan tujuan agar kasus pelanggaran HAM tidak terjadi lagi," urainya.
Lanjut Sekda, Wakil Sekjend PBB itu mengaku mendengar banyak terjadi pelanggaran HAM di Papua, tapi tidak disampaikan dari mana saja. Ia hanya meminta komitmen pemerintah untuk menangani hal itu dengan baik. "Itu yang kita setujui komitmen itu akan kita tangani secara baik dengan koordinasi pihak terkait. Sebab selama ini pemerintah sangat terbuka tidak ingin menekan hal itu, kita juga transparan silahkan bisa komunikasi dengan kita juga," paparnya.
Yang pasti misi dia kesini ingin melihat persoalan khususnya HAM dan orang-orang yang berkompeten dengan penegakan HAM agar lebih diperhatikan dengan baik dan jangan ditekan," tandasnya.
Pertemuan dengan DPRP
Selain bertemu Pemprov Papua, Ms Hina Jilani yang akan berakhir masa tugasnya pada 18 Juni mendatang ini juga bertemu Ketua dan Anggota DPRP yang juga berlangsung tertutup di ruang kerja Ketua DPRP.
Namun usai pertemuan John Ibo sempat membeberkan isi pembicaraannya dengan Wakil Khusus PBB itu. "Tujuan utama mereka adalah untuk menyaksikan dari dekat berdasarkan isu-isu yang diperoleh tentang penegakan HAM di Papua yang cukup pincang," katanya kepada wartawan usai pertemuan.
Selain itu kata John Ibo, Ms Jilani juga ingin melihat perkembangan pelanggaran HAM di Papua dari dekat, sekaligus menanyakan bagaimaan institusi HAM berdiri dan bagaimana melaksanakan tugas secara maksimal dalam menjembantani masalah pelanggaraan HAM di Papua.
"Kita memang belum punya Komda (komisariat daerah) HAM dan harus dibentuk oleh Pemda, walaupun kita telah memiliki perwakilan Komnas HAM tetapi perwakilan Komnas HAM kita sedang bekerja di bawah trauma, karena itu walaupun sudah bekerja selama 3 tahun usianya, perwakilan Komnas HAM tidak ketahuan di Papua," paparnya serius.
Kata John Ibo, Ms Jilani juga menanyakan bagaiman institusi HAM di Papua berjalan baik yang diterangkan dewan bahwa masyarakat datang dengan pengaduan melalui aspirasi dan itu memang lengkap di dewan. "Jadi kita katakan bahwa memang HAM di Papua sedang diwarnai dengan trauma. Karena ada interfensi dan ada kekerasan yang sedang terjadi," ujarnya.
Ia berharap pelaksanaan HAM di Papua berjalan baik, karena salah satu aspek dari Otsus adalah mengakhiri pelanggaran HAM dan menghadirkan kesejahteraan bagi orang Papua di sebuah negara Indonesia, negara yang merdeka yang memberi kemerdekaan pada seluruh rakyat. "Dan kalau memang ada intervensi dan kekerasan Otsus itu fungsinya apa pada kita, itu sebabnya rakyat sendiri telah memahami dan mengembalikan peti jenazah itu pada DPRP. Jadi seputar itu saja," katanya.
Ditanya kasus apa saja yang dibahas, John Ibo mengatakan bahwa Ms Jilani tidak menyebut kasus, namun hanya sebatas kebijakan HAM yang berlangsung di Papua dan bagaimana lembaga - lembaga HAM yang berjalan di Papua. "Ms Jilani memberikan respek harusnya masalah yang terjadi di Papua urgensinya ditangani oleh PBB, kalau dia datang dalam tugas khusus untuk melihat perkembangan HAM di Papua," tandasnya.(ta)
XINHUA, 9 June 2007
UN envoy Jilani leaves Indonesia's Papua province
UN special envoy Hina Jilani left the Indonesian easternmost province of Papua Saturday to continue her trip to the tsunami-ravaged Aceh.
During her stay in Papua, she held meetings with a number of provincial administration officials, military and police chiefs, members of the provincial legislative assembly and the Papuan People's Council (MRP) as well as religious and non-governmental organization leaders, reported the national Antara news agency.
Jilani, at the Jayapura airport, said she had received a lot of information on human rights issues in Papua and she would report it to the UN Human Rights Council in Geneva, Switzerland.
Jilani went to Aceh, the country's westernmost province, also for a similar purpose, namely to collect information on human rights issues in the region.
She will hold a press conference in Jakarta on June 12 on the results of her visit to Indonesia.
The Special Envoy for Human Rights is on a working visit to Indonesia from June 5 to 13 at the government's invitation.
The purposes of Jilani's visit were among other things to observe the implementation of human rights, to study the legal framework for defending human rights, and to promote human rights in the country.
ANTARA, 9 Juni 2007
UN official for human rights to visit Aceh
Banda Aceh (ANTARA News) - Visiting UN Secretary General`s envoy for human right affairs Hina Jilani is scheduled to visit Aceh on Sunday.
"Tomorrow, the UN Secretary General`s envoy is expected to arrive here at around 12.00 hours to among other things visit a number of areas that were hit by tsunami in 2004 and meet with Aceh Governor Irwandi Yusuf," Aceh administration spokesman Hamid Zein said.
He said Jilani was also scheduled to attend a seminar on Monday.
Jilani has been in the country since Wednesday to observe the human rights situation and study the existing legal framework for promoting human rights.
She has already visited Papua for the same purpose.
DETIKCOM, 9 June 2007
Hina Jilani Datangi Kontras Kumpulkan Info Kasus Munir
Irwan Nugroho - detikcom
Jakarta - Wakil Sekjen PBB Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani mendatangi kantor Kontras untuk mengumpulkan informasi seputar kasus Munir. Kunjungan Jilani diharapkan dapat menekan pemerintah Indonesia agar cepat menuntaskan kasus itu.
Jilani yang datang bersama seorang staffnya itu tiba di kantor Kontras, Jl Mendut, Matraman Jakarta, Sabtu (9/6/2007).
Keduanya langsung mengadakan pertemuan tertutup dengan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) di salah satu ruangan.
"Ya, tadi kami menyampaikan perkembangan penanganan kasus Munir serta hambatan yang menurut kami memperpanjang penyelesaian kasus ini," kata Asmara Nababan.
Asmara menyampaikan hal ini dalam konferensi pers yang didampingi oleh janda aktivis HAM Munir, Suciwati, dan Koordinator Kontras Usman Hamid.
Kedatangan Jilani, lanjut Asmara, menunjukkan masyarakat internasional, terutama PBB mempunyai perhatian yang serius terhadap kasus Munir. Sehingga hal itu dapat memberikan efek berupa tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar segera menyelesaikan kasus Munir.
"Apalagi sebagai anggota Dewan HAM, kita kan harus menunjukkan kita layak menjadi anggota dewan tersebut dengan menyelesaikan kasus-kasus yang begitu mendapat perhatian internasional," ujar Asmara.
Kendala
Dalam pertemuan yang berlangsung selama 40 menit itu, dijelaskan juga berbagai hambatan yang membuat penyelesaian kasus munir berlarut-larut.
Kendala itu antara lain, terbatasnya informasi yang diterima Suciwati sebagai korban atas proses penyidikan yang kini dilakukan oleh Polri serta proses pengajuan PK oleh Kejaksaan Agung.
"Akses informasi yang terbatas bahkan telah dirasakan oleh suci sejak awal pertama kali mendengar munir meninggal," pungkas Usman.
Selain itu, lanjut Usman, juga ada kendala teknis seperti sulitnya memperoleh isi sambungan telepon antara Pllycarpus dengan salah seorang pejabat BIN.
"Tapi menurut kami kendala itu sebenarnya bukan di level teknis, melainkan bersifat politis," tegas Usman. (irw/mly)
CENDERAWASIH POS, 11 June 2007
Diharapkan Buat Perubahan
*Pengamat, Soal Kujungan Wasekjen PBB ke Papua
JAYAPURA-Kunjungan Wakil Khusus Sekjen PBB bidang pembela HAM Ms. Hina Jilani ke Papua, khsusnya di Jayapura, Jumat (8/6) lalu, diharapkan akan mendatangkan perubahan yang baik bagi penyelesaian kasus-kasus HAM dan pelindungan para aktivis HAM di Papua.
Sebab, informasi yang diperoleh dari berbagai pihak selama di Jayapura, dianggap sudah cukup untuk dijadikan acuan dalam memberikan informasi di PBB.
Pendapat itu diungkapkan pengamat politik dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Drs Beatus Tambaip, MA. "Saya menilai kunjungan ini dapat membawa perubahan soal penyelesaian kasus HAM dan perlindungan kepada para pekerja HAM. Sebab yang terjadi selama ini didegung-degungkan banyak pelanggaran HAM, tapi tidak ada keseriusan untuk menyelesaikannya," katanya kepada Cenderawasih Pos, kemarin
Tambaip juga mengatakan, bicara soal HAM, khususnya di Papua lebih banyak dilihat dari sisi kekesaran dan politiknya. Pada hal bicara soal HAM, lanjutnya harus dilihat secara menyeluruh. Mulai dari pemenuhan hak hidup, seperti kesejahteraan dan keadilan di berbagai bidang. Dan hal itu, biasa disebut dengan bidang ekonomi sosial dan budaya (Ekosob).
Dikatakan, kedatangan utusan PBB itu diharapkan dapat ditindaklanjuti, sehingga memberikan hasil yang positif. Dia juga berpendapat hasil kunjungan itu tetap di tindaklanjuti sesuai mekanisme yang ada.
Meski begitu, Tambaip mengatakan bahwa pelanggaran HAM tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Diamana di Papua pelanggaran HAM itu lebih banyak dilihat dari sisi politik dan tindak kekerasan saja, sementara pelanggaran HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya justru terlupakan.
"Memang kalau dilihat di Papua pelanggaran HAM itu hanya dilihat dari sisi kekerasan saja, tapi kondisi yang paling memprihatinkan pula pelanggaran HAM di bidang ekosob," katanya.
Pelanggaran HAM didang ekosob yang dimaksud seperti belum maksimalnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat, belum semuanya masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak, banyak masyarakat yang hidup dibawa garis kemiskinan dan sejumlah hal lainnya.
"Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang baik adalah hak semua warga negara Indonesia, namun kondisi kita di Papua uang cukup banyak, tapi hal ini belum terpenuhi. Nah, tentunya hal seperti ini salah satu kategori pelanggaran HAM karena pemerintah tidak mampu memenuhi kewajibannya," ujar Tambaip.
Hal yang lain, lanjutnya, kunjungan ini juga diharapkan dapat mendukung implementasi Otonomi Khusus secara menyeluruh. Sebab, yang terjadi selama ini implementasi UU No 21 Tahun 2001 itu belum berjalan maksimal. Pada hal UU tersebut, diharapkan dapat membawa perubahan kesejahteraan dan pembangunan bagi masyarakat Papua.
Parahnya lagi, berbagai perangkat yang diharapkan dapat mendukung implementasi Otsus itu sampai sekarang belum tuntas, seperti Peraturan Daerah Khusus (Perdasu) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Tak hanya itu, implementasi UU tersebut terkesan ada batasan dan tidak dilakukan secara menyeluruh.
"Dalam kunjungan ini juga sangat diharapkan ada keseriusan dari pemerintah terhadap implementasi Otsus, sehingga Perdasi dan Perdasus segera dituntaskan. Ini sangat penting karena terkait dengan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Papua yang sampai saat ini terkesan masih jalan di tempat," tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan, Deputi Direktur Human Right Working Group (HRWG) Choirul Anam. Ia mengaku optimis, kunjungan perempuan Pakistan itu ke Indonesia, termasuk ke Papua (Jayaura) bisa merubah nasib para human defender (pembela HAM).
"Kunjungan Hina adalah kunjungan yang mewakili Sekjen PBB, tidak semua negara dikunjungi khusus. Ini kunjungan yang serius," ujarnya kemarin. Ditambahkannya, kunjungan Hina untuk mengecek komitmen Indonesia ketika mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Meski Hina mengungkapkan kunjungannya ke Indonesia tak akan membawa pengaruh apapun bagi pemerintah Indonesia, Anam (nama panggilan Choirul Anam, Red) punya pendapat lain. "Itukan bahasa diplomatis, kalau Indonesia tidak mentaati laporan yang dihasilkan kunjungan Hina, implikasinya buruk. Indonesia bisa dikucilkan dalam pergaulan internasional," ujarnya.
Anggota Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum) itu mengungkapkan ada dua hal yang menjadi poin perhatian Hina. Yang pertama, soal kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Dalam pertemuannya dengan istri Munir Sabtu (9/6), Suciwati Hina mengungkapkan kasus Munir bakal dilaporkan secara khusus ke Sekjen PBB. "Kalau kasus Munir tak diselesaikan dengan baik konsekuensinya bakal masuk ke mekanisme internasional. Itu justru bakal memberatkan pemerintah Indonesia," tambah Choirul. Selain Munir, juga dipaparkan kasus kekerasan lain terhadap aktivis.
Tak hanya kasus, yang juga jadi perhatian adalah soal kebijakan yang mengancam kebebasan kerja para pembela HAM seperti KUHP. Rancangan UU semacam RUU Rahasia Negara dan RUU Kebebasan Mendapatkan Informasi Publik juga berpotensi mengganggu kerja para pembela HAM. "Jadi tak hanya kasus, tapi juga kebijakan negara yang menghambat kerja para penegak HAM," ujarnya.
Kunjungan Hina, tambah Choirul juga bertujuan untuk mendorong reformasi institusi agar berperilaku lebih baik pada para pembela HAM. Dalam kunjungannya ke Indonesia, Hina diagendakan mengunjungi beberapa instansi seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan. Tak hanya institusi peradilan, Hina juga diagendakan mengunjungi institusi militer yakni Kepolisian dan TNI agar menjamin kerja para pembela HAM, aktivis dan jurnalis, di lapangan.
"Diharapkan nantinya tak ada aktivitas aktivis dan jurnalis yang dikriminalisasi. Panglima TNI juga diharap menjamin tak ada tindakan koersif kepada para jurnalis dan aktivis," tambahnya.
Terpisah, anggota Komisi III DPR RI Al Muzzamil Yusuf mengungkapkan kedatangan Hina ke Indonesia untuk melakukan invenstigasi soal nasib pembela HAM, tak masalah bagi DPR. "Itu bagian dari konsekuensi internasional, apalagi Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB," ujarnya.
Politisi PKD itu mengungkapkan belajar dari kasus kekerasan terhadap pembela HAM khususnya kasus Munir, UU yang mengatur perlindungan bagi aktivis bisa diatur secara khusus. "Kalau memang signifikan, bisa saja," ujarnya.
Politisi PKS itu mengungkapkan usulan serupa pernah diajukan Komnas HAM, agar DPR membuat aturan yang melindungi anggota Komnas HAM saat turun ke masyarakat. "Alasannya, posisi mereka ketika berada di lapangan terancam, baik oleh masyarakat maupun pejabat yang merasa tersentil," ujarnya.
Ditambahkannya DPR sampai saat ini memang belum membahas secara khusus soal aturan khusus yang melindungi para pembela HAM. "Mengingat kerja DPR yang sangat padat membahas UU, untuk perlindungan para aktivis bisa dipayungi dulu dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.(ito/jpnn)
UN Indonesia Press Release, 5 June 2007
Special Representatives of the Secretary-General on the Situation of Human Rights Defenders Visits Indonesia
Jakarta, 5 June 2007 – The Special Representative of the Secretary-General on the situation of Human Rights Defenders, Ms Hina Jilani, is visiting the Republic of Indonesia from 5 to 13 June 2007 at the invitation of the Government.
The purpose of the visit is to assess the situation of human rights defenders, and to examine the legal framework as well as the environment in which they function for the protection and promotion of human rights. After the visit, a report containing the Special Representative's findings and recommendations will be published and presented to the United Nations Human Rights Council.
The Special Representative is scheduled to meet, among other Indonesian officials, with the Minister for Foreign Affairs, the Minister for Defense, the Minister for Home Affairs, the Minister for Law and Human Rights, the Director-General for Human Rights, the Director-General for Corrections, the Chief Justice of the Constitutional Court, the Deputy Chief Justice on Judiciary Matters, the Attorney General on General Crimes, the Chief of Military Armed Forces, the Chief of the National Police, the Chairman of the National Commission on Human Rights, the Chairperson of the National Commission on Women, and the Ombudsman.
She will also meet with a wide ranging segment of civil society and the press, and with representatives of the United Nations. The Special Representative is scheduled to visit Jakarta, Aceh, and West Papua where she has also requested to meet with relevant actors within the local authorities and civil society. Ms. Jilani will give a press conference in Jakarta at the end of the mission on 12 June 2007, at which she will present her preliminary findings.
Ms. Jilani, an advocate at the Supreme Court of Pakistan, was appointed Special Representative of the Secretary-General in August 2000.
DETIKCOM, 5 June 2007
Wakil Sekjen PBB Urusan HAM Sambangi Indonesia
Rafiqa Qurrata A - detikcom
Jakarta - Situasi pembela HAM di Indonesia akan ditinjau langsung Wakil Sekjen PBB Urusan Situasi Pembela HAM, Hina Jilani. Kunjungan Jilani dimulai hari ini, 5 Juni 2007 dan berakhir pada 13 Juni 2007.
"Beliau juga akan mempelajari kerangka hukum serta keadaan dimana kerangka hukum tersebut berfungsi untuk melindungi dan mempromosikan HAM," kata staf Kantor Komunikasi PBB di Indonesia, Laksmita Noviera, dalam keterangan yang diterima detikcom, Selasa (5/6/2007).
Jilani adalah seorang pengacara di Mahkamah Agung Pakistan. Jabatan Wakil Khusus Sekjen PBB dipegang sejak tahun 2000.
Di Indonesia, Jilani dijadwalkan bertemu dengan 4 menteri, yaitu Menlu, Menhan, Mendagri, dan Menkum HAM. Dia juga akan berjumpa dengan Dirjen HAM, Dirjen Lapas, Ketua MK, Ketua Muda MA bidang Peradilan, Jampidum, Panglima TNI, Kapolri, Ketua Komnas HAM, dan Ketua Komnas Perempuan.
"Temuan dan rekomendasi Sekjen PBB ini nantinya akan dipublikasikan dan dipresentasikan kepada Dewan HAM PBB," kata Laksmita.
Selain pejabat pemerintah, Jilani akan bertemu dengan berbagai organisasi kemasyarakatan dan pers. Dia juga akan berkunjung ke Aceh dan Papua Barat. (fiq/bal)
ADNKRONOS International, 5 June 2007
INDONESIA: U.N. REPRESENTATIVE VISITS TO CHECK HUMAN RIGHTS SITUATION
Jakarta, 5 June (AKI) - The Special Representative of UN Secretary-General Ban Ki-moon on the situation of Human Rights Defenders, Hina Jilani, arrived Tuesday in Jakarta for a week-long visit aimed at assessing the situation of human rights defenders and to examine the legal framework and the environment in which they operate. Hina Jilani, who is an advocate at the Supreme Court of Pakistan, was appointed to her current position in 2000, is scheduled to meet Indonesian ministers, police officials, lawyers and rights activists.
She is scheduled to visit Jakarta, Aceh, and West Papua.
After the visit, a report containing her findings and recommendations will be published and presented to the United Nations Human Rights Council. The visit is at the request of the Indonesian government.
(Rar/Aki)
KOMPAS CYBER MEDIA, 5 June 2007
Pertemuan Utusan Khusus PBB Tertutup
Jakarta, Kompas - Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembela Hak Asasi Manusia, Hina Jilani, akan mengadakan pertemuan tertutup dengan Komite Solidaritas untuk Munir. Pertemuan akan berlangsung pada hari Rabu (6/6) dan dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan penyidikan kasus pembunuhan Munir. Komite Solidaritas untuk Munir diwakili Usman Hamid dan Suciwati, istri Munir.
"Pertemuan tertutup atas permintaan Jilani. Mungkin karena dia butuh data yang lebih detail tentang kasus Munir, untuk melengkapi data yang didapat dari pemerintah," kata Usman, Senin (4/6) di Jakarta. Jilani berada di Indonesia pada 6-14 Juni 2007.
Dalam pertemuan yang akan berlangsung satu hingga dua jam dan baru pertama kali dilakukan langsung dengan utusan khusus Sekjen PBB itu, Usman berniat menjelaskan berbagai hal tentang kasus Munir. Misalnya, mengapa kasus itu tidak kunjung selesai, bagaimana kinerja penegak hukum, kerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan DPR.
Pada 7 Juni 2007, Jilani akan mendengarkan pengalaman kekerasan terhadap pembela HAM yang dilakukan kelompok fundamentalis bersenjata, kekerasan pada masa konflik dan sesudah konflik, serta kekerasan yang dialami pembela HAM saat mengungkap kasus korupsi dan penyalahgunaan kekerasan.
Dalam acara yang berlangsung terbuka itu, Jilani juga akan mendengarkan pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap pembela HAM, serta kekerasan yang dialami pembela HAM yang bekerja bagi kelompok rentan diskriminasi dan kekerasan. Setelah itu, dia ke Aceh dan kemungkinan ke Papua.
Koordinator Human Right Working Group Rafendi Djamin mengakui, hasil kunjungan Jilani dilaporkan dalam sidang Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss, April 2008. Apa pun laporannya akan ditanggapi Dewan HAM. (NWO)
VOICE OF HUMAN RIGHTS, 6 June 2007
Perlindungan Pembela HAM
Hina Jilani Datangi Mahkamah Konstitusi
Jakarta - Perwakilan Khusus Sekjen PBB Bidang Hak Asasi Manusia, Hina Jilani, Rabu (6/6) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi. Dia meminta informasi mengenai perlindungan bagi pembela HAM di Indonesia.
Hina Jilani menyatakan kunjungannya ke Indonesia selama tanggal 4 hingga 15 Juni untuk mencari, menerima, meneliti, dan menjawab informasi tentang situasi HAM, khususnya perlindungan bagi penegak HAM. "Saya ke sini tidak membahas kasus per kasus, seperti kasus Munir, tapi fokus pada perlindungan para penegak HAM.”
Seusai pertemuan, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, Hina Jilani berkunjung untuk mengetahui peran Mahkamah Konstitusi dalam melindungi para pembela HAM. "Tidak ada kaitan dengan kasus-kasus tertentu.”
Hina Jilani juga berencana mengunjungi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Rencana itu berkaitan dengan laporan tahunan Perwakilan Khusus Sekjen PBB Bidang HAM sebelumnya perihal banyaknya pelanggaran terhadap pembela HAM di kedua provinsi tersebut. Pada 12 Juni dia akan menggelar konferensi pers untuk menjelaskan hasil kunjungan dai Indonesia.
Pejabat tinggi pemerintah yang akan ditemui Hina Jilani adalah Wakil Presiden, Menkopolhukam, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menneg Lingkungan Hidup, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Kepala BPN, Ketua MK, Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, dan Panglima TNI. (E1)
VOICE OF HUMAN RIGHTS, 7 Juni 2007
Hina Jilani:
Indonesia Belum Lindungi Pembela HAM
Jakarta - Pemerintah Indonesia belum melakukan perubahan kebijakan mendasar dalam melindungi para pembela hak asasi manusia. Sampai saat ini Indonesia belum membuat kebijakan nyata.
Demikian pernyataan Perwakilan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM, Hina Jilani, dalam dengar pendapat dengan sejumlah LSM HAM Indonesia di Jakarta, Kamis (7/6).
“Saya melihat di Indonesia cukup ada kemajuan, tapi hal itu harus dinyatakan secara tegas. Jangan hanya wacana,” katanya.
Hina Jilani meminta para pejuang HAM Indonesia lebih akurat mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran kemanusiaan. Hal itu dilakukan untuk menghindari serangan balik melalui jalur hukum dari para pelanggar HAM.
Koordinator Kontras Sulawesi Edmond Leonardo mengatakan, para penggiat HAM di daerah konflik seperti Poso bahkan kerap menjadi korban pelanggaran seperti pelecehan seksual dan intimidasi. “Pemerintah Indonesia dari Orde Baru sampai pemerintahan SBY- JK sekarang sama sekali belum memberikan jaminan keamanan bagi pembela HAM.”
Hina Jilani, perempuan asal Pakistan yang mengagas berdirinya lembaga bantuan hukum pertama di negaranya ini, juga menyayangkan belum terjaminnya hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia. Selama kunjungannya di Indonesia, dia menemukan bukti bahwa kemiskinan di negara ini meningkat disertai tingginya biaya kesehatan dan pendidikan.
Kunjungan Hina Jilani ke Indonesia merupakan pelaksanaan mandat Sekjen PBB atas permintaan Komisi HAM untuk memantau kemajuan penegakan HAM di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hina Jilani akan mengakhiri kunjungannya di Indonesia pada 13 Juni nanti dan hasil kunjungannya akan dilaporkan pada rapat Dewan HAM PBB tahun ini. (E1)
TEMPO INTERAKTIF, 7 Juni 2007
UN Special Envoy Questions Human Rights Upholding
Thursday, 07 June, 2007 | 14:45 WIB
TEMPO Interactive, Jakarta: Hina Jilani, a special representative of the United Nations (UN) Secretary General, came to the Constitutional Court yesterday (6/6) as a part of her visit to Indonesia regarding the upholding of human rights.
During the one-hour meeting, Constitutional Court Chief, Jimly Asshiddiqie, explained the Court's role in the upholding of human rights.
“There was no connection to any specific cases,” said Jimly.
He went on to say that this was because specific human rights cases such as the Munir murder case are regarded as being more related to the roles of the executive and ordinary judiciary.
Jilani said that her visit would last from June 4 until June 15 and that she was scheduled to meet with officials including: the Vice President; the Coordinating Minister for political, Legal and Security Affairs; the Foreign Affairs Minister; the Justice and Human Rights Minister; the Home Affairs Minister; the Defense Minister; the Manpower and Transmigration Minister; the State Minister for the Environment; Agriculture Minister; the Finance Minister and the Head of the National Land Agency (BPN).
“My coming here will focus on the matter of human rights upholding,” said Jilani.
Therefore, while she is in Indonesia she will also meet with law enforcement officers, non-governmental organizations (NGOs) and lawyers.
“I'll also meet with the National Police Chief, the Indonesian Military (TNI) Commander, the Supreme Court Chairman and the Attorney General,” she said
When asked about human rights violation such as the murder of human rights defender activist, Munir, and the clash between marines and locals in Pasuruan, Jilani refused to comment.
“I'll explain later,” she said.
Rafensi Djamin, Coordinator of the Human Rights Working Group, said that his organization—an association union of around 40 NGOs dealing with human rights—will convey the demand of the importance of protection for human rights defender via Jilani.
“We hope that the envoy can give the government recommendations to make a frame of protection for human rights defenders,” he said.
RINI KUSTIANI
DETIKCOM, 7 June 2007
Dephan Janji Jamin Pembela HAM
M. Rizal Maslan - detikcom
Jakarta - Departemen Pertahanan (Dephan) berjanji menjamin perlindungan terhadap sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membela hak asasi manusia (HAM). Jaminan ini akan disampaikan kepada Wakil Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani.
"Saya tunggu kedatangan beliau. Kemarin sebenarnya dijadwalkan, tapi saya sedang menghadiri rapat di DPR mewakili presiden dan menteri lain," kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono usai diskusi tentang 'Pencegahan konflik dan pembangunan yang damai' di Gedung LIPI, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (7/6/2007).
Juwono menjelaskan, Jilani merupakan sosok yang sangat konsern tentang perlindungan terhadap LSM yang membela HAM, termasuk di Indonesia. "Ia meminta jaminan bahwa LSM yang bergerak di bidang HAM jangan sampai terancam," jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Juwono juga menegaskan, dirinya akan menjamin TNI tetap berkomitmen untuk melindungi sejumlah LSM tersebut. "Termasuk yang sering mengganggunya (TNI), kita jamin itu," tegasnya.
Juwono juga menyatakan, datang atau tidaknya Hina Jilani ke Indonesia, pemerintah sangat berkomitmen untuk melindungi LSM tersebut. Walau begitu, Juwono mengakui, adanya pembatasan terhadap sejulah LSM asing untuk masuk ke wilayah Papua.
Sebab, lanjut dia, bila dibiarkan, justru akan memicu konflik di antara masyarakat di Papua. Sebagian masyarakat di Papua ada yang menuding kedatangan orang asing sebagai tempat pengaduan.
"Daripada menimbulkan kerawanan, kita batasi. Kita selektif untuk membiarkan wartawan atau atase pertahanan negara asing datang ke Papua," tandasnya.
Wakil Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani meminta pemerintah Indonesia harus menyusun prosedur dan mekanisme untuk pembela HAM.
Menurut Jilani yang jugaberprofesi sebagai pengacara di MA Pakistan ini dalam kunjungannya di Jakarta, jaminan perlindungan terhadap pembela HAM di Indonesia dirasakan masih sangat minim. (zal/sss)
DETIKCOM, 7 June 2007
7/06/2007 17:19 WIB
Wasekjen PBB: RI Harus Tahu Apa itu Pembela HAM
Oskar Birawa - detikcom
Jakarta - Kasus pelanggaran HAM di Indonesia diakui cukup banyak. Namun jaminan perlindungan terhadap pembela HAM dirasakan masih sangat minim.
"Pemerintah harus menyusun prosedur dan mekanisme untuk pembela HAM," kata Wakil Sekjen PBB Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani.
Hal tersebut disampaikan Jilani yang juga berprofesi sebagai pengacara di MA Pakistan ini dalam acara Public Hearing Pembela HAM Indonesia di Goethe House, Jl Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/6/2007).
Sementara Ketua Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mendesak pemerintah harus menciptakan situasi yang kondusif bagi para aktivis pembela HAM.
"Pemerintah harus memberikan jaminan atas hak berpendapat, berkumpul dan berorganisasi. Pembela HAM mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi," kata Rafendi.
Acara dihadiri para aktivis dan sejumlah LSM yang yang dikenal getol memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia, antara lain Imparsial, Kontras, LBH, LPSHAM, Komnas Perempuan, dan HRWG. (bal/sss)
KOMPAS CYBER MEDIA, 7 June 2007
Perlindungan Pembela HAM Perlu Diperhatikan
Wakil Khusus Sekjen PBB Temui Ketua Mahkamah Konstitusi
Jakarta, Kompas - Wakil Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB Hina Jilani meminta Pemerintah Indonesia memerhatikan perlindungan para pembela hak asasi manusia atau HAM. Perlindungan terhadap keselamatan semua pembela HAM adalah sesuatu yang sangat penting.
Hal itu diutarakan Hina Jilani seusai menemui Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie di Kantor MK, Jakarta, Rabu (6/6). Dalam pertemuan dengan Jimly, ia menyampaikan kepedulian PBB terhadap keselamatan aktivis pembela HAM dan juga pentingnya akses terhadap keadilan bagi rakyat miskin.
Seusai pertemuan, Hina menjelaskan, meski ia membawa wacana HAM, ia memfokuskan pada perlindungan keselamatan aktivis pembela HAM, termasuk bagaimana cara mereka bekerja. Aktivis pembela HAM itu bisa wartawan, pengacara, dan penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Soal kepedulian internasional terhadap kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir dalam pesawat Garuda Indonesia, Hina mengatakan, "Kasus itu secara pribadi merupakan kasus istimewa. Saya sudah menyampaikan pemikiran dan pandangan saya kepada Pemerintah Indonesia. Saya berharap selama rangkaian masa tugas bisa mengemukakan persoalan ini kepada pejabat yang saya temui dan bisa mendapatkan masukan-masukan dari mereka."
Selain menemui pejabat di Jakarta dan Komnas HAM, ia juga akan menemui pejabat di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam. Ia juga bertemu dengan aktivis HAM.
Pejabat pemerintah yang ingin ditemui antara lain Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Ia juga ingin bertemu dengan Panglima TNI Marsekal (TNI) Djoko Suyanto dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto.
Hina juga akan ke Aceh dan Papua. Mengenai hasil dari kunjungannya ke Indonesia, ia akan menggelar jumpa pers pada 12 Juni mendatang di Kantor Perwakilan PBB Jakarta.
Sejak tahun 2004, Wakil Khusus Sekjen PBB tentang Situasi Para Pembela HAM mengajukan permohonan kepada Pemerintah Indonesia agar dapat diundang untuk melakukan kunjungan resmi. Tahun 2006, pemerintah memutuskan memenuhi permintaan itu untuk memberi kesempatan kepada Wakil Khusus menyaksikan kondisi pembela HAM di Indonesia.
Tahun 2003 terdapat 13 kasus kekerasan terhadap pembela HAM yang dilaporkan ke PBB. Tahun 2004 terdapat 13 kasus juga. Tahun 2005 terdapat tujuh kasus dan tahun 2006 dua kasus. Dalam laporan tahun 2007 sudah terdapat tujuh kasus kekerasan terhadap pembela HAM yang dilaporkan ke PBB. (vin)
ANTARA, 8 June 2007
UN secretary general`s special envoy visiting Papua
Jayapura, Papua (ANTARA News) - A special envoy of the United Nations secretary general, Hina Jilani, arrived here Friday on a Garuda Indonesia flight for a two-day visit.
Jilani arrived in Sentani airport at 7.45 a.m. after an eight-hour flight from Cengkareng airport in Banten province with transits at Denpasar`s Ngurah Rai airport and Timika in the country`s easternmost province of Papua.
Papua administration officials as well as Papua and West Irian Jaya human rights activists welcomed Jilani at Sentani airport.
Papua Governor Barnabas Suebu was not present at the airport as he was on a 40-day tour of the northern coastal and mountainous areas of less developed Papua province which he began last June 4.
During her stay in Jayapura, Jilani is scheduled to meet with provincial administration officials, military and police chiefs, members of the provincial legislative assembly and the Papuan People`s Council (MRP) as well as religious and non-governmental organization leaders.
At a meeting with Constitutional Court Chairman Jimly Asshiddiqie in Jakarta on Wednesday, Jilani asked the Indonesian government to pay due attention to the protection of human rights campaigners.
She said the United Nations was really concerned about protection of human rights campaigners and poor people`s access to justice.
Jilani was also scheduled to visit Aceh, the country`s westernmost province.
She will hold a press conference in Jakarta on June 12 on the results of her visit to Indonesia.
THE JAKARTA POST, 8 June 2007
UN rep hears RI human rights defenders testimonies
Several Indonesian human rights activists delivered five-minute reports on their work at a public hearing with a special UN representative in the hope of receiving greater protection and attention from the world body.
Receiving the reports was Special Representative of the UN Secretary General on Human Rights Defenders Hina Jilani.
Asiah, a human rights defender from the Aceh office of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence, said that during the 1989-2005 military operation in Aceh, seven human rights defenders were imprisoned, 150 were tortured, 25 were arrested, 20 were intimidated and 30 female human rights defenders were sexually harassed.
"Of all the violence cases, only two were handled by the police, but were stopped at the investigation level," Asiah said Thursday during the public hearing.
During her report she recounted a case in which three human rights volunteers had been murdered, reiterating that the matter remains unsolved despite the chronology of events and the identity of the murderer being known.
"The government and officials often say that our work and our data are bogus. We also see a shifting pattern from physical threats to psychological intimidation," she said.
Kusnul Hidayati, a defender from Yogyakarta who focuses on helping victims of the 1965 tragedy, said she has faced intimidation and stigma because of her work.
"My parents banished me from their house because they couldn't accept my activities. My mother thinks I'm a whore because she heard that female human rights defenders usually have a free-sex life," said the 33-year-old single woman.
The coordinator of Indonesian NGO Coalition for International Human Rights Advocacy, Rafendi Djamin, said the state should be responsible for protecting human rights activists, but that Indonesia had no such protection mechanisms.
"The government must comprehend that human rights activists can be anyone, such as lawyers, teachers and journalists, and the government should protect them as defenders of human rights," Rafendi said.
He added that the unsolved case of murdered human rights activist Munir Said Thalib is still of grave concern.
"There will be talks, open and closed, on this subject, especially about the government's efforts over the last two years and the political obstacles," he said.
"Mrs. Jilani is also giving special attention to the Munir case. She wants to know about this case first hand. If there are political obstacles, she can help initiate a political breakthrough."
Rafendi said that Jilani would report on the results of her visit at a 2008 UN Human Rights Council meeting. He added that the report would cover the meeting with the Indonesian human rights activists and officials and include a comparative study of the meetings and recommendations to the council.
"This could apply the pressure we need in the international forum because Indonesia is a member of the UN Human Rights Council. Indonesia must show consistency and be cooperative about international recommendations," he said.
Jilani said she had noticed changes in Indonesia, such as the establishment of democratic institutions, since the 1998 reforms, adding that these changes must be kept in motion to allow Indonesians to benefit from the reformation.
"I hope I will be able to identify the issues, make assessments and give recommendations for better human rights in Indonesia," she said. (14)
HUKUMONLINE, 8 Juni 2007
Kunjungan Hina Jilani dan Nasib Pembela HAM di Indonesia
Kedatangan Hina Jilani ke Indonesia benar-benar dimanfaatkan para aktivis human rights defender untuk curhat.
Begitulah yang tampak pada pertemuan di Goethe Haus Jakarta, sepanjang Kamis (07/6) kemarin. Satu per satu aktivis pembela hak asasi manusia bergantian menyampaikan uneg-uneg mereka. Hina Jilani tampak mendengarkan secara cermat curhat para aktivis tersebut.
Hina Jilani, wanita Pakistan yang berprofesi sebagai pengacara, datang ke Indonesia sebagai utusan khusus Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Urusan Situasi Pembela HAM. Ia akan berada di Indonesia selama sepekan. Kedatangan Hina benar-benar dimanfaatkan para aktivis HAM untuk menyampaikan pengalaman mereka selama ini mendampingi dan mengadvokasi masyarakat atau kelompok yang rentan pelanggaran hak asasi. “Kunjungan itu cukup berarti karena para pembela HAM belum mendapat perlindungan yang layak dari Pemerintah,” kata Wahyu Wagiman, aktivis Elsam.
Intimidasi, ancaman, kekerasan fisik hingga menjadikan instrumen hukum untuk melawan adalah tantangan yang banyak dihadapi para aktivis. Di depan Hina Jilani, para aktivis menyebut hambatan dengan sebutan diskriminasi, viktimisasi dan kriminalisasi. Pelakunya bervariasi mulai dari aparat hingga anggota keluarga sang aktivis.
Dengarlah apa yang dialami Nurlaila, Guru SMP 56 Melawai yang akhirnya harus duduk di kursi pesakitan karena melawan kebijakan ruislag sekolah itu ke tempat yang lebih jauh, sementara lokasi sekolah akan dijadikan gedung bisnis. Memang, PN Jakarta Selatan menyatakan ia bebas. Tetapi belakangan ia baru tahu, jaksa masih menempuh upaya hukum yang lebih tinggi. Nurlaila bukan hanya harus kehilangan sumber kehidupannya sebagai guru, tetapi juga dikriminalisasi.
Baby Jim Aditya, aktivis penderita HIV/AIDS menceritakan bagaimana dia segan hadir dalam perkawinan. “Karena kalau saya hadir seakan-akan salah satu dari mempelai adalah penderita (HIV/AIDS). Saya terstigma oleh profesi saya sendiri,” ceritanya. Wa Ode Habibah dari KPI Muna, Sulawesi Tenggara bahkan dituduh membakar rumahnya sendiri untuk mencari sensasi. “Itu fitnah! Rumah saya dibakar preman dengan kami terkunci di dalam,” tandasnya.
Kekerasan fisik dan ancaman pembunuhan juga tidak jarang dihadapi oleh orang-orang LSM ini. “150 orang disiksa, 25 ditangkap, 7 dipenjara, 30 aktivis perempuan dilecehkan, 5 kasus penggeledahan paksa, 2 orang hilang,” sembur Asiah, anggota Kontras Aceh.
“Kaki saya dibacok,” cerita Lery Mboeik, aktivis PIAR NTT. “Wartawan Bernas dibunuh 1996, wartawan Berita Sore hilang 2005, dan wartawan Delta Pos dibunuh 2006,” beber Abdul Manan dari AJI. “Saya diperkosa,” cetus Hartoyo, aktivis hak kaum homoseksual dan transeksual. Aktivis lain mengeluhkan gampangnya aparat menggunakan tuduhan mencemarkan nama baik untuk membungkam para aktivis. Begitulah, satu per satu para aktivis itu curhat.
Sembari memuji keberanian para aktivis HAM datang, Hina menandakan bahwa perlindungan terhadap para pembela HAM sebenarnya merupakan keniscayaan. PBB juga sudah mengadopsi sejumalh hak mereka melalui UN Declaration on Human Rights Defender. “Deklarasi ini harus diadopsi negara-negara tanpa pengecualian. Jika tidak diadopsi secara legal, minimal secara moral,” tandas Hina.
Beruntung, mereka bisa curhat kepada utusan khusus PBB. Banyak aktivis yang tak memiliki akses seperti mereka yang mendapatkan perlakuan tak baik saat menjalankan tugas. Hukumonline pernah mencatat bagaimana nasib seorang Abdul Muis P, aktivis yang dikejar-kejar aparat hukum dengan berbagai cara, setelah ia melaporkan dugaan korupsi kepala daerah suatu kabupaten di Sumatera Utara. Semula polisi menjeratnya dengan tuduhan melanggar UU Kearsipan hanya karena ia memiliki salinan hasil audit BPK. Lain waktu ia dituduh mencemarkan nama baik Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, tetap memberi perlindungan terhadap para aktivis. Termasuk mereka yang selama ini sering mengkritik Pemerintah.
Ada hubungan timbal balik antara penegakan HAM dengan pelanggaran terhadap hak-hak pembela HAM. Menurut Hina Jilani, semakin tinggi upaya penegakan HAM, semakin tinggi pula potensi ancaman terhadap para pembela HAM. Untuk itu, PBB terus mendorong agar negara-negara anggota memberikan perlindungan yang cukup kepada para aktivis pembela HAM. “Harus ada prosedur yang mendukung keamanan dan kredibilitas pembela HAM,” komentarnya.
Sedikit harapan terbersit dengan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Masalahnya, kata Emerson, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban belum terealisir karena terbentur pendanaan. Aktivis ICW ini berharap Hina Jilani bisa mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera merealisir LPSK tadi.
Sebelum mendengarkan curhat para aktivis, Hina Jilani berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kunjungan saya juga untuk memastikan apakah MK punya peranan sebagai perjuangan penegakan HAM di Indonesia,” ujar Jilani.
Hina juga ingin mendengar dan melihat langsung penerapan akses terhadap keadilan (access to justice) bagi warga negara yang hak-hak asasinya dilanggar. Ketua Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kebanyakan perkara yang masuk ke MK berkaitan dengan HAM. “Sebelas persen permohonan judicial review yang masuk dikabulkan,” jelas Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Hina Jilani memang sengaja diutus untuk menghimpun data, laporan dan masukan mengenai situasi pembela HAM. Indonesia bukan negara pertama yang dia kunjungi terkait tugas tersebut. Tahun lalu, Hina sudah menjalankan tugas special representative itu ke Brazil, Nigeria dan Palestina. Laporan-laporan yang disampaikan Hina pun bisa diakses dengan mudah.
Satu hal yang patut dicatat, aktivis tak bisa mengandalkan advokasinya dari belakang meja. Ia harus duduk dan berbicara dengan orang-orang yang mereka advokasi dan para pemangku kepentingan. Seperti yang pernah dikatakan Hina Jilani saat diwawancarai Michelle Stephenson, Koordinator Komite Pengacara HAM pada American Bar Association sebagaimana dikutip situs organisasi para advokat Amerika ini (www.abanet.org).
Hina berkata: “A human rights activist, but I could never be a human rights lawyer sitting at a desk. I have to go to court, that is something that inspires me most. To be able to go to court, to take a lot of cases, whether they're individual cases or collective rights cases-it gives me a lot of satisfaction. Even if I lose, it may not give me satisfaction, but it gives me the sense that I have to fight more. . . . There is a lot of frustration. The kinds of judges and the kind of judicial system that we work with are not the best environment to give you encouragement in the kind of work that we do”.
(CRP/M-3/M-5/Mys)
KOMPAS CYBER MEDIA, 8 June 2007
Utusan PBB Dihadang Puluhan Mahasiswa di Jayapura
Laporan Wartawan Kompas Aryo Wisanggeni G
JAYAPURA, KOMPAS- Intimidasi- Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa mengenai Pembela Hak Asasi Manusia, Hina Jilani dihadang puluhan mahasiswa di Swiss-Bel Hotel, Jayapura, Papua, Jumat (8/6). Para mahasiswa itu ingin menyampaikan aspirasi terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Awalnya, protokoler menolak mempertemukan para mahasiswa dengan Jilani, karena Jilani pada waktu yang sama dijadwalkan melakukan pertemuan dengan Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Tedjo Suprapto. Akan tetapi mahasiswa besi-kukuh menolak membubarkan diri sebelum mereka bertemu Jilani.
Para mahasiswa berbaris membarikade jalan keluar Swiss-Bel Hotel. Mereka membentangkan spanduk dan berbagai poster. Poster itu antara lain bertuliskan "Stop Killing in West Papua", "Stop Violence to Papuan People", dan "Welcome Mrs Hina Jilani, Who Carry Freedom for All The West Papua".
Sekitar pukul 09.15 WIT, akhirnya protokoler mempertemukan perwakilan mahasiswa dengan Jilani. Saat berjalan memasuki lobi hotel, salah satu wakil mahasiswa, Buchtar Tabuni, sempat marah karena sejumlah intel berusaha mengikuti rombongan yang akan menemui Jilani.
"Yang bukan wartawan tidak boleh ikut masuk. Kami tidak mau," kata Tabuni. Salah satu petugas protokoler pun melarang intel mengikuti
Tabuni yang akan melapor kepada Jilani.Saat bertemu Jilani, Tabuni, menyerahkan laporan tertulis yang tersimpan dalam map berwarna hijau. "Tolong disimpan, dokumen itu hanya untuk Anda," kata Tabuni kepada Jilani.
Jilani berjanji menjaga dokumen itu. Jilani pun mengundang mahasiswa untuk hadir dalam pertemuan dengan aktivis HAM di Papua pada Jumat sore. Setelah bertemu Jilani, mahasiswa pun membubarkan diri.
Hingga berita ini diturunkan, Jilani masih melakukan pertemuan tertutup dengan Sekretaris Daerah Tedjo Suprapto. Sepanjang Jumat, Jilani dijadwalkan untuk bertemu Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kepolisian Daerah Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Panglima Daerah Militer XVII/Trikora, Majelis Rakyat Papua, Rektor Universitas Cenderawasih, para tokoh agama dan aktivis HAM di Papua.
KOMPAS CYBER MEDIA, 8 June 2007
Kegiatan Intelijen dan Penambahan TNI di Papua Jadi Sorotan
Laporan Wartawan Kompas Aryo Wisanggeni G
JAYAPURA, KOMPAS- Dalam kunjungannya ke Jayapura, ibukota Provinsi Papua pada Jumat (8/6), Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pembela Hak Asasi Manusia, Hina Jilani, melakukan sejumlah pembicaraan dengan berbagai pihak, termasuk polisi, jaksa, dan Majelis Rakyat Papua. Dalam berbagai pimbicaraan itu, Jilani antara lain membicarakan kegiatan intelijen dan penambahan prajurit TNI di Provinsi Papua.
Kunjungan itu sempat diwarnai aksi penghadangan oleh Koalisi Masyarakat Peduli Papua yang ingin bertemu langsung dengan Jilani. Selain itu, kunjungan juga diwarnai aksi damai Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat yang sempat besitegang dengan polisi karena spanduk dan poster mereka disita.
Jilani mengawali kunjungannya dengan melakukan serangkaian dialog, antara lain dengan Sekretaris Daerah Provinsi Papua Tedjo Soeprapto dan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua Lorents Serworwora. Setelah itu, Jilani melakukan pertemuan tertutup dengan Kepala Kepolisian Daerah Papua (Kapolda), Brigjen Max Donald Aer.
Dalam pertemuan dengan Kapolda, Jilani mengklarifikasi laporan yang diterimanya tentang banyaknya aktivitas intelejen di Papua. Jilani menyampaikan pihaknya telah menerima laporan bahwa para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua merasa tidak aman karena sering diintai dan dimata-matai intelejen.
Seusai pertemuan itu, Aer menyatakan tidak benar jika kegiatan intelejen di Papua dilakukan untuk mengintimidasi para aktivis HAM. "Kewajiban polisi adalah melindungi dan mengayomi seluruh masyarakat. "Jadi kalau ada masyarakat yang merasa tidak aman, silahkan melapor kepada polisi. Beliau menyatakan menerima laporan bahwa aktivis HAM di Papua selalu diintai intelejen. Saya jelaskan bahwa hal itu tidak benar. Tugas intel polisi adalah mengumpulkan informasi dan keterangan untuk diolah untuk diteruskan kepada reserse kriminal jika (diduga) ada tindak pidana)," kata Aer.
Aer sendiri menyatakan kunjungan Jilani sangat positif, karena dengan demikian Jilani memperoleh informasi yang berimbang tentang kondisi di Papua. "Jadi, dengan pertemuan seperti tadi kami bisa menyampaikan versi kami," kata Aer.
Jilani juga bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua. Dalam pembicaraan tertutup dengan Jilani, Majelis Rakyat Papua melaporkan penambahan pasukan Tentara Nasional Indonesia terus terjadi pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer. Penambahan pasukan itu dinilai menghambat kerja MRP dalam melakukan pembelaan hak kultural masyarakat asli Papua.
"Jilani menanyakan kepada kami apa yang bisa dilakukannya untuk memberikan perlindungan bagi aktivitas MRP dalam memperjuangkan hak kulturan masyarakat asli Papua. Kami pun melaporkan kondisi riil, bahwa penambahan pasukan TNI menghambat kerja kami untuk memperjuangkan hak kultural masyarakat asli Papua. Bagaimana kami mau bekerja, jika kami mengunjungi daerah selalu diikuti oleh tentara," kata Ketua Majelis Rakyat Papua, Agus Alue Alua.
Kepada Jilani, Alua melaporkan bahwa sejak Otonomi Khusus bagi Papua diberlakukan jumlah Komando Resor Militer telah bertambah dari tiga menjadi lima satuan teritorial. Sementara jumlah batalion non teritorial yang ditempatkan di Papua bertambah dari tiga batalion menjadi enam batalion. "Di setiap distrik juga ada satuan tugas TNI, yang biasanya memiliki 18 sampai 25 orang personil. Kondisi seperti itu menyulitkan kami bekerja dengan bebas," kata Alua.
Alua menyatakan hasil dialog itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. "Akan tetapi, kami meminta harus ada perhatian khusus kepada Papua, khususnya terhadap MRP dalam melakukan tugasnya memperjuangkan hak kultural masyarakat asli Papua," kata Alua.
Ditemui usai bertemu Kapolda Papua, Jilani menyatakan pihaknya akan mengumumkan kesimpulan hasil kunjungan ke Papua melalui keterangan pers yang akan disampaikan di Jakarta pada Selasa (12/6) mendatang. "Saya melakukan pembicaraan yang sangat baik dengan berbagai pihak, termasuk informasi yang berguna untuk merumuskan tindak lanjut yang harus dilakukuan (untuk meningkatkan jaminan keamanan pembela HAM di Papua. Saya menemukan adanya kebutuhan yang sangat besar tentang hal itu. Akan tetapi, saat ini masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan dari hasil observasi kami," kata Jilani.
Kunjungan itu sempat diwarnai aksi penghadangan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Papua yang ingin bertemu langsung dengan Jilani pada Senin pagi. Penghadangan itu berakhir setelah koordinator aksi, Buchtar Tabuni diizinkan menyerahkan dokumen aspirasi mereka secara langsung kepada Jilani.
Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat juga melakukan aksi damai untuk menyuarakan berbagai pelanggaran HAM di Papua. Aksi itu berakhir tegang, karena polisi menyita spanduk dan poster mereka. Akan tetapi tidak terjadi kericuhan.
Pada Jumat petang, Jilani bertemu Komisi Nasional HAM Perwakilan Papua. "Dalam pertemuan itu, kami melaporkan bahwa kami anggota Komnas HAM Perwakilan Papua juga sulit bertugas karena mengalami intimidasi. Dalam kasus Bentrokan 16 Maret 2006 misalnya, ada anggota Komnas HAM Perwakilan Papua yang dipukul aparat," kata Sekretaris Komnas HAM Perwakilan Papua, Fritz Ramanday.
Jilani juga bertemu para tokoh agama di Keuskupan Jayapura. Pada Jumat malam, Jilani menemui aktivis HAM yang ada di Papua, untuk menerima langsung laporan situasi dan kondisi advokasi pelanggaran HAM di Papua.
KOMPAS CYBER MEDIA, 8 June 2007
Kunjungan Utusan Khusus PBB Diwarnai Penyitaan Spanduk
Laporan Wartawan Kompas Aryo Wisanggeni G
JAYAPURA, KOMPAS - Kunjungan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa untuk urusan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM), Hina Jilani, ke Jayapura, Papua, Jumat (8/6), diwarnai penyitaan spanduk dan poster para demonstran. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan Jilani berada di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Sejak sekitar pukul 12.00 WIT, sekitar 20 mahasiswa yang tergabung dalam Front Persatuan Perjuangan Rakyat (Pepera) Papua Barat (PB) melakukan unjuk rasa di depan kantor DPRP. Mereka berunjuk rasa untuk menyuarakan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan tuntutan referendum bagi penyelesaian masalah di Papua. Para pengunjuk rasa juga membawa puluhan poster yang menyuarakan pelanggaran HAM di Papua. Sekitar pukul 13.09 WIT, polisi akhirnya merampas spanduk dan poster itu. Spanduk yang disita akhirnya disimpan di dalam truk polisi yang terparkir di halaman DPRP.
Juru bicara nasional Front Pepera PB, Arkilius Baow menyatakan penyitaan itu membuktikan bahwa Papua tidak aman. "Penyitaan itu juga membuktikan bahwa selama ini selalu terjadi represi terhadap upaya rakyat Papua untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum," ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan sekitar pukul 14.25 WIT, Jilani masih melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan DPRP. Sementara mahasiswa telah membubarkan diri.
AFP, 8 June 2007
Papuans ask for UN help to overturn 1969 vote
JAKARTA (AFP) - Hundreds of people rallied Friday in West Papua, calling on the
United Nations
United Nations to put pressure on Jakarta to overturn a 1969 referendum that joined the territory to Indonesia, organisers said.
Rallying during a visit by UN envoy Hina Jilani, demonstrators urged the United Nations to reconsider the vote, in which voters opted to join Indonesia rather than become independent. Many here insist the vote was a sham.
"We urge the United Nations to accept the Papuan people's aspiration to review the Act of Free Choice," as the referendum was known, rally organiser Jek Wanggai told AFP by phone.
"The United Nations must register Papuan areas as colonised zones and organise an immediate referendum vote," Wanggai said.
He said about 900 people took part in the rally in Manokwari, 800 kilometres (500 miles) from the provincial capital Jayapura, where Jilani was meeting with officials on Friday. No figure was immediately available from police.
Papuans have also long accused Indonesia's military of violating human rights in the province and complain that the bulk of earnings from its rich natural resources flow to Jakarta.
The Pakistan-born Jilani was named as the UN envoy on human rights defenders in 2000. She has been meeting with Indonesian officials since arriving on Tuesday.
Wanggai called on her to meet representatives of his movement while in West Papua.
"We no longer believe in the corrupt Indonesian justice system and hope an international court will deal with human rights violations in Papua," he said.
AFP, 8 June 2007
Indonesia Needs to Do More on Human Rights: UN Envoy
JAKARTA: A special UN envoy on Thursday praised Indonesia for making great strides towards improving the human rights situation in the country, but said more needed to be done to protect activists.
"There has been significant changes ... (but) these changes must be reflected in actions on the ground," Hina Jilani, the special representative of the UN secretary general on human rights defenders, told a public hearing.
"What happens in Indonesia not only affects regional security but also the movement in this region towards democratisation of governments (and) countries and the strengthening of civil society."
Jilani, a Pakistani attorney who founded that country's first all-female law firm in 1980, is in Indonesia on a 10-day working visit to assess the situation of human rights defenders.
She will submit recommendations to the Jakarta government when her stay ends on June 15.
"Governments are urged to act in a manner that supports the legitimacy and the value of human rights defenders," she said, before listening to the stories of more than 20 activists from across Indonesia.
One of those scheduled to meet Jilani is the widow of slain activist Munir Said Thalib, who was poisoned on his way to Amsterdam in 2004.
Police and the government have also come under pressure from Munir's widow and rights groups amid claims of a cover-up in the original investigation because of links to the nation's national intelligence agency, BIN.
RADIO NEW ZEALAND INTERNATIONAL, 8 June 2007
Papuans plan demonstration to coincide with UN envoy’s Indonesia trip
About 1,000 Papuans are expected to conduct a peaceful demonstration in Manokwari today to coincide with the visit to Indonesia’s Papua province of a United Nations representative.
The UN Secretary General`s Special Envoy for Humanitarian Affairs, Hina Jilani, is making an excursion to Papua during her working visit to Indonesia at the government`s invitation.
The purpose of her trip is to observe how human rights are being funded and promoted in Indonesia as well as to study the legal framework to defend human rights.
The Papua Youth and Student organisation, which has planned the demonstration, aims to inform the UN about human rights abuses they continue to suffer.
Its spokesman, Jek Wanggai, says they have three main points to make:
“The people people of West Papua, we want to [have the UN] review the Act of Free Choice in 1969; then the second, we cannot use Special Autonomy again, because it’s not good for our people; and then the third, we want a total referendum [on self-determination] in West Papua.”
THE JAKARTA POST, 9 June 2007
Papuans greet UN envoy with rallies, demands
Nethy Dharma Somba, The Jakarta Post, Jayapura
Hundreds of Papuans rallied Friday in Papua and West Papua provinces during a one-day visit by special representative of the UN Secretary General on Human Rights Defenders Hina Jilani.
In both provinces, Jilani was greeted with rallies.
In Papua, the protesters, from the Coalition of Community Concern on Papua and the United Front of West Papua People's Fight, welcomed Jilani, while others called on her to "stop the genocide of the Papuans" and "stop the killing in West Papua".
In West Papua's capital city Manokwari, the protesters called on the UN to put pressure on Jakarta to overturn the 1969 referendum that joined the territory to Indonesia, AFP reported.
"We urge the United Nations to accept the Papuan people's aspiration to review the Act of Free Choice," as the referendum was known, rally organizer Jek Wanggai told AFP by phone.
"The United Nations must register Papuan areas as colonized zones and organize an immediate referendum vote."
The protesters gathered outside the hotel where Jilani was staying Jayapura, demanding to see her.
Jilani briefly met the protesters, during which their representative, Bucthar Tabuni, handed her a green map detailing human rights violations in Papua.
A rally was also held outside Papua Legislative Council building but was broken up by police.
Jilani met with top Papuan officials, including provincial secretary Tedjo Suprapto, Papua Police chief Brig. Gen. Max Donald Aer, the council's speaker John Ibo as well as religious leaders and non-governmental activists.
Jilani said she was in the province to check on reports received by the UN that several human rights workers in Papua were not comfortable conducting their work and believed they were being spied on.
Such reports were also received by Papua Legislative Council speaker John Ibo.
"I told Ibu Jilani that several human rights workers in Papua are working under pressure, getting outside intervention that makes them uncomfortable in doing their work," John Ibo told journalists after meeting Jilani.
Max D. Aer said the report received by Jilani did not reflect the real situation in Papua since the police guaranteed all people's safety.
"If there are those who feel uncomfortable we're open to getting the report. Our job is to protect people. If people don't feel comfortable, please file a report," he said.
Jilani, who was first named by to the post by the secretary general in 2000 following a request from the Commission on Human Rights, is assigned to support the implementation of the Declaration on Human Rights Defenders and gather information on the actual situation of human rights defenders around the world.
According to the UN High Commissioner for Human Rights, as a special representative Jilani is assigned to seek, receive, examine and respond to information on the situation and the rights of anyone, acting individually or in association with others, to promote and protect human rights and fundamental freedoms.
The special representative was asked to submit annual reports to the commission and to the General Assembly.
CENDERAWASIH POS, 9 Juni 2007
Di Manokwari, Puluhan Warga Demo Tuntut Referendum
Manokwari, Meski utusan khusus Sekjen PBB Hina Jilani hanya berkunjung ke Jayapura Provinsi Papua, namun di Manokwari ada aksi penyambutan menggelar turun jalan dan berunjuk rasa menyampaikan aspirasi.
Warga yang tergabung dalam Persatuan Nasional Rakyat Papua Untuk Pembebasan Papua meminta untuk digelar 'Referendum' di tanah Papua.
Dari pantauan Manokwari Pos (Grup cenderawasih Pos) sejak pukul 08.00 WIT beberapa orang mulai membentangkan beberapa buah spanduk di samping Gedung olahraga (GOR) Sanggeng. Secara tertib massa bergerak sambil memegang lima buah spanduk. Spanduk-spanduk berwarna putih tersebut bertuliskan, "Segenap rakyat Papua ras Melanesia menuntut referendum". Disamping spanduk tersebut terdapat gambar bendera bintang kejora. Spanduk lain mereka juga meminta membebaskan tapol/napol tanpa syarat orang Papua bukan makar.
Selain itu, melalui spanduk mereka juga menulis "PBB segera mengirim obesever internasional ke Papua. Juga meminta PBB untuk segera merevisi Pepera tahun 1969 dan mencabut resolusi PBB nomor 2504 tanggal 19 November. Tak ketinggalan pula dalam spanduk lainnya, mereka menulis agar kasus pelanggaran HAM berat di Papua segera diselesaikan. Antara lain pelanggaran HAM di Wasior, Biak, Abepura dll.
Massa yang dipimpin Jack Wanggai tersebut melewati jalan Yos Sudarso. Sebelum melanjutkan perjalanan, massa pendemo singgah di DPRD Kabupaten Manokwari untuk menyampaikan aspirasi tersebut.
Massa yang tiba didepan pagar Kantor DPRD Manokwari tidak langsung ditemui Ketua maupun anggota DPRD. Bahkan pintu pagar dalam kondisi tertutup. Hanya aparat keamanan yang nampak berjaga-jaga di dalam halaman. Akibat kesal, salah seorang orator yang didukung para pendemo mengancam DPRD akan memboikot pemilu 2009. Awalnya, penyampaian aspirasi dilakukan dengan perwakilan. Namun pendemo yang lain tidak menyetujui hal tersebut. Sehingga akhirnya Wakil Ketua DPRD Bons Rumbruren didamping Metusalak Awom, SH keluar menemui pendemo.
Sementara itu, dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua Persatuan Nasional Rakyat Papua untuk Pembebasan Papua Jack Wanggai dan beberapa pengurusnya menyatakan PBB segera mereviuw Pepera 1969 dan mencabut resolusi nomor 2504 tanggal 19 November 1969. Meminta komisi dekolonisasi PBB untuk segera mendaftarkan status politik tanah Papua sebagai wilayah jajahan yang harus diberikan kemerdekaan lewat referendum. Meminta agar pelaku-pelaku pelanggaran HAM untuk diadili sejak Pepera 1969 sampai sekarang ke Pengadilan Internasional. Mereka juga menyatakan Otsus telah gagal di tanah Papua, untuk itu segera lakukan Referendum.(sr)
CENDERAWASIH POS, 9 June 2007
Isu Pelanggaran HAM Tidak Jelas
Jayapura, Selain ke Pemprov dan DPRP, Ms Hina Jilani juga mengunjungi Kejaksaan Tinggi (Kejati), Jumat, (8/6), kemarin. Pada kesempatan itu, Ms. Hina Jilani diterima langsung Wakil Kepala Kejati Papua Domu P Sihite, SH, MH, Sendjung Manulang, SH, MH (As Intel), As Datun dan asisten pembinaan Kejati Papua dalam pertemua tertutup yang berlangsung dari pukul 10:00 WIT- 11:00 WIT (1 jam). Apa yang dibicarakan?
Menurutnya, As Intel Kejati Papua Sendjung Manulang, SH, MH pada pertemuan itu, Hina Jilani banyak bertanya penyelesaian kasus HAM di Papua, dan ia ingin mengetahui bagaimana peran kejaksaan dalam menangani kasus-kasus HAM. Untuk itu, Wakajati Papua menjelaskan bahwa berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002 tentang peradilan HAM, kejaksaan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadapat perkara HAM. "Penyidikan HAM bersumber dari Komnas HAM Indonesia,"jelasnya saat ditemui Cenderawasih Pos di ruang kerjanya setelah acara pertemuan selesai, Jumat, (8/6), kemarin.
Hina Jilani yang mendirikan Komisi HAM Pakistan Tahun 2002 juga menyampaikan informasi isu terjadi beberapa pelanggaran HAM di Papua, dimana aktivis HAM sering mendapat perlakuan yang melanggar ketentuan, seperti dipanggil dan diperiksa tapi penanganan kasusnya tidak kunjung selesai.
Untuk itu, Senjung Manulang, menjelaskan bahwa informasi isu tersebut kurang benar, karena tidak semua kejadian yang terjadi merupakan perkara HAM, mungkin aktivis yang merima perlakuan, menganggap perkara HAM, namun sebenarnya perkara itu bukan masalah HAM.
Selain itu, utusan Sekjen PBB itu, tidak menyebutkan secara rinci, kasus apa yang terjadi di Papua yang telah melanggar HAM. Hanya saja kerap kali ia mendapat informasi bahwa ada aktivis HAM yang diperlakukan semena-mena. "Informasinya tidak dapat kami tanggapi karena kasus yang dimaksudkan tidak dijelaskannya,"paparnya.
Lanjut dia, Hina Jilani menyimpulkan kejadin pelanggaran HAM tidak dapat ditangani dengan baik, karena karena pada umumnya aparat penegak hukum di Indonesia belum tahu materi HAM secara memadai, sehingga ia menyarankan perlunya pembekalan materi HAM pada aparat penegak hukum oleh lembaga internasional yang menangani HAM (NGO).
Menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos, berapa kasus pelanggaran HAM yang sudah ditangani Kejati Papua, Sendjung Manulang, menjelaskan bahwa 3 Tahun terakhir ini tidak ada kasus pelanggaran HAM yang ditangani Kejati Papua. "Sejauh ini belum ada kasus HAM yang masuk kemari,"ungkapnya.
Ditambahkannya, kemungkinan orang diluar melihat kasus Abepura merupakan pelanggaran HAM, namun menurut hukum di Indonesia kasus Abepura merupakan pidana umum. "Belum semua daerah mempunyai peradilan HAM, dan untuk wilayah Indonesia Timur peradilan HAM berada di Makassar,"pungkasnya.
Di Polda Papua
Setelah sebelumnya melakukan pertemuan di Kantor Kejaksaan Tinggi Papua, maka rombongan wakil khusus Sekjen PBB yang dipimpin Ms. Hina Jilani sekitar pukul 12.15 WIT tiba ke Mapolda Papua dan selanjutnya diterima Kapolda Papua Brigjen Pol Drs. Max Donald Aer dengan didampingi Wakapolda Papua, Brigjen Pol. Drs. FR. Andi Lolo,SH,MM.
Usai pertemuan Kapolda menjelaskan yang dibicarakan antara lain adanya informasi yang sampai ke utusan PBB bahwa di Papua ini pembela HAM seolah-olah merasa tidak bebas. "Saya katakan, di sini tidak seperti itu. Kalau polisi semua menjamin keamanan, karena tugas polisi melindungi, melayani dan mengayomi seluruh warga masyarakat, siapapun dia. Apakah dia penegak HAM atau warga biasa, tetap kami lindungi," ungkapnya saat ditanya wartawan.
Pada kesempatan tadi, lanjut Kapolda, utusan Sekjen PBB itu tidak menyebutkan secara terbuka, dari pembela HAM mana yang merasa dikekang. "Saya juga tidak berkepentingan untuk mencari tahu, tetapi melalui beliau (Ms. Hina Jilani), saya tegaskan, silahkan kalau ada yang merasa tidak aman, tidak nyaman atau merasa pernah membuat laporan ke polisi, tetapi tidak ditanggapi, silahkan lapor. Kita membuka diri setiap saat," tandasnya.
Mantan Kapolresta Manado ini kembali menegaskan, kewajiban Polri disini adalah melindungi, melayani dan mengayomi seluruh warga masyarakat.
"Jadi kalau ada yang merasa tidak terjamin keamanannya, lebih baik lapor ke kita. Cuma yang diterima oleh wakil sekjen ini informasinya sudah sedemikian keadaannya, sehingga mereka (para pembela HAM) merasa tidak terjamin keamanannya. Bahkan katanya selalu disurveilans oleh intelijen," paparnya.
Terkait hal ini Kapolda menjelaskan, tugas intel kepolisian adalah mengumpulkan informasi, mencari keterangan-keterangan yang nantinya diinformasikan ke fungsi reskrim kalau itu memang terkait tindak pidana.
"Saya tadi juga jelaskan bahwa polisi disini setiap hari ditingkatkan pengetahuannya tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Bahkan dalam pendidikan bintara pun juga diberikan materi tentang HAM. Kita disinipun bekerjasama dengan Komnasham, karena Mabes Polri juga sudah membuat MoU dengan Komnasham. Upaya-upaya ini sudah kita lakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Sehingga saya katakan jika ada hal-hal yang mengganggu keamanan, atau merasa tidak nyaman, sebetulnya tinggal komunikasi dan laporkan saja," terangnya.
Kemudian terkait adanya laporan ke utusan PBB bahwa pejuang atau pembela HAM di Papua ini ada yang aktifitasnya dimata-matai, sehingga mereka kemudian melakukan kegiatan-kegiatan secara sembunyi-sembunyi. "Saya jelaskan di sini, sebetulnya tidak perlu sembunyi-sembunyi. Kalau intel kepolisian tidak bermaksud memata-matai, toh sudah tahu kegiatannya. Kalaupun dia melakukan kegiatan politik, mereka juga sudah tahu aturannya. Mereka tinggal memberi tahu saja," paparnya.(api/fud)
CENDERAWASIH POS, 9 Juni 2007
Beberkan 6 Kasus Kekerasan
Jayapura, Janji sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua akan membeberkan sejumlah kasus HAM kepada Ms Hina Jilani, akhirnya ditepati.
Pertemuan Hina Jilani dengan LSM, tokoh masyarakat, agama dan komponen masyarakat lainnya itu berlangsung di Kantor Sinode GKI Tanah Papua dengan dihadiri sekitar 70 orang. Pertemuan tersebut sekaligus merupakan pertemuan terakhir tadi malam, setelah siang hingga sore harinya, utusan khusus Sekjen PBB itu bertemu sejumlah komponen di Papua.
Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih 1,5 jam (19.15 - 20.45) itu, ada enam orang perwakilan yang berkesempatan membeberkan kesaksiannya tentang apa yang mereka alami selama menjalankan tugasnya, baik sebagai pembela HAM maupun tugas-tugas pokoknya.
Kasus-kasus tersebut seperti intimidasi, teror dan pelanggaran HAM lainnya yang disampaikan oleh keenam orang perwakilan ada tokoh adat, perempuan dan korban. Dalam pemberitaan ini tidak disebutkan korban dan jenis kekaran yang dialami karena sumber meminta dirahasiakan.
"Kalau soal pelanggarannya dan korbanya sebenarnya tidak perlu kami beberkan ke media massa, tapi yang pasti teman-teman tadi menceritakan apa adanya dan situasi para pekerja HAM di Papua," kata Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua J. Septer Manufandu kepada Cenderawasih Pos via Handphone, tadi malam.
Septer mengaku dalam pertemuan ini pihak LSM dan masyarakat secara umum khususnya yang hadir dalam pertemuan itu merasa puas karena sejak tahun 1969 baru pertama kali utusan PBB, khususnya yang menangani soal HAM melihat kondisi yang sebenarnya terjadi di Papua.
Meski hanya diskusi sebatas memberikan informasi tentang potret kasus dan pekerja HAM di Papua, namun pihaknya merasa puas. Pasalnya, dalam kesempatan itu pihaknya mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan diskusi meskipun hanya sebatas memberikan informasi kepada utusan PBB tersebut. "Tidak ada kesepakatan atau janji dalam pertemuan itu, hanya memberikan informasi dan diskusi tentang kondisi para pekerja HAM dan masalah HAM di Papua. Dan menurut Ibu Jilani hal ini akan dilaporkan nantinya, termasuk di daerah lainnya yang sempat dikunjunginya," katanya.
MRP Minta Perhantian Internasional
Sebelum bertemu para LSM tadi malam, sore harinya, Wakil Khusus Sekjen PBB yang membidangi situasi Para Pembela HAM, Ms Hina Jilani ini juga ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertemuan yang sedianya dijadwalkan pukul 13.00 molor hingga pukul 15.30 WIT. Hina Jilani ditemui langsung Ketua MRP Drs Agus Alue Alua, M.Th di ruang kerja dan didampingi oleh sejumlah anggota MRP lainnya.
Di MRP, Jilani juga melakukan pertemuan tertutup sekitar 1,5 jam. Meski begitu usai petermuan dengan utusan PBB itu, Agus A Alua menggelar konferensi pers dengan wartawan yang memang sudah menunggu sejak pukul 12.30 WIT.
Dalam kesempatan itu, Alua membeberkan kalau pihaknya sangat sulit dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga kultural, karena masih adanya sejumlah batasan meskipun semuanya sudah tertuang dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. "Kami juga menyampaikan bahwa sangat sulit dalam menjalankan tugas dengan baik, karena masih ada batasan kewenangan dan tekanan dari pihak tertentu, pada hal dalam UU No 21 Tahun 2001 sudah memberikan ruang. Oleh karen itu, kami minta perhatian Internasional dalam implementasi soal kultural ini," kata Alua.
Menurutnya, dalam pertemuan itu memang tidak terlalu banyak hal yang diungkapkan. Pasalnya Jalani sendiri nampaknya sudah banyak tahu tentang kondisi di Papua. "Dari hasil pertemuan kami terungkap kalau Ibu Jilani ini sebenarnya sudah banyak tahu tentang Papua, termasuk keberadaan MRP namun kami tetap berbicara seputar lembaga ini," tuturnya.
Selain itu, kata Alua, pihaknya juga berbincang-bincang tentang bagaimana peran MRP dalam melakukan pembelaan HAM sesuai dengan fungsi kulturalnya. Hal itu dikatakan karena dalam menjalankan tugasnya pihaknya sering mengalami kendala dan tekanan di lapangan. Dalam pertemuan itu juga, MRP dikelompokan sebagai pejuang HAM orang Papua dengan memperhatikan proteksi terhadap hak-hak asasi masyarakat adat.
Juga disampaikan bahwa akar permasalah di Papua adalah masalah politik. Dimana terjadi pelanggaran HAM besar-besaran, masalah kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat asli yang sampai sekarang belum terpenuhi. Demikian halnya dengan pembangunan yang sampai saat ini masih jauh tertinggal meskipun sudah ada di era Otsus.
"Dalam menjalankan tugas kami sering mengalami kendala, sering ada batasan atau tantangan. Baik soal pelaksaan Otsus secara menyerluruh maupun dalam menjalankan tugas MRP. Dan kami tentunya berharap agar segala apa yang termuat dalam UU No 21 Tahun 2001 itu dijalankan secara menyeluruh, pemerintah pusat mestinya mendukung ini," papar Alua.
Demo di Uncen
Sedangkan rencana Hina Jilani bertemu Rektorat Universitas Cenderawasih Jayapura, mendapat reaksi dari Koalisi Mahasiswa dan masyarakat Peduli Tanah Papua, yang dikoordinir Markus Gwijangge. Mereka melakukan demo di Rektorat Uncen Perumnas III Kelurahan Yabansai, Distrik Heram.
Para pendemo yang diperkirakan 30 orang tersebut, datang dengan membawa spanduk dan beberapa kertas manila yang bertuliskan," Stop genosaid of Papua, Welcame Mrs, Hina Jilani,Who Carry Fredom for all The West Papua" serta beberapa tulisan lainnya. Bahkan dalam kartas manila mereka sempat juga ada gambar Bendera Bintang Kejora.
Demo itu dimulai pukul 8.30 Wit, dimana mereka berkumpul tepat di Gapura Kampus Uncen Prumnas III, dan sempat memalang Gapura yang berada di jalan naik ke Kampus Uncen baru Perumnas III, dengan menggunakan balok, namun belum lama melakukan pemalangan tersebut, polisi datang dan membubarkan aksi pemalangan tersebut,sehingga jalur menuju ke kampus baru Perumnas III, kembali lancar.
Karena palang dilepaskan, para pendemo tersebut selanjutnya naik ke kantor Rektorat Uncen, dengan membawa atribut demo mereka, serta beberapa alat musik. Sesampainya di sana, mereka selanjutnya menyayikan lagu-lagu daerah Papua, serta berorasi di Kantor Rektorat tersebut, dengan maksud untuk menunggu kedatangan utusan PBB tersebut, saat bertemu dengan Rektor Uncen.
Kordinator Demon, Markus Gwijangge mengatakan, maksud mereka melakukan demontrasi tersebut, adalah dalam rengka memberitahukan fakta-fakta yang terjadi di Tanah Papua, terutama tentang pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa baik kasus 16 Maret 2006, serta beberapa kasus-kasus sebelumnya, yang mana aparat melakukan penyisiran-penyisiran ke asrama-asrama mahasiswa dan melakukan penganiayaan-penganiayaan terhadap mahasiswa.
" Kami akan menyampaikan aspirasi kami langsung kepada Ibu Hina Jilani (utusan PBB), tentang pelangaran HAM, yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa,serta beberapa kasus pelanggaran HAM lainnya,"jelasnya.
Namun saat sampai sore hari menunggu, ternyata para mahasiswa tersebut, tidak berhasil bertemu dengan utusan PBB tersebut, sebab setelah dari MRP, utusan tersebut selanjutnya ke arah Jayapura untuk beristirahat. Karena yang ditunggu tak kunjung tiba, akhirnya mereka membubarkan diri.(ito/cak)
CENDERAWASIH POS, 9 Juni 2007
Ke Papua Karena Dengar Ada Pelanggaran HAM
Jayapura, Sesuai rencana, kemarin Wakil Khusus (Special Respresentative) Sekjen PBB untuk bidang pembela HAM (Human Rights Defender) Ms Hina Jilani tiba di Jayapura.
Jilani bertemu dengan berbagai pihak mulai dari Pemprov Papua yang diwakili oleh Sekda Drs Tedjo Suparapto, MM, DPRP,MRP, Rektor Uncen hingga sejumlah LSM di Papua.
Hanya saja sebelum Ms Jilani menuju Kantor Gubernur, di Swissbell Hotel tempat ia menginap sempat didemo. Sekitar 50-an massa dari mahasiswa yang datang sekitar pukul 09.00 WIT berdiri di depan hotel tersebut sambil membentangkan spanduk yang antara lain bertuliskan 'Welcome Mrs. Hina Jilani Who Carry Freedom for All The West Papua', 'Stop Genocide of The Papua', 'Stop Killing In West Papua," dan beberapa poster dan spanduk lainnya.
Pada kesempatan itu, massa yang dipimpin Buchtar Tabuni ini juga meminta penuntasan kasus HAM di Papua, seperti kasus Theys, Tom Wanggai dan kasus lainnya.
Setelah Ms. Hina Jilani keluar dari hotel, iapun menemui massa pendemo dan saat itu Buchtar Tabuni menyerahkan sebuah map berwarna hijau dan diterima langsung oleh Ms. Hina Jilani. Setelah pertemuan dengan massa ini, maka sekitar pukul 09.00 WIT rombongan utusan Sekjen PBB ini menuju ke Kantor Gubernur Papua.
Karena aksi demo tersebut, perempuan asal Lahore Pakistan itu baru tiba di Kantor Gubernur sekitar 09.15 WIT dan langsung menuju ruang kerja Sekda bertemu Sekda Tedjo Suprapto. Pertemuan tertutup itu berlangsung selama 1 jam lebih.
"Tadi kami hanya bicara mengenai apa yang dilakukan Pemerintah Daerah untuk pemenuhan HAM rakyat Papua intinya itu" kata Sekda Tedjo Suprapto kepada Cenderawasih Pos usai pertemuan.
Dikatakan, ada penilaian dari wakil khusus Sekjend PBB itu bahwa pelanggaran HAM di Papua tak ada yang tuntas dan ia juga mendengar banyak terjadi pelanggaran HAM di Papua, termasuk yang dilaporkan ke PBB.
"Itu salah satu sebab kenapa mereka datang ke sini," imbuhnya. Sehingga sempat ditanyakan peran pemerintah daerah dalam menghindari konflik dengan harapan pelanggaran - pelanggaran HAM bisa dikurangi dan tidak terjadi lagi di masa depan.
Ms Jilani yang juga pengacara hukum itu menilai pemerintah belum serius terhadap perkembangan HAM di Papua. Ia juga mengatakan berdasarkan laporan yang diterima pekerja HAM dihalangi-halangi dan diintimidasi bahkan diteror.
Yang dijawab Sekda bahwa Otsus justru mengakui hak - hak dasar orang asli Papua dan dengan Otsus kesejahteraan orang asli Papua akan diwujudkan melalui berbagai program, utamanya pendidikan, kesehatan, gizi, pemberdayaan ekonomi.
"Jadi saya menjelaskan justru Otsus sangat memihak orang asli Papua dan jutsru mengakomodir seluruh hak - hak dasar orang asli Papua," tukasnya.
Dalam Otsus semua yang menyangakut hak - hak orang asli Papua termasuk masyarakat umumnya sudah diakomodir di dalamnya, termasuk penegakan HAM di Papua dan sebagainya satu persatu dibenahi. Hanya saja memang belum sepenuhnya terlaksana.
Sekda mengatakan bahwa memang sempat disinggung adanya kasus pelanggaran HAM yang masih ada dan sejauh mana ditangani pemerintah. "Kami sampaikan bahwa itu perlu dikoordinasikan dengan pihak - pihak terkait lainnya. Tapi pada dasarnya pemerintah sangat terbuka untuk menerima masukan yang berkaitan pelanggaran HAM yang ada. Dan kita berkepentingan untuk menyelesaikan dan menjaga supaya tidak terjadi pelanggaran HAM lagi," tuturnya.
Hanya saja, tidak dijelaskan secara eksplisit kasus pelanggaran HAM apa saja yang terjadi itu, sehingga membuat putri seorang aktivis politik asal Pakistan ini jauh - jauh datang ke Papua. "Memang disebutkan ada pelanggaran HAM, tapi mereka (Jilani red) tidak menyebutkan kasus apa saja, namun dikatakan masih ada kasus - kasus itu, tapi kami katakan bisa dikoordinasikan dengan pihak terkait dengan tujuan agar kasus pelanggaran HAM tidak terjadi lagi," urainya.
Lanjut Sekda, Wakil Sekjend PBB itu mengaku mendengar banyak terjadi pelanggaran HAM di Papua, tapi tidak disampaikan dari mana saja. Ia hanya meminta komitmen pemerintah untuk menangani hal itu dengan baik. "Itu yang kita setujui komitmen itu akan kita tangani secara baik dengan koordinasi pihak terkait. Sebab selama ini pemerintah sangat terbuka tidak ingin menekan hal itu, kita juga transparan silahkan bisa komunikasi dengan kita juga," paparnya.
Yang pasti misi dia kesini ingin melihat persoalan khususnya HAM dan orang-orang yang berkompeten dengan penegakan HAM agar lebih diperhatikan dengan baik dan jangan ditekan," tandasnya.
Pertemuan dengan DPRP
Selain bertemu Pemprov Papua, Ms Hina Jilani yang akan berakhir masa tugasnya pada 18 Juni mendatang ini juga bertemu Ketua dan Anggota DPRP yang juga berlangsung tertutup di ruang kerja Ketua DPRP.
Namun usai pertemuan John Ibo sempat membeberkan isi pembicaraannya dengan Wakil Khusus PBB itu. "Tujuan utama mereka adalah untuk menyaksikan dari dekat berdasarkan isu-isu yang diperoleh tentang penegakan HAM di Papua yang cukup pincang," katanya kepada wartawan usai pertemuan.
Selain itu kata John Ibo, Ms Jilani juga ingin melihat perkembangan pelanggaran HAM di Papua dari dekat, sekaligus menanyakan bagaimaan institusi HAM berdiri dan bagaimana melaksanakan tugas secara maksimal dalam menjembantani masalah pelanggaraan HAM di Papua.
"Kita memang belum punya Komda (komisariat daerah) HAM dan harus dibentuk oleh Pemda, walaupun kita telah memiliki perwakilan Komnas HAM tetapi perwakilan Komnas HAM kita sedang bekerja di bawah trauma, karena itu walaupun sudah bekerja selama 3 tahun usianya, perwakilan Komnas HAM tidak ketahuan di Papua," paparnya serius.
Kata John Ibo, Ms Jilani juga menanyakan bagaiman institusi HAM di Papua berjalan baik yang diterangkan dewan bahwa masyarakat datang dengan pengaduan melalui aspirasi dan itu memang lengkap di dewan. "Jadi kita katakan bahwa memang HAM di Papua sedang diwarnai dengan trauma. Karena ada interfensi dan ada kekerasan yang sedang terjadi," ujarnya.
Ia berharap pelaksanaan HAM di Papua berjalan baik, karena salah satu aspek dari Otsus adalah mengakhiri pelanggaran HAM dan menghadirkan kesejahteraan bagi orang Papua di sebuah negara Indonesia, negara yang merdeka yang memberi kemerdekaan pada seluruh rakyat. "Dan kalau memang ada intervensi dan kekerasan Otsus itu fungsinya apa pada kita, itu sebabnya rakyat sendiri telah memahami dan mengembalikan peti jenazah itu pada DPRP. Jadi seputar itu saja," katanya.
Ditanya kasus apa saja yang dibahas, John Ibo mengatakan bahwa Ms Jilani tidak menyebut kasus, namun hanya sebatas kebijakan HAM yang berlangsung di Papua dan bagaimana lembaga - lembaga HAM yang berjalan di Papua. "Ms Jilani memberikan respek harusnya masalah yang terjadi di Papua urgensinya ditangani oleh PBB, kalau dia datang dalam tugas khusus untuk melihat perkembangan HAM di Papua," tandasnya.(ta)
XINHUA, 9 June 2007
UN envoy Jilani leaves Indonesia's Papua province
UN special envoy Hina Jilani left the Indonesian easternmost province of Papua Saturday to continue her trip to the tsunami-ravaged Aceh.
During her stay in Papua, she held meetings with a number of provincial administration officials, military and police chiefs, members of the provincial legislative assembly and the Papuan People's Council (MRP) as well as religious and non-governmental organization leaders, reported the national Antara news agency.
Jilani, at the Jayapura airport, said she had received a lot of information on human rights issues in Papua and she would report it to the UN Human Rights Council in Geneva, Switzerland.
Jilani went to Aceh, the country's westernmost province, also for a similar purpose, namely to collect information on human rights issues in the region.
She will hold a press conference in Jakarta on June 12 on the results of her visit to Indonesia.
The Special Envoy for Human Rights is on a working visit to Indonesia from June 5 to 13 at the government's invitation.
The purposes of Jilani's visit were among other things to observe the implementation of human rights, to study the legal framework for defending human rights, and to promote human rights in the country.
ANTARA, 9 Juni 2007
UN official for human rights to visit Aceh
Banda Aceh (ANTARA News) - Visiting UN Secretary General`s envoy for human right affairs Hina Jilani is scheduled to visit Aceh on Sunday.
"Tomorrow, the UN Secretary General`s envoy is expected to arrive here at around 12.00 hours to among other things visit a number of areas that were hit by tsunami in 2004 and meet with Aceh Governor Irwandi Yusuf," Aceh administration spokesman Hamid Zein said.
He said Jilani was also scheduled to attend a seminar on Monday.
Jilani has been in the country since Wednesday to observe the human rights situation and study the existing legal framework for promoting human rights.
She has already visited Papua for the same purpose.
DETIKCOM, 9 June 2007
Hina Jilani Datangi Kontras Kumpulkan Info Kasus Munir
Irwan Nugroho - detikcom
Jakarta - Wakil Sekjen PBB Urusan Situasi Pembela HAM Hina Jilani mendatangi kantor Kontras untuk mengumpulkan informasi seputar kasus Munir. Kunjungan Jilani diharapkan dapat menekan pemerintah Indonesia agar cepat menuntaskan kasus itu.
Jilani yang datang bersama seorang staffnya itu tiba di kantor Kontras, Jl Mendut, Matraman Jakarta, Sabtu (9/6/2007).
Keduanya langsung mengadakan pertemuan tertutup dengan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) di salah satu ruangan.
"Ya, tadi kami menyampaikan perkembangan penanganan kasus Munir serta hambatan yang menurut kami memperpanjang penyelesaian kasus ini," kata Asmara Nababan.
Asmara menyampaikan hal ini dalam konferensi pers yang didampingi oleh janda aktivis HAM Munir, Suciwati, dan Koordinator Kontras Usman Hamid.
Kedatangan Jilani, lanjut Asmara, menunjukkan masyarakat internasional, terutama PBB mempunyai perhatian yang serius terhadap kasus Munir. Sehingga hal itu dapat memberikan efek berupa tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar segera menyelesaikan kasus Munir.
"Apalagi sebagai anggota Dewan HAM, kita kan harus menunjukkan kita layak menjadi anggota dewan tersebut dengan menyelesaikan kasus-kasus yang begitu mendapat perhatian internasional," ujar Asmara.
Kendala
Dalam pertemuan yang berlangsung selama 40 menit itu, dijelaskan juga berbagai hambatan yang membuat penyelesaian kasus munir berlarut-larut.
Kendala itu antara lain, terbatasnya informasi yang diterima Suciwati sebagai korban atas proses penyidikan yang kini dilakukan oleh Polri serta proses pengajuan PK oleh Kejaksaan Agung.
"Akses informasi yang terbatas bahkan telah dirasakan oleh suci sejak awal pertama kali mendengar munir meninggal," pungkas Usman.
Selain itu, lanjut Usman, juga ada kendala teknis seperti sulitnya memperoleh isi sambungan telepon antara Pllycarpus dengan salah seorang pejabat BIN.
"Tapi menurut kami kendala itu sebenarnya bukan di level teknis, melainkan bersifat politis," tegas Usman. (irw/mly)
CENDERAWASIH POS, 11 June 2007
Diharapkan Buat Perubahan
*Pengamat, Soal Kujungan Wasekjen PBB ke Papua
JAYAPURA-Kunjungan Wakil Khusus Sekjen PBB bidang pembela HAM Ms. Hina Jilani ke Papua, khsusnya di Jayapura, Jumat (8/6) lalu, diharapkan akan mendatangkan perubahan yang baik bagi penyelesaian kasus-kasus HAM dan pelindungan para aktivis HAM di Papua.
Sebab, informasi yang diperoleh dari berbagai pihak selama di Jayapura, dianggap sudah cukup untuk dijadikan acuan dalam memberikan informasi di PBB.
Pendapat itu diungkapkan pengamat politik dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Drs Beatus Tambaip, MA. "Saya menilai kunjungan ini dapat membawa perubahan soal penyelesaian kasus HAM dan perlindungan kepada para pekerja HAM. Sebab yang terjadi selama ini didegung-degungkan banyak pelanggaran HAM, tapi tidak ada keseriusan untuk menyelesaikannya," katanya kepada Cenderawasih Pos, kemarin
Tambaip juga mengatakan, bicara soal HAM, khususnya di Papua lebih banyak dilihat dari sisi kekesaran dan politiknya. Pada hal bicara soal HAM, lanjutnya harus dilihat secara menyeluruh. Mulai dari pemenuhan hak hidup, seperti kesejahteraan dan keadilan di berbagai bidang. Dan hal itu, biasa disebut dengan bidang ekonomi sosial dan budaya (Ekosob).
Dikatakan, kedatangan utusan PBB itu diharapkan dapat ditindaklanjuti, sehingga memberikan hasil yang positif. Dia juga berpendapat hasil kunjungan itu tetap di tindaklanjuti sesuai mekanisme yang ada.
Meski begitu, Tambaip mengatakan bahwa pelanggaran HAM tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Diamana di Papua pelanggaran HAM itu lebih banyak dilihat dari sisi politik dan tindak kekerasan saja, sementara pelanggaran HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya justru terlupakan.
"Memang kalau dilihat di Papua pelanggaran HAM itu hanya dilihat dari sisi kekerasan saja, tapi kondisi yang paling memprihatinkan pula pelanggaran HAM di bidang ekosob," katanya.
Pelanggaran HAM didang ekosob yang dimaksud seperti belum maksimalnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat, belum semuanya masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak, banyak masyarakat yang hidup dibawa garis kemiskinan dan sejumlah hal lainnya.
"Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang baik adalah hak semua warga negara Indonesia, namun kondisi kita di Papua uang cukup banyak, tapi hal ini belum terpenuhi. Nah, tentunya hal seperti ini salah satu kategori pelanggaran HAM karena pemerintah tidak mampu memenuhi kewajibannya," ujar Tambaip.
Hal yang lain, lanjutnya, kunjungan ini juga diharapkan dapat mendukung implementasi Otonomi Khusus secara menyeluruh. Sebab, yang terjadi selama ini implementasi UU No 21 Tahun 2001 itu belum berjalan maksimal. Pada hal UU tersebut, diharapkan dapat membawa perubahan kesejahteraan dan pembangunan bagi masyarakat Papua.
Parahnya lagi, berbagai perangkat yang diharapkan dapat mendukung implementasi Otsus itu sampai sekarang belum tuntas, seperti Peraturan Daerah Khusus (Perdasu) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Tak hanya itu, implementasi UU tersebut terkesan ada batasan dan tidak dilakukan secara menyeluruh.
"Dalam kunjungan ini juga sangat diharapkan ada keseriusan dari pemerintah terhadap implementasi Otsus, sehingga Perdasi dan Perdasus segera dituntaskan. Ini sangat penting karena terkait dengan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Papua yang sampai saat ini terkesan masih jalan di tempat," tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan, Deputi Direktur Human Right Working Group (HRWG) Choirul Anam. Ia mengaku optimis, kunjungan perempuan Pakistan itu ke Indonesia, termasuk ke Papua (Jayaura) bisa merubah nasib para human defender (pembela HAM).
"Kunjungan Hina adalah kunjungan yang mewakili Sekjen PBB, tidak semua negara dikunjungi khusus. Ini kunjungan yang serius," ujarnya kemarin. Ditambahkannya, kunjungan Hina untuk mengecek komitmen Indonesia ketika mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM PBB.
Meski Hina mengungkapkan kunjungannya ke Indonesia tak akan membawa pengaruh apapun bagi pemerintah Indonesia, Anam (nama panggilan Choirul Anam, Red) punya pendapat lain. "Itukan bahasa diplomatis, kalau Indonesia tidak mentaati laporan yang dihasilkan kunjungan Hina, implikasinya buruk. Indonesia bisa dikucilkan dalam pergaulan internasional," ujarnya.
Anggota Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum) itu mengungkapkan ada dua hal yang menjadi poin perhatian Hina. Yang pertama, soal kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Dalam pertemuannya dengan istri Munir Sabtu (9/6), Suciwati Hina mengungkapkan kasus Munir bakal dilaporkan secara khusus ke Sekjen PBB. "Kalau kasus Munir tak diselesaikan dengan baik konsekuensinya bakal masuk ke mekanisme internasional. Itu justru bakal memberatkan pemerintah Indonesia," tambah Choirul. Selain Munir, juga dipaparkan kasus kekerasan lain terhadap aktivis.
Tak hanya kasus, yang juga jadi perhatian adalah soal kebijakan yang mengancam kebebasan kerja para pembela HAM seperti KUHP. Rancangan UU semacam RUU Rahasia Negara dan RUU Kebebasan Mendapatkan Informasi Publik juga berpotensi mengganggu kerja para pembela HAM. "Jadi tak hanya kasus, tapi juga kebijakan negara yang menghambat kerja para penegak HAM," ujarnya.
Kunjungan Hina, tambah Choirul juga bertujuan untuk mendorong reformasi institusi agar berperilaku lebih baik pada para pembela HAM. Dalam kunjungannya ke Indonesia, Hina diagendakan mengunjungi beberapa instansi seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan. Tak hanya institusi peradilan, Hina juga diagendakan mengunjungi institusi militer yakni Kepolisian dan TNI agar menjamin kerja para pembela HAM, aktivis dan jurnalis, di lapangan.
"Diharapkan nantinya tak ada aktivitas aktivis dan jurnalis yang dikriminalisasi. Panglima TNI juga diharap menjamin tak ada tindakan koersif kepada para jurnalis dan aktivis," tambahnya.
Terpisah, anggota Komisi III DPR RI Al Muzzamil Yusuf mengungkapkan kedatangan Hina ke Indonesia untuk melakukan invenstigasi soal nasib pembela HAM, tak masalah bagi DPR. "Itu bagian dari konsekuensi internasional, apalagi Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB," ujarnya.
Politisi PKD itu mengungkapkan belajar dari kasus kekerasan terhadap pembela HAM khususnya kasus Munir, UU yang mengatur perlindungan bagi aktivis bisa diatur secara khusus. "Kalau memang signifikan, bisa saja," ujarnya.
Politisi PKS itu mengungkapkan usulan serupa pernah diajukan Komnas HAM, agar DPR membuat aturan yang melindungi anggota Komnas HAM saat turun ke masyarakat. "Alasannya, posisi mereka ketika berada di lapangan terancam, baik oleh masyarakat maupun pejabat yang merasa tersentil," ujarnya.
Ditambahkannya DPR sampai saat ini memang belum membahas secara khusus soal aturan khusus yang melindungi para pembela HAM. "Mengingat kerja DPR yang sangat padat membahas UU, untuk perlindungan para aktivis bisa dipayungi dulu dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.(ito/jpnn)
Comments
Post a Comment