[Community Technology Center] belajar_menulis_2

 

Cerita dari Ujung Kulon

Di sini, manusia dan badak hidup damai berdampingan. Tapi di sini pula, kehidupan badak diutamakan, sedangkan manusia harus disingkirkan.

Ujung Kulon, daerah paling barat pulau Jawa. Sebelah kanan, pepohonan rimbun di bebukitan, datarannya terhampar sawah dan ladang. Di sebelah kiri, lautan biru. Kekayaan alamnya, flora dan fauna diakui oleh internasional. Ujung Kulon merupakan kawasan world heritage, keberadaannya diakui oleh internasional. Kelestariannya tanggungjawab kita, masyarakat Indonesia, masyarakat dunia dan warga Ujung Kulon. Mari berkunjung ke Ujung Kulon.

Ada baiknya membawa kendaraan sendiri, sepeda motor atau berkendara mobil. Tiga jam kecepatan penuh dari Pandeglang kota. Kecamatan Sumur, jalannya naik turun. Tikungannya hanya dua, kanan dan kiri. Jumlahnya tak terhitung, tidak sedikit yang curam. Jangan sesekali mencoba kecepatan tinggi jika belum mengetahui lekuk jalan di sini. Belum tentu kita bisa menghindar dari truk pengangkut kayu, yang sama-sama berjalan kencang.  Masuk ke Ujung Kulon, tidak semua jalan ramah. Lubang besar menganga di tengah aspal, kerikil dan batu tajam. Di sini, ritme angkutan hanya dua kali—pagi dan  siang, datang dan pergi dalam satu hari. Hati-hati jika membawa kendaraan sendiri. Ramai begal membuat ngeri – terlebih di malam hari. Saketi, Panimbang, Cigeulis, Cibaliung, dan Cimanggu. Begal biasanya menghadang orang-orang yang mengendara motor di sepanjang jalan yang sepi, hanya hamparan pohon dan ladang. Begal tidak hanya merampas kendaraan dan harta benda, mereka suka melihat korbannya meregang nyawa. 

Satu jam dari kecamatan Sumur, kita akan sampai di Legon Pakis, desa paling ujung kawasan Ujung Kulon. Ada delapan puluh empat kepala keluarga yang menghuni kampung ini. Kampung bersahaja. Kesehariannya, warga Legon Pakis mengkonsumsi nasi. Berasnya diambil dari sawah mereka. Lauk pauknya dipetik dari halaman kebun, jengkol, pete, kelapa dan lainnya. Ikannya tinggal ambil di laut. Menjadi nelayan bagi masyarakat adalah kebutuhan untuk pemenuhan kelengkapan konsumsi, bukan kerja utama. Banyak kisah kehidupan yang patut ditertawakan melihat keseharian warga Legon Pakis. Misalnya, cerita bantuan raskin dari pemerintah. Program bantuan raskin, datang ke sini. Mereka menyebutnya "beras kota". Beras kota ini dibagikan melalui perangkat desa ke tiap keluarga. Kesemua warga menolak bantuan raskin yang diberikan. Jangan lupa, di sini adalah komunitas tani produktif. Sawah, kebun dan ladang mereka kelola. Subsisten. Terkadang hasil tani mereka jual. "Beras kota" tidak bisa dimakan. Beras kota berakhir di perut bebek dan ayam. 

Memang, tidak semua warga Ujung Kulon mengenyam pendidikan formal, tidak semuanya memiliki sepatu pantopel, tidak semuanya memiliki listrik yang mengalir ke rumah-rumah mereka. Di Legon Pakis, hanya satu rumah yang memiliki listrik. Pak Kadir, juragan kopra. Yang lainnya, dapat menikmati terang saat siang. Dan cahaya obor akan menyala di tiap rumah ketika malam. Pengentasan kemiskinan yang ditawarkan pemerintah melalui subsidi beras pada warga merupakan ironi. Coba bayangkan, mereka memiliki berkarung-karung beras kualitas tinggi tanpa campuran pestisida, tapi mereka dipaksa untuk menerima dan mengkonsumsi raskin sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap warganya—yang miskin. Sedangkan, mereka hidup tanpa listrik dan akses pendidikan yang tak layak.

Kesahajaan masyarakat bisa kita lihat setiap hari. Satu sama lain saling mengenal. Terkadang jika hasil tangkapan ikan banyak, warga menyelenggarakan bancakan, makan bersama-sama. Tidak perlu repot jika rumah rusak, para tetangga akan datang mengulurkan tangan. Tapi jangan coba-coba usik ketenangan hidup mereka. Pernah suatu kali, polisi hutan mengusik lahan warga. Tepatnya tanggal 4 November 2006. Seorang petani ditembak mati oleh jagawana, polisi hutan Taman Nasional. Petani dari desa Cikawung Girang ini tewas tertembus peluru di dada sebelah kiri. Komar bernasib naas, ia tewas seketika. Dengan cepat kabar ini tersiar di desa. Warga langsung mendatangi lokasi penembakan Komar. Petugas jagawana berusaha lari, hanya satu orang yang tertangkap oleh warga. Jenazah Komar dibawa pulang, untuk dimakamkan. Yang mengejutkan, spontanitas warga tanpa komando membalas perlakuan polisi hutan. Malam itu juga, pos penjagaan, dua motor laut dan tiga sepeda motor habis dirusak dan dibakar. Ini bukan sekedar amuk massa.

Penembakan terjadi dilatarbelakangi kebijakan perpindahan tapal batas, lahan warga dengan Taman Nasional Ujung Kulon. Pengelola Taman Nasional memajukan tapal batas hingga ke lahan warga, tanpa ada sosialisasi dan koordinasi dengan masyarakat desa. Kearifan lokal mengajarkan tentang Hutan Tutupan dan Hutan Titipan. Hutan Tutupan menunjuk pada hutan yang tidak boleh diganggu atau dirusak. Sedangkan Hutan Titipan merupakan hutan yang boleh dikelola, dijadikan tempat tinggal untuk masyarakat. Hutan titipan ini berada jauh dari tapal batas yang berlaku dan diketahui oleh masyarakat. Kearifan lokal ini mereka terapkan jauh sebelum teriakan slogan perlindungan terhadap bumi untuk pengentasan kemiskinan—yang galak dikampanyekan oleh forum internasional. Mereka mematuhi larangan yang menjadi tradisi masyarakat, pamali yang tidak boleh dilanggar. Mereka tidak memotong dahan dengan tangan kosong. Ini menjelaskan kesetiaan parang atau golok yang senantiasa terselip di pinggang mereka. Para lelaki. Mereka tidak menebang atau merusak hutan tutupan. Keyakinan ini, merupakan aturan dan spirit kehidupan masyarakat Ujung Kulon. Jauh berbeda dengan tudingan polisi hutan dan pengelola Taman Nasional—mereka menuduh masyarakat sebagai perambah dan perusak hutan.

Taman Nasional Ujung Kulon

Ada enam desa yang berada di Ujung Kulon. Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti dan Kerta Jaya. Keenam desa tersebut merupakan hasil pemekaran desa Cigorondong yang dilakukan tahun 1977. Desa Ujung Jaya sendiri memiliki lima kampung, Cikawung Sabrang, Cikawung Girang, Sempur, Taman Jaya Girang dan Legon Pakis. Legon Pakis adalah kampung paling ujung di desa Ujung Jaya, Ujung Kulon. Tiga kampung di daerah ini, menurut penuturan warga—merupakan hadiah dari pemerintah Belanda atas kerja masyarakat yang ikut dalam pembangunan lapangan Banteng dan jalan-jalan di Jakarta.

Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, No.60 tahun 1921 menetapkan daerah Ujung Kulon dan Pulau Panaitan menjadi kawasan Cagar Alam. Keputusan ini dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan pengukuran lahan, kawasan cagar alam dan lahan milik warga. Pada semua warga yang menempati lahan saat itu diberikan surat kepemilikan tanah berupa Girik (Cap Singa). Status cagar alam Ujung Kulon berubah menjadi Suaka Margasatwa pada tahun 1937, oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Hingga pada tahun 1958, Pemerintah Indonesia melalui Kantor Cabang Pendaftaran Tanah Milik Serang mengeluarkan sertifikat cap Garuda, sebagai penanda tanah hak milik warga. Berdasarkan sertifikat ini, warga Ujung Kulon berkewajiban membayar pajak hasil bumi. Warga membayar pajak hasil bumi.

Sejak tahun 1965 masyarakat telah mendapatkan Bukti Surat Pembayaran Pajak Hasil Bumi dari aktivitas pengolahan lahan pertanian dari Kantor Padjak Tjabang Serang. Pada tahun yang sama, status Kawasan berubah kembali menjadi Kawasan Suaka Alam berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/UM/1958 tertanggal 17 April 1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 Meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (Pulau Boboko, Pulau Pamanggan).  

Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian No. 16/KPTS/UM/3/1967 tanggal 16 Maret 1967, kawasan Cagar Alam Ujung Kulon diperluas dengan memasukkan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar. Perluasan areal tersebut juga membuat pemukiman warga sejumlah desa menjadi bagian dari Kecamatan Sumur.

Tahun 1979, area kawasan Cagar Alam Ujung Kulon kembali diperluas. SK. Menteri Pertanian No. 39/KPTS/UM/1979 tanggal 11 Januari 1979 memasukkan lahan seluas 9.498 hektar di Gunung Honje sebelah Utara yang didiami penduduk yang terbagi beberapa desa di kecamatan Cimanggu kedalam kawasan Cagar Alam. 

Tahun 1984, Cagar Alam Ujung Kulon yang tadinya dikelola oleh Kehutanan (biasa disebut masyarakat sebagai Bohir) berubah dengan dibentuknya Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha.

Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Pada tahun yang sama Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409.

Perubahan bentuk pengelolaan kawasan mulai menimbulkan ketegangan. Pengukuhan wilayah taman nasional menjadikan sejumlah desa di Kecamatan Cimanggu dan Sumur masuk pada wilayah kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal perkebunan/sawah milik masyarakat yang merupakan kawasan pemukiman yang berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman nasional menjadi pemukiman yang mula-mula akan direlokasi.

Perubahan tapal batas taman nasional membuat perubahan pula pada penempatan Pos Jaga Suaka. Yang awalnya berada di Cilintang, dimana di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, juga ikut dipindahkan. Menurut masyarakat Legon Pakis, seharusnya batas wilayah antara TNUK dengan lahan masyarakat berada di sebelah timur: Cipakis, sebelah barat: Cilintang dan sebelah selatan: Cihujan.



Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. br> Cepat sebelum diambil orang lain!

Comments

Popular posts from this blog

prediksi bencana alam

Best Free Software

not about us