Dari Memori ke Narasi

I Ngurah Suryawan
Kurator

"…Lebih pada jejak-jejak yang ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan 'apa yang sesungguhnya terjadi' itu sendiri…"
(Budiawan Purwadi mengutip Pierre Nora, Syarikat Indonesia Oktober 2003)

Pengantar
Saya harus mengatakan dengan jujur. Ide awal pameran ini serta kata kunci tema pameran ini berawal dari sebuah sebuah seminar dan membaca dua buku sejarah. Tepatnya seminar tentang Rekonsiliasi menuju Demokrasi Sejati oleh Lembaga Penelitian Korban Peristiwa (LPKP) 1965 Bali pada 15 April 2004. Dan buku kumpulan tulisan sejarah itu adalah Soeharto, Sisi Gelap Sejarah Indonesia serta Pelurusan Sejarah Indonesia karya Asvi Warman Adam, sejarahwan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Dalam kedua buku inilah terselip konsep sejarah bernama "Rememoration" untuk menjelaskan konstruksi dibalik peristiwa sejarah. Rememoration, dalam perspektif historiografi menafsirtkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata. Tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa lampau di dalam masa kini. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi tentang suatu peristiwa daripada peristiwa itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang ditinggalkan suatu tindakan daripada tindakan itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Berangkat dari poin inilah awal ketertarikan dan memahami lebih jauh tentang konsep sejarah ini. Dalam konteks Indonesia, para sejarahwan sering membawa konsep ini untuk memahami peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang dilanjutkan dengan pembantaian massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1966 di seluruh wilayah republik ini dan penahanan serta kamp konsentrasi penyikasaan di Pulau Buru.

Berbagai versi sejarah kemudian lahir dan berbagai perspektif bertarung unjuk kekuatan serta kebenaran. Versi sejarah itu terus berkembang dan menjadi perdebatan. Otoritas Negara (orde baru)kemudian dengan kekuasaan membentuk versi sejarah tunggalnya. Orang-orang yang kalah atau "dikalahkan" dalam pertarungan sejarah itu, bungkam dan menyimpan sejarahnya. Setelah kekuasaan jatuh dan kekuatan otoritas mulai digugat, sejarah yang "hilang", orang-orang yang menjadi "korban" mulai unjuk gigi, membuat sejarahnya masing-masing.

Sejarah korban pertarungan kekuasaan selalu menarik untuk disimak. Ia adalah bagian dari wacana penggugatan sudah menjadi monumen dan monolitiknya sejarah. Berbagai memori "rahasia" kemudian keluar menjadi narasi-narasi alternative versi sejarah dalam pengungkapan kebenaran. Perayaan narasi, pertukaran memori, sejarah alternatif ini menambah kekuatan untuk kekuatan sejarah lisan (oral history).

Seni : Teks dan Konteks
Tapi lepas dari pengantar dan pintu masuk konsep/istilah diatas, pameran ini bukan untuk menfsirkan, mengkait-kaitkan, menghubung-hubungkan antara sejarah dan seni rupa atau konsep tentang salah satu aliran historiography (Rememoration) itu dalam konsep kuratorial pameran ini. Sebagai sebuah disiplin ilmu, sejarah punya metodologinya sendiri, begitu juga seni rupa yang mempunyai teori, perkembangan, analisis, kritik dan unsur visual (bahasa rupa) serta konteks perkembangnnya yang menjadi titik sentral pergerakan wacana seni rupa.

Berkembangnya seni rupa kontemporer juga membuka cakrawala baru dari sekat-sekat kategori ilmu tersebut. Perkembangan seni kini telah jauh berelasi dengan bidang-bidang ilmu lain—sesuai dengan penempatan konteks seni sebagai bagian peradaban manusia. Begitu juga dengan seni rupa kontemporer yang sekarang telah menjelajah jauh membongkar formalisme seni dan sejarah seni yang linier milik "Barat". Ada yang "hilang" dalam konteks ini, sejarah pinggiran, sejarah seni di dunia "Timur" yang kini coba untuk menyela arus utama seni rupa kontemporer Eropa Amerika (Barat). Dan sudah pasti kelahiran dan perkembangan mereka sangat dipengaruhi oleh dinamika sejarah dan budaya mereka masing-masing.

Salah satu yang mencuat adalah munculnya kekuatan budaya dan wacana lokal serta budaya regional dalam proses berkembangnya seni rupa ke arah internasional dan global. Dua titik berangkatnya adalah globalisasi dan posisi budaya kita yang lemah. Satu hal yang mendukung globalisasi adalah kenyataan bahwa berbagai pencapaian budaya modern serta seni rupa Barat dapat disebarkan di antara kita dan bagi seluruh dunia; tapi kita harus tetap berjaga menghadapi kemungkinan bentuk hegemoni budaya dapat mengubah globalisasi jadi suatu bentuk sentralisasi budaya global.

Li Xianting, curator berpengaruh Cina, lebih lanjut mengatakan kita semestinya menelisik serta mencari asal-muasal kebudayaan baru di wilayah kita berdasarkan keberadaan serta konteks kebudayaan yang tersendiri, dengan demikian secara bertahap akan menghasilkan dan memperjelas suatu sistem nilai regional baru dalam modernisasi global yaitu modernisasi yang didasarkan pada berbagai syarat eksistensial masyarakat yang kini mendiami wilayah non-barat. Kebudayaan baru dan latar belakang belakang sosio-politik cultural ditemukan dalam karya-karya perupa kontemporer Cina yang terkenal dengan barisan perupa Cina Avant Garde. Latar belakang sosio cultural inilah dalam catatan Li Xianting menjadi konteks yang penting bagi seni kontemporer Cina yang menggunakan bahasa modern Barat dengan kreatif, dan pada saat yang bersamaan dengan cerdas menggali sumber-sumber budaya Cina.

Atau dalam definisi Hou Hanru, menciptakan lokalitas baru, yang global terus-menerus dirumuskan ulang sebagai semacam ikhtisar dari sekian banyak lokalitas baru yang masing-masing khas. Menciptakan lokalitas baru dalam rangka memberinya makna penting di dunia modern, atau demi melahirkan modernitas yang berbeda-beda, itulah akar dan tujuan setepatnya dari pada aksi seniman, perupa, dari berbagai bagian duniayang berperan serta dalam setting global.

Paradigma itu kemudian mencari formatnya dalam pameran-pameran internasional diluar Eropa Amerika dengan kebedaan dan mencari hal-hal serta perkembangan baru dalam seni rupa kontemporer dunia. Proses pencarian ini terdukung dengan disepakatinya seni rupa sebagai gejala global, internasional dalam konteks budaya. Kecenderungan ini memperlihatkan pindahnya upaya memahami karya-karya seni rupa dari bingkai seni rupa ke bingkai budaya. Ini sebagai bentuk penggugatan, kritik dari perkembangan modernisme yang dalam perkembangannya paling akhir sering disebut sebagai "institusi", punya kecenderungan membedakan "karya seni rupa" dan "bukan karya seni rupa". Kecenderungan ini merupakan salah satu penyebab mengapa seni rupa yang muncul pada perkembangan di luar Eropa Amerika, dimarginalkan. Didasari sejarah perkembangan masyarakat Barat yang berpangkal pada Post-Enlightment Western Thingking, modernisme mengabsolutkan kontradiksi tradisi dan modernitas. Selain itu modernisme mengabsolutkan pula terobosan dan pembaharuan dalam perkembangan seni rupa. Kedua keyakinan ini membuat modernisme tidak bisa memahami karya-karya seni rupa modern yang dipengaruhi oleh tradisi.

Maka dari itulah berbagai event seni rupa menempatkan konteks budaya sebagai salah satu kekuatannya. Begitu latah dan menjamurnya, sejak Reformasi 1998, karya-karya seni lebih menekankan konteks daripada bahasa visual yang merupakan unsur penting dalam pemahaman dan menikmati karya seni. Akhirnya, perkembangan seni rupa kontemporer menyelisik masuk dalam kontemporerisme yang diluar jangkauan public untuk memahaminya. Karya-karya hadir begitu sangat "seadanya" tapi dengan kekuatan konteks yang luar biasa patennya.

Perdebatan teks dan konteks menjadi latah dan kemudian berlanjut pada kritik yang tidak ada habis-habisnya pada euphoria social politik dan dimana letak bahasa rupa atau pembahasan secara visual dari sebuah lukisan dalam sebuah event. Perdebatan dan pemisahan teks dan konteks sebenarnya adalah awal dari keterjebakan kita untuk mempertentangkan, dan menempatkan posisi yang berlawanan antara konteks yang disebutkan menekankan dimensi kemasyarakatan dan teks yang menekankan dimensi estetik. Mengikuti Walter Benjamin, karya seni tidak akan menjadi politically correct apabila tidak sekaligus aesthetically correct.

Jim Supangkat memetakan dalam perdebatan seni kontekstual, teks dan konteks terperangkap dalam pemahaman: sesuatu karya seni disebut kontekstual karena latar belakang social budayanya, dimensi estetiknya, sementara itu, adalah masalah universal. Pemahaman ini "tidak bunyi". Dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan persoalan seni, masalah sosial budaya memang kontekstual. Karena itu, permasalahan seni kontekstual baru akan "bunyi" apabila masalah seninya (dimensi estetiknya) yang diyakini kontekstual—selama ini diyakini universal.

Paradigma Kuratorial
Melanjutkan konteks dalam seni rupa, yang terbayang kemudian adalah bagaimana posisi curator yang mencarikan konteks dalam sebuah event seni rupa. Si kurator ini mencoba untuk mengkait-kaitkan karya seniman sesuai dengan bayangan akan tema yang sudah ada dalam bayangannya. Si kurator merancang tema dan seniman menjadi petugas untuk memvisualkannya.

Tidak sepenuhnya salah kondisi semacam itu. Peran si curator adalah menemukan mata air jika dalam pembuatan sumur, menggalinya dan kemudian menjadikannya sumur dengan air yang bersih dan terus penuh. Tidak salah memang si curator mempunyai seniman unggulan dan berusah terus "memperjuangkan" si seniman. Ini adalah harga dirinya, pertaruhan ketepatannya, kejeliannya menemukan seniman. Menggali potensi mata air seniman dan kemudian menjadikannya "penting" adalah kebanggaan tersendiri dan pertaruhan bagi curator.

Tapi dalam proses relasinya, tidak jarang curator hanya menterjemahkan dirinya, menceritakan dirinya dan melepaskan diri dari hubungan terhadap seniman. Si curator asyik dengan wacananya sendiri, sementara si seniman terpuruk pada posisi melayani curator, sebagai pelengkap atau menjadi alasan visual yang dikait-kaitan. Situasi lambat laun membawa situasi yang terpisah antara visi kuratorial dengan visi si seniman. Akhirnya jalan sendiri-sendiri, menceritakan dirinya masing-masing. Atau dalam hubungan mutualisme, keduanya saling memanipulasi untuk menawarkan diri pada pasar, dunia konsumsi seni dengan membohongi public. Kurator sebagai public relation, juru kampanye dengan alasan asal-asalan dan dibuat-buat, sedangkan senimannya menikmati sanjungan-sanjungan itu tanpa relasi dan komunikasi mendalam antar mereka.

Lalu apa yang salah dalam kondisi ini? Paradigma kuratorial selama ini hanya sekadar sebagai alasan argumentasi saja, bisa apa saja, tidak ada hubungan tapi yang penting sudah berargumentasi. Justru meletakkan konteks dalam berargumentasinya seorang curator menanggung beban yang berat. Ia harus menyelami perjalanan, konsep berkesenian seniman untuk kemudian meletakkan konteksnya dalam perkembangan seni rupa. Dan secara visual pun akan menjadi hal yang baru jika proses relasi curator dan seniman berangkat dari titik yang sama, mendiskusikan dan sama-sama membentuk sebuah wacana dengan kontribusi dan integritas kedua profesi ini.

Perubahan paradigma kuratorial yang top down antara curator pada seniman perlahan-lahan terbukti. Si seniman mulai merasa dikungkung kreatifitasnya dan terekspresi lewat tidak mau diatur-atur oleh curator. Sikap seperti ini terkadang memilukan, dibilang nyentrik, menggunakan nyeleneh dan otoritas seniman, tidak mau ada curator, mengkoratori diri sendiri (self curator). Tidak salah kondisi ini, si seniman yang mengkurasi dirinya sendiri. Tapi jalan tengah, kondisi idealnya adalah si curator dan seniman menjalani proses bersama, saling memahami, menggali dan kemudian bingkai kuratorial yang hadir sebagai bagian proses relasi hubungan diantara keduanya—dan sudah tentu dengan pemahaman otoritas masing-masing.

Membingkai Konteks Rememoration
Sejak awal pemeran ini dirancang untuk cair. Dari kecairan itu termasuk juga dalam bingkai kuratorialnya. Terlepas dari kesan "digawat-gawatkan", bingkai kuratorial pameran ini memang hanya mengkonstruksinya dalam wacana yang besar dan luas, sebagai bingkainya. Justru detail dari konteksnya adalah pada kekuatan narasi masing-masing senimannya dalam mengkonstruksi, mengedit, melupakan atau apa saja tentang memorinya dan menjadikannya stimulan untuk menghasilkan karya seni.

Memori dalam perspektif ini bukan hanya politik ingatan semata-mata, bukan tentang sejarah ingatan yang linier, lurus-lurus saja, tapi sebagai sebuah struktur menyeluruh dari masa lalu dan masa kini. Sejarah yang linier sebagai pelajaran dari masa lampau sudah dari dulu mendapatkan kritik menjadi penyimpan dokumen dan senjata bagi mesin-mesin kekuasaan yang menang dalam pertarungan sejarah peradaban manusia. Sejarah kemudian diformat menjadi tidak linier, tidak konsistensi tapi inkonsistensi, berantakan dan tidak teratur.

Begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang kemudian lahir dari dokumen-dokumen penting yang menjadi format, disiplin , metodologi yang baku yang justru membatasi ilmu tersebut. Ada perspektif untuk menggugat arkeologi yang membentuk ilmu pengetahuan, sejarah tersebut untuk kemudian mengembalikannya pada jejak-jejak dari dokumen-dokumen, cerita-cerita, memori dari para pelakunya. Untuk itulah peristiwa sejarah atau ilmu pengetahuan kadang-kadang tidak menjadi penting. Justru yang terpenting adalah jejak-jejak, konstruksi dan latar belakang proses, dialektika yang membentuk peristiwa tersebut.

Sedemikian cairnya, sehingga konteks atau payung pameran ini diperkuat dengan sapihan-sapihan memori dan narasi masing-masing perupanya. Untuk itulah menjadi penting bagian dari konsep dan penjelasan karya masing-masing seniman untuk memperkuat konteks pameran ini. Semuanya menjadi rangkaian bersama dari event ini dan masing-masing senimannya juga memahami konteks yang ingin ditampilkan.

Tidak bisa dipungkiri, konteks tentang memori memang terkesan dicari-cari. Ada banyak persoalan tentang hal ini. Ada yang sangat memikirkannya—jika Ia terlibat langsung atau mengalami peristiwa buruk dalam hidupnya, atau ada yang cuek, EGP (Emangnya Gue Pikirin) dan mengganggap memori, politik ingatan adalah hal yang wajar, alami dan berjalan apa adanya.

Berbagai perspektif tentang memori, politik ingatan inilah yang kemudian digali dari serangkaian wawancara informal dan awal dengan para senimannya. Rangkaian wawancara berkutat tentang bagaimana latar belakang penciptaan karyanya dan tentu saja kaitan dengan tampilan visual yang bisa dihadirkan. Penggalian ini lebih mengeksplorasi tentang interaksi dan rekaman akan memori dari seniman dalam keluarga, lingkungan dan kehidupannya. Dari eksplorasi itulah kemudian timbul catatan-catatan konsep karya dari para seniman dan juga karyanya.

Dan berbeda dari momen-momen pameran seperti biasanya, pameran ini lebih kepada pengenalan relationships antara curator dan seniman dan juga pembalikan paradigma kuratorial top down seperti yang telah disebutkan diatas. Pameran pendalaman karakter masing-masing mungkin tepat disebutkan untuk pameran ini, karena selain meletakkan konteks tentang konstruksi memori, hal yang juga penting terjadi adalah bagaimana relasi antara seniman dan curator menjalani sebuah proses saling mendalami, bercerita dan sama-sama menemukan poin untuk sebuah pameran. Kesadaran ini memang awalnya hadir karena kesalahan pendekatan, tapi menjadi pemicu untuk proses kuratorial berikutnya.

Hal itu tampak dari serangkaian wawancara awal dan sangat dangkal dengan seniman yang berpameran seperti Gede Puja, Dewa Gde Rata Yoga, Dewa Adnyana dan peserta dalam pameran ini Wayan Suja, Made Muliana Bayak, Made Dodit Artawan, Wayan Seriyoga Parta serta Putu Agus Sumiantara

Wawancara serta catatan konsep karya yang ada dalam katalog ini adalah bahan penting untuk penulisan katalog ini. Beberapa narasi yang menjadi kekuatan dalam pameran ini mendapatkan tempat dalam catatan wawancara dan pemaparan konsep karya masing-masing seniman yang berpameran.

Gede Puja merekam narasi-narasi yang sering Ia dengar dari perbincangan masyarakat Bali di desa-desa. Dialog tentang luhurnya nilai-nilai budaya, berlanjutnya warisan budaya demi anak cucu dan generasi berikutnya sering diungkapkan generasi yang lebih tua untuk mempertahankan, menguatkan dan mengokohkan budaya Bali. Keterkaitannya dengan ritual upacara agama di desanya membuatnya tanpa sadar untuk mengeksplorasi wilayah social dan budaya sebagai hal yang kontekstual. Beberapa tahun belakangan ini, Ia masih setia dengan ironi, kritik dan pertanyaan akan fenomena budaya Bali sebagai titik pijaknya untuk melangkah. Dengan tema sosial budaya yang kontekstual itu, Puja mengemasnya dalam bahasa visual realistik mirip dengan teknis grafis yang Ia kuasai dalam medium lukis. Warna-warna yang mencolok dan menyelipkan teks-teks dalam karya lukisnya menempatkan karyanya sebagai begitu jujur, polos dan "manis" dengan kombinasi warna yang mencolok layaknya tampilan grafis dan iklan-iklan di media massa. Dengan tampilan yang mencolok ini, mendekatkan karyanya menjadi semacam iklan, statement dengan kurangnya sensitifitas untuk mengekplorasi bahasa simbolik, mengasah sensibilitas dalam karya bahasa simbolik seperti seni rupa.

Made Muliana Bayak dengan hati-hati dalam pameran ini masih menyertakan karya lukisnya. Padahal dalam sebuah kesempatan, terbersit keinginannya untuk mendalami instalasi sebagai focus perhatiannya. Dalam kesempatan pameran lain, Bayak lebih berat menghadirkan karya-karya instalasi ini. Dan ini memang peluang yang harus diambilnya ditengah masih goyah dan lemahnya tampilan visual karya-karyanya dibandingkan dengan konsep atau ide-idenya. Di instalasi Ia mungkin bisa menunjukkan kekuatannya. Dalam pameran ini, karyanya begitu mencolok, bukan dengan kanvas putih seperti lazimnya, tapi diganti dengan kanvas loreng layaknya seragam tentara. Diatas kanvas loreng itu, seperti biasanya Bayak menghadirkan figure-figur deformasi ciri khasnya (yang kasar dan belum jadi?) "Dengan menggunakan kain loreng militer Indonesia sebagai canvas tanpa mendapat pengolahan lainya, langsung dibentangkan dengan spandram kemudian dilukisi dengan figure asosiatif manusia yang menggambarkan penguasa yang berlatar belakang militer. Dengan menggunakan symbol-simbol yang universal (seperti mahkota, senapan, loreng itu sendiri dll) saya harapkan karya ini dapat terbaca dengan gamlang," katanya dalam pengantar konsep di catalog ini.

Dewa Gde Rata Yoga lain lagi. Dalam karya-karya sebelumnya, Ia masih bereksperimen dengan kanvas besar dengan sapuan abstrak dan dengan figure realistik. Meskipun dalam periode sebelumnya, Dewa Penjahat-- begitu Ia biasa dipanggil—sempat menekuni bidang abstrak sebagai bagian dari proses berkaryanya. Karyanya terakhir adalah drawing dengan pulpen, dan cropping figur sebagai bagian studi lanjutannya di dunia realistic. Karyanya kali ini tidak jauh berbeda. Ia masih setia dengan studi realistiknya dengan sentuhan tema social kehidupan yang Ia perhatikan sehari-hari dilingkungannya. Figur realisme dimainkan dalam perspektif-perspektif yang coba diarahkan untuk menempatkan obyek roda sebagai sentral/focus lukisan dengan figur wanita sebagai pekerja kasar dijalan-jalan yang Ia lihat.

Dewa Adnyana masih tekun dengan gambar figure realisnya. Karya-karyanya sangat memperhatikan detail guratan tangan dan apapun bagian tubuh yang menjadi daya tariknya. Dalam pameran Narasi Realistik 2003, Dewa menghasilkan karya-karya kecil dengan teknik realis yang Ia miliki. Dalam pameran ini, ingatannya tentang obyek yang menjadi ketertarikannya tidak jauh dari tubuh orang-orang tua dengan detail keriput, urat-urat pada tangan yang selalu Ia perhatikan. Dalam karyanya dipameran kali ini, Dewa kembali menggunakan obyek tangan orang tua yang difotonya beberapa waktu lalu. Orang tua yang masih ada hubungan saudara dengannya itu telah meninggal dan Dewa membawa kenangan ini.. Dalam karyanya, tangan orang tua itu menggenggam botol minuman sprite yang muncul dengan mencolok dan menjadi ikon penting dalam karyanya. Dewa secara latar belakang adalah generasi yang sangat fashionable, trendy dan selalu mengikuti perkembangan zaman.Munculnya ikon sprite menjadi pergerakan tersendiri dalam karya realis cropping dengan detail yang ketat pada karyanya.

Putu Agus Sumiantara akrab dipangil kawan-kawan dengan Kacrut masih mengeksplorasi teknis repetisi dan permainan medium dalam karya-karyanya. Jika dalam karya sebelumnya Ia menggunakan kanvas dengan teknis repetisi figure Teletubies dan triplek dengan figure pecalangnya, kini Kacrut menggunakan bahan fiber dengan medium yang melengkung. Kini obyeknya adalah canang yang sangat akrab Ia lihat dalam lingkungan social dan tradisi dengan ritual-ritualnya. Teknik repetisi tetap Ia pertahankan dengan mengeksplorasi mediaum. Dalam karya panjangnya ini, obyek canang terlihat dari bebagai sisi yan melengkung dalam medium fiber. Untuk konteksnya, canang sebagai obyek menjadi pintu masuk untuk statementnya terhadap kondisi ritual yang "megah" dan "glamour" di Bali. "Saya sebagai masyarakat Bali yang sering terlibat dalam kegiatan uapacara di desa merasa sangat terbebani oleh yang namanya upacara itu. Bukan tidak percaya dengan keberadaan-Nya, terkadang terlintas di pikiran saya haruskah sebuah upacara itu di besar-besarkan dan di persaingkan. Haruskah upacara itu meyiksa kita ? Padahal intinya sama memuja akan keberadaan-Nya," ungkapnya.

Wayan Suja mencoba untuk menghadirkan karya interaktif dalam pameran ini. Kini Ia kembali bangkit untuk bereksplorasi dengan memori dirinya sendiri, interaksi dengan public dan bergeraknya zaman yang Ia sebut kapitalisme. Yang menarik dari karyanya adalah dipajangnya 3 fhoto dirinya sebagai bagian dari ironisnya pergerakan zaman yang juga melibatkan dirinya. Karya interaktifnya adalah bergeraknya badut turun dan naik dan dipandangi oleh figure anak kecil dengan tatapan menerawang. Kaca dipinggir karya ini Ia hadirkan sebagai cermin dari audience dari dilemma, ironisnya dunia ini seperti juga dirinya. Tiga bagian yang menjadi focus dari karyanya sudah barang tentu 3 potret dirinya, bergeraknya badut dengan dynamo dan deretan cermin untuk berinteraksi dengan audience.

Sri Yoga Parta, adalah satu-satunya seniman kriya dalam pameran ini. Karya mulutnya sebenarnya dipersipkan untuk pameran tahun lalu yang gagal. Untuk event kali ini, Ia kembali memperbaharui karyanya. Cropping mulut dari kayu yang sebelumnya dibiarkan kasar, kini dicat dengan warna merah, perak dan hitam. Berlatar belakang kriya (craf) di ISI Denpasar, Yoga mulai berani meninggalkan statement para perupa patung/kriya dengan penggunaan media kayu dengan kekuatan bahannya yang kasar. Karyanya kini terkesan pop, mencolok dengan warna-warna merah, hitam dan perak dengan gantungan, instalasi dinding potongan mulut-mulut yang menganga. Audience dalam harapan Yoga bisa bercermin dengan potongan mulut-mulut menganga itu tentang dirinya.

Made Dodit Artawan, menampilkan karya memanjang yang naratif dengan sesaknya figure-figur kartun, gambar kopun bazzar, penggalian dana di banjar-banjar di Bali. Warna-warnanya yang kontras, berbeda dengan tiga panel karyanya sebelumnya dengan repetisi kupun bazzar berwarna yang gelap. Bazzar, gemerlap pesta anak muda Bali di banjar-banjar memang dekat dengan kesehariannya. Masih dengan menggunakan kupon bazzar, karyanya dalam pameran ini melanjutkan pencariannya sebelumnya ditambah dengan bertambahnya figure-figur dalam satu kanvas.


Denpasar, 13 Mei 2004
---------------------------------------
Kutipan Budiawan Purwadi tentang konsep rememoration dari karya Pierre Nora (1996) 'From Lieux de mémoire to Realms of Memory', dalam Nora, Pierre (ed.) Rethinking the French Past: Realms of Memory, Vol. 1, New York: Columbia University Press.
Rangkaian seminar juga bedah buku Asvi Warman Adam, Seoeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Ombak April 2004 dan Pelurusan Sejarah Indonesia, Tride, April 2004.
Dalam buku Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, 2004 terdapat kesalahan kata "Rememoration" menjadi "Recomemoration". Saya sempat ragu tentang kebenaran kedua istilah sejarah ini. Tapi setelah mencarinya di internet dan mengumpulkan artikel, akhirnya istilah tepat yang saya temui adalah "Rememoration" (Budiawan Purwadi, Syarikat Indonesia, 2003)
Maria Hartinignsih, wartawan Kompas penerima penghargaan Yap Thiam Haim Award menulis bedah buku Robert Cribb (ed) Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali dengan judul Membaca Sejarah yang Membebaskan, Kompas 27 Oktober 2003.
Lebih jauh lihat Degung Santikarma Monumen, Dokumen, dan Kekerasan Massal: Politik Representasi Kekerasan di Bali Kompas, 1 Agustus 2003.
Sejarah lisan (oral history) diakui sebagai suatu cara untuk merekam dan mendokumentasikan perkembangan sejarah dan gejala social tertentu. Sejarah lisan juga dilihat sebagai usaha untuk menangkap warna dan perasaan dari pengalaman manusia yang dapat meperdalam pemahaman kita mengenai masa lampau. Dengan menangkap kenangan dari mereka yang pernah mengalami hal-hal itu, sejarah lisan menjalin hubungan antara masa kini dan masa lampau, Pengantar Editor buku Sejarah Lisan di Asia Tenggara (Teori dan Metode), LP3ES 2000.
Lebih lengkap lihat Li Xianting, Membangun Kembali Budaya Regional diTengah Proses Globalisasi, catalog CP Open Bienalle 2003 Interpellation, Galeri Nasional Jakarta, 4 September-3 Oktober 2003.

Li Xianting, op cit
Hou Hanru, curator berpengaruh Cina selain Li Xianting dalam Saat untuk Alternatif, kumpulan tulisan buku 15 tahun Cemeti Art House, Exploring Vacum.
Semua catatan dikutip dari Jim Supangkat, Art With an Accent, Kuratorial CP Open Bienalle 2003 Interpellation, Galeri Nasional Jakarta, 4 September-3 Oktober 2003.
Jim Supangkat mengutip Walter Benjamin dalam Bingkai Seni Kontekstual, Bentara Kompas 7 Juli 2000.
Jim Supangkat, op cit
Masukan dan kritik kawan-kawan Klinik Seni Taxu dalam rapat dan diskusi pada Minggu, 9 Mei dan Rabu, 12 Mei 2004. Dalam presentasi kuratorial pameran Rememoration yang awalnya berbingkai dan terkesan sangat top down, kontekstual/wacana. Kesadaran ini kemudian memicu perubahan paradigma kuratorial dengan mendengar memori dan narasi masing-masing seniman dalam pameran ini.
Michael Foucault mengungkapkan ide tentang arkeologi pengetahuan dengan dokumen dan catatan-catatan lapangan berserta sejarah yang tidak linier, inkonsisten. Lebih jauh lihat Jurnal filsafat Driyarkara Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, 2000 dan Majalah Basis edisi khusus Michael Foucault 2002.
Wawancara awal dengan perupa ini dilakukan pada 6 Mei 2004.
Secara informal melakukan wawancara/obrolan tentang proses berkarya. Pernyataan mereka beberapa poinnya saya catat untuk referensi pameran ini. Diantara statement mereka disampaikan pada rapat-rapat Klinik Seni Taxu, obrolan dan sudah tentu catatan konsep dalam pameran ini.
Wawancara informal dilakukan Kamis, 13 Mei 2004.

Comments

Popular posts from this blog

prediksi bencana alam

Best Free Software

not about us