G30S/PKI dan Teori Kebisuan Spiral
Oleh Tjipta Lesmana
Setap orang umumnya mempunyai pendapat tentang persoalan atau
masalah yang ada di sekitarnya. Pendapat tersebut bersumber pada (a)
hasil interaksi sosialnya dengan orang lain, khususnya dengan peer
group, dan (b) terpaan media massa.
Dari kedua sumber ini, pada era modern yang ditandai oleh arus
informasi yang begitu massif, pengaruh media massa lebih kuat
daripada interaksi sosial dalam pembentukan opini kita. Pengaruh
media massa begitu kuat, sehingga masyarakat modern, de facto,
menjadikan media massa sebagai sumber utama informasi dan opini.
Elizabeth Noelle Neumann, seorang sosiolog Jerman, melakukan
penelitian intensif dan bertahun-tahun tentang korelasi antara
terpaan media massa dan pembentukan opini publik. Hasilnya berupa
sebuah teori yang kini dipakai oleh para teoretisi dan praktisi
komunikasi massa di seluruh dunia. Teori itu bernama Spiral of
Silence, teori kebisuan spiral.
Teori kebisuan spiral mengajarkan kita bahwa dalam masalah-masalah
penting atau kontroversial, opini publik cenderung pecah menjadi dua,
tiga, atau empat blok. Dalam proses pembentukan opini publik, dengan
cepat dan mudah, kita akan menyaksikan munculnya opini mayoritas dan
opini minoritas. Mereka yang berada dalam kubu minoritas cenderung
“merapatkan barisannya” ke tepi, karena khawatir dihukum, entah
dalam bentuk perasaan malu, dikucilkan, atau diancam secara fisik.
Akibatnya, mereka menahan diri untuk tidak bersuara (membisu).
Sebaliknya, mereka yang berada dalam kubu mayoritas biasanya
bersuara keras, dan tampil ke depan secara mencolok. Makin keras
suara mereka didengungkan kepada publik, tingkat kebenaran opininya
seakan semakin tinggi.
Makin tinggi kebenaran yang dikesankan oleh suara mayoritas,
kelompok minoritas pun makin khawatir, bahkan makin takut, sehingga
mereka semakin mundur ke belakang sehingga terbentuk kebisuan
spiral. Lambat-laun, suara opini minoritas nyaris sirna. Yang muncul
adalah kebenaran tunggal.
Bukan Berarti Mati
Tapi, hasil penelitian Neumann juga membuktikan bahwa itu bukan
berarti pendapat minoritas telah mati. Secara aktif dan rahasia,
orang-orang di kubu minoritas sebenarnya terus “bergerilya” untuk
melancarkan komunikasinya, berusaha meyakinkan orang-orang sekitar
tentang kebenaran opini mereka.
Mereka yang berada dalam kubu mayoritas pun menjadi sasaran “gerilya
komunikasi” tersebut, sepanjang mereka dinilai bisa diajak berdialog.
Tidak mustahil, gerilya komunikasi ini lambat-laun membuahkan hasil,
yaitu makin banyak orang yang menyeberang ke kubu minoritas. Pada
suatu saat tidak mustahil terjadi keseimbangan opini, bahkan yang
minoritas menjadi mayoritas, dan yang semula mayoritas justru
menyusut menjadi minoritas.
Naik dan jatuhnya rezim Orde Baru merupakan salah satu contoh kasus
paling bagus tentang kebenaran teori kebisuaan spiral. Selama Orde
Baru, dominant opinion itu amat gamblang: bahwa pemerintahan
Soeharto yang bertumpukan demokrasi Pancasila betul-betul demokratis,
mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunan adalah contoh dari
demokrasi yang dimaksud, bahwa pers Indonesia bebas (Pancasila),
bahwa rakyat bebas menyatakan pendapatnya, bahwa pembangunan ekonomi
berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya.
Pendapat minoritas di luar itu praktis habis “dibunuh” dan mereka
yang kokoh dengan pendapat minoritas pun akhirnya takut
menyuarakannya; atau tidak lagi ada media yang berani menyuarakannya.
Toh, pada akhirnya, sejarah berbalik. Pada akhirnya, opini mayoritas
berhasil dihancurkan, dan opini minoritas bangkit sehingga menjadi
opini mayoritas.
Selama Pak Harto berkuasa, kebenaran cerita tentang Gerakan 30
September/PKI cuma satu, yakni tragedi itu merupakan kudeta
bersenjata Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dibantu oleh sejumlah
perwira ABRI yang sudah lama disusupi oleh kader-kader PKI.
Tujuannya jelas, menumbangkan kekuasaan Soekarno untuk kemudian
mendirikan pemerintahan komunis di Indonesia.
Opini Rontok
Kira-kira tiga atau empat tahun setelah G30S/PKI pecah, sejumlah
ilmuwan di Cornell University, Amerika, sebenarnya, mempublikasikan
hasil penelitian mereka. Menurut mereka, G30S/PKI merupakan
konspirasi banyak faktor, internal, maupun eksternal.
Yang paling utama adalah keterlibatan Amerika untuk menghancurkan
rezim Soekarno yang dinilai sangat antibarat, khususnya anti-Amerika.
Melalui operasi clandestine CIA, Washington diam-diam memberikan
bantuan dana maupun logistik kepada perwira-perwira probarat.
Tatkala jenderal-jenderal pro-Amerika ini tewas dibantai oleh
perwira-perwira muda pada 1 Oktober 1995 dini hari, dan ketika
Mayjen Soeharto dengan cepat tampil untuk menghancurkan G30S/PKI,
Amerika pun dengan cepat memberikan dukungannya kepada Soeharto.
Versi Cornell Papers ini dijegal oleh penguasa Orde Baru, karena ia
bertentangan dengan dominant opinion yang sudah diset oleh Orde Baru.
Namun, setelah Orde Baru rontok pada Mei 1998, dengan sendirinya
opini dominan tadi rontok pula. Dewasa ini, rakyat Indonesia
disuguhkan oleh macam-macam versi G30S/PKI. Paling sedikit terdapat
6 versi yang bisa kita analisis, yaitu G30S/PKI (a) sesungguhnya
didalangi oleh Soeharto; (b) hasil konspirasi berbagai elemen
internal maupun eksternal Indonesia, terkait pula dengan suasana
perang dingin waktu itu; (c) diarsiteki oleh CIA, (d) sepenuhnya
masalah internal ABRI, tepatnya perseteruan antara perwira-perwira
progresif dan reaksioner (baca: pro-kapitalis); (e) didalangi oleh
Soekarno dan (f) gerakan murni PKI dengan sasaran akhir
mengkomuniskan Indonesia.
Semakin lama proses pembentukan opini tentang G30S/PKI bergulir,
semakin mengkristal pula opini dominan dalam masyarakat, yaitu
Seoharto-lah dalang pemberontakan bersenjata itu. Tapi, hingga kini
diakui pergulatan untuk membentuk satu opini dominan mengenai G30S/PKI
masih berlangsung sengit, sebab mereka yang konsisten menganut opini
dominan pada masa Orde Baru masih besar jumlahnya.
Buktinya, upaya sisa-sisa PKI, atau generasi penerus PKI, untuk
bangkit kembali di permukaan masih menghadapi hambatan dan tantangan
serius. Bagaimana hasil akhir dari pergulatan opini ini, sebagian
besar tergantung pada sikap penguasa. Sebab bukan rahasia lagi,
kebenaran selalu ada di tangan yang berkuasa…….! Aspek ini yang
rupanya tidak dilihat oleh Neumann dalam teori kebisuan spiralnya.
Penulis adalah seorang kolumnis
Comments
Post a Comment