Generasi Baru Santri dan Rekonsiliasi

Oleh Nur Khalik Ridwan

TRAGEDI itu sudah 38 tahun berlalu. Subuh tanggal 1 Oktober 1965 terjadi pembunuhan atas enam jenderal dan satu perwira menengah Angkatan Darat. Siang 1 Oktober dan seterusnya di tahun yang sama bergeser. Dimulailah pembunuhan kaum komunis dan yang dianggap komunis karena dijustifikasi sebagai pelakunya.

Ada peristiwa yang berbeda di situ. Atas peristiwa Subuh 1 Oktober orang mengutuk keras. Sebaliknya, siang 1 Oktober dan seterusnya orang banyak yang bungkam. Padahal, korbannya sama sekali tidak sebanding.

Pada titik inilah ada ketidakadilan. Peristiwa yang berbeda dipandang berat sebelah. Yang terjadi, semua peristiwa di tahun 1965 itu ditimpakan semua kesalahannya kepada kaum komunis. Pengadilan sama sekali tidak memutuskan. Hanya keputusan politik MPRS yang ada. Tertuang dalam Tap MPRS/XXVI/1966: PKI dilarang, diharamkan membaca dan menyebarkan marxisme dan leninisme.

Keputusan politik MPRS mengalahkan prinsip hukum. Di mana-mana orang di penjara. Tanpa keadilan dan proses hukum. Tak jelas, yang sekadar simpatisan atau anggota komunis. Terjadi pengucilan hingga ke keluarganya. Pengekangan dan kebebasan anak cucunya. Hak perdatanya terampas. Ada ketidakadilan karena hukum tak pernah dihormati.

Tidak berhenti di situ. Tiba-tiba ada stigma tidak manusiawi. Kaum komunis disebut ateis, pemberontak, makar, dan seterusnya. Bahkan, hingga tubuhnya, berhubungan dan bersama mereka dianggap najis. Orang awam menganggap benar belaka. Soalnya ada sejarah yang dibuat penguasa Orde Baru yang membentuk kebenaran tunggal. Hasilnya, orang tidak lagi berbicara kekejaman 1 Oktober dan seterusnya di tahun 1965, pembunuhan atas jutaan manusia miskin Indonesia. Orang hanya bicara pembunuhan enam jenderal di Jakarta, dan PKI dianggap benar sebagai pelaku.

KINI ada wacana lain. Soeharto telah lengser Mei 1998. Muncul banyak wacana. Muncul literatur yang dapat disortir antara yang menarik dan tidak untuk dibaca. Secara umum, buku yang ditulis Hermawan Sulistyo, MR Siregar, Pak Ben, Robert Cribb, dan banyak lagi sudah bisa dibaca. Orang bisa membandingkan. Ada banyak interpretasi dan versi. Kaum kiri-komunis tidak lagi satu-satunya layak tertuduh meski memiliki kesalahan.

Yang paling menarik ada usaha generasi baru Muslim untuk "mencuci pikiran" dengan hati jernih. Cuci pikiran ini penting. Penyortiran referensi dan bacaan secara kritis juga penting. Sebab, sejak dari langgar, sekolah agama, dan pesantren sudah ditanamkan kiri-komunis makar dan ateis. Anak-anak Muslim sudah didoktrin membuta.

Ada dua buku penting usaha generasi baru Muslim. Terbitnya buku Muslim Komunis: Otobiografi Hassan Raid (2000) dan Dari Gontor ke Pulau Buru: Otobiografi KH Moestahal (2001), Terempas Gelombang Pasang (2003) yang berisi biografi Sudjinah (tokoh Gerwani) jadi amat penting. Dua buku yang pertama diterbitkan kelompok muda Muslim di Yogyakarta (Syarikat) yang tidak memiliki kaitan organik dengan komunis. Sebaliknya mereka adalah anak-anak pesantren. Ada figur Imam Aziz dan Saiful Huda Shodiq di Syarikat yang mewakili cara pandang baru dari generasi baru santri. Buku terakhir diterbitkan JIL, kelompok anak- anak muda santri juga.

Tiga buku itu memberi citra lain atas kaum kiri. Hassan Raid adalah Muslim dan KH Moestahal demikian juga. Mulailah tersingkap. Stigma ateis terbantah. Ternyata, Hassan Raid ahli agama, atau setidaknya rajin shalat dan ritual Islam lain. KH Moestahal ternyata pernah nyantri di Gontor Ponorogo. Mereka semua, kebetulan cinta kelompok miskin, berjuang lewat masuk komunis dan sama- sama di penjara Orde Baru.

Dibarengi pikiran jernih. Usaha generasi baru Muslim ini penting guna mengubah citra. Ternyata, komunis tidak identik ateis. Sebab, ateis bisa ada pada kaum agama atau siapa saja. Memang usaha ini belum berhasil seratus persen, tetapi amat berharga bagi pembacaan atas kasus '65 yang berguna untuk melindungi hak warga yang terampas. Kita disadarkan dan tiba-tiba dibangunkan. pada kasus Hassan Raid dan Moestahal, ada juga Misbach yang legendaris dan pandai agama Islam. Penggerak buruhnya ada Semaun yang Muslim tulen. Ada Chalid Salim yang sampai di-Buru-kan yang adiknya Agus Salim, dan banyak lagi.

Usaha generasi baru Muslim ini penting dari segi: ingin mencoba melihat sejarah dengan pikiran lebih jernih daripada bapak-bapaknya. Generasi baru sadar, sejarah selama ini dibentuk Orba dan Soeharto-sentris. Ada banyak data dan kebenaran yang ditutupi rezim otoriter ini. Generasi baru yang kritis butuh horizon. Generasi baru tak lagi percaya sejarah penguasa Orba. Selama ini warga negara komunis diminorkan secara sepihak oleh Orba.

Ada yang penting lagi. Generasi baru Muslim sadar, pembantaian enam jenderal juga sama sekali tidak bisa dibenarkan. Demikian juga pembantaian 1 Oktober dan seterusnya atas jutaan kaum kiri-komunis dan simpatisannya, lebih tidak dibenarkan. Dalam kasus terakhir, generasi baru Muslim sadar ada keterlibatan kelompok Islam di lapangan. Di Jawa Timur dengan pesantren; di Klaten dan di Sumatera Barat seperti Silungkang dengan gerakan puritan, dan seterusnya.

Dalam hal itu, generasi baru Muslim menyadari kesalahan kolektif ini, mereka dimanfaatkan di lapangan oleh "tangan-tangan siluman". Mereka menyadari betapa hukum sama sekali tidak ditegakkan dan tidak menjadi pelindung masyarakat. Mereka tidak mau lagi menanggung beban kesalahan kolektif ini. Karena itu, diperlukan kesadaran baru dengan jernih dalam melihat dan memperlakukan kelompok kiri-komunis sebagai warga negara.

Ada lain lagi yang penting dari usaha generasi baru Muslim ini. Mereka menyadari pentingnya belajar yang positif dari kelompok kiri-komunis meski tidak harus menjadi komunis. Di antaranya yang positif, dari kelompok inilah gerakan pembelaan atas rakyat bawah betul-betul riil: tidak slogan dan omong kosong. Mereka belajar dari positifnya: pentingnya membela kaum tani, buruh kasar, dan isu kaum bawah. Aspek penting ini tidak didapatkan generasi baru Muslim dari bapak-bapaknya selama ini.

USAHA generasi Muslim ini masih kecil. Hanya saja, tidak berarti dapat dianggap sepele. Ini akan menjadi bola salju yang terus membesar. Sebab, di kantong gerakan anak muda Muslim di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Surabaya, Jombang, dan seterusnya sudah disadari pentingnya hal ini. Utamanya, penting bagi referensi generasi selanjutnya. Pencarian kebenaran generasi baru Muslim yang berbeda dengan bapak-bapak kita mesti dilihat secara arif. Sebab, generasi baru butuh dialog, berpikir, dan berefleksi lewat hati jernih.

Sumbangan besar generasi baru Muslim ini secara tersirat ingin memberi pesan kepada bapak-bapaknya. Yang paling penting, ingin mengatakan, Tap MPRS/XXVI/1966 amat tidak manusiawi dan bertentangan dengan hak asasi warga negara. Tidak sesuai lagi dengan amandemen UUD 1945 Pasal 28I Ayat 2: "setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun, dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan diskriminatif itu".

Kearifan kita untuk menjadi bangsa yang besar harus tidak dibarengi sikap yang kerdil. Kita butuh rehabilitasi dan rekonsiliasi yang menjamin hak asasi setiap warga negara, termasuk kepada kelompok kiri- komunis. Usaha generasi baru Muslim untuk mengubah citra dan mengembalikan hak-hak kiri-komunis (meski bagi generasi baru mereka memiliki ideologi yang tidak sama), patut untuk dipertimbangkan dengan hati jernih. Bukankah bangsa besar adalah yang bisa menjadi tempat pelindung bagi setiap warganya? Bukankah Muslim yang baik adalah yang bisa menghormati hak-hak tetangganya?

Nur Khalik Ridwan Aktivis Muda, Penulis Buku "Pluralisme Borjuis" (2002) dan "Agama Kebajikan" (2003), Tinggal di Yogyakarta

 

kompas, Selasa, 30 September 2003

Comments

Popular posts from this blog

prediksi bencana alam

Best Free Software

not about us