"Kami Ingin Bertanya…"

Kompas 12 Februari 2007 11:59:33
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI : "Kami Ingin Bertanya…"
Maria Hartiningsih

Barangkali stigma itu harus dibawa sampai ke titik akhir hidup, ketika perjuangan untuk menghapuskannya sepekat terowongan di dalam terowongan. Di situ, masa lalu bergeming di lorong waktu yang diam. Secercah sinar yang pernah muncul di ujung jauh terowongan kembali ditelan kegelapan.

Wajah ke-60 perempuan itu telah dipenuhi keriput. Tak sulit menangkap keletihannya. Tetapi juga tak sulit menangkap semangat pantang menyerah dari pancaran mata mereka.

Para perempuan sepuh dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur itu pekan lalu berada di Jakarta untuk menemui Komisi III Bidang Hukum, Perundang-undangan dan Hak Asasi Manusia DPR, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan untuk kedua kalinya secara formal menemui Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Para perempuan itu adalah wakil korban peristiwa tahun 1965. Mereka mengalami penyiksaan dan dikenai sejumlah tuduhan yang tak pernah dibuktikan di pengadilan.

Stigma sebagai "perempuan a-moral", "tak ber-Tuhan", "bahaya laten", stigma khusus bagi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan yang selalu dikaitkan dengan PKI, tak pernah diklarifikasi. Stigma yang diciptakan oleh suatu rezim itu lantas seperti menjadi bagian dari tubuh.

Mereka memiliki fakta bahwa sebagian anggota masyarakat sipil yang melakukan kekerasan setelah malam tanggal 30 September 1965 itu mengalami teror dan intimidasi dari penguasa militer untuk membunuh atau dibunuh.

Oleh karena itu, mereka mengakui usaha Syarikat (Masyarakat santri untuk Advokasi Rakyat) Indonesia mempertemukan mereka dengan masyarakat lainnya menjadi penting untuk membangun proses klarifikasi atas Tragedi 1965. Hasil klarifikasi itu menjadi pijakan untuk mendorong negara bertanggung jawab.

Para relawan Syarikat Indonesia adalah saksi yang sering secara tak terduga menemukan fakta-fakta yang melibatkan keluarga terdekat mereka. Upaya rekonsiliasi dengan korban kerapkali menjadi upaya rekonsiliasi dengan diri sendiri.

Namun dalam perkembangannya, proses rekonsiliasi kultural itu mengalami intimidasi dan teror dari aparat keamanan maupun kelompok-kelompok paramiliter.

"Situasinya kembali sesak, setback," ujar Imam Azis dari Syarikat Indonesia.

Pertemuan sesama korban selalu diawasi, bahkan dibubarkan kalau sudah agak formal. Rumekso Setiadi dari Syarikat Indonesia pernah dikejar-kejar ketua RT ketika sedang menyiapkan acara terkait dengan upaya rekonsiliasi tersebut.

Agung Putri dari Lingkar Tutur Perempuan, dalam dialog nasional yang diselenggarakan Komnas Perempuan mengenai perempuan pembela hak-hak asasi manusia, mengatakan, perempuan aktivis yang melakukan advokasi terkait dengan peristiwa 1965 mendapat julukan "Gerwani muda" dengan stigma-stigmanya.

Tanpa UU KKR, lalu apa?

Pada pertemuan dengan Komisi III DPR yang dipimpin Ketua Komisi, Trimedya Panjaitan, Delegasi Perempuan Korban Tragedi 65 menyerahkan empat lembar materi pengaduan.

Di situ antara lain disebutkan, mereka sempat memiliki secercah harapan ketika Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional ditindaklanjuti DPR dengan menyusun suatu mekanisme penyelesaian pelanggaran hak-hak asasi manusia di masa lalu, melalui UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Dua produk kebijakan itu membuka ruang bagi mereka untuk menyuarakan kekerasan yang pernah dialami. Namun, kelegaan itu tak berumur panjang. UU KKR dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada awal Desember 2006 dengan alasan bertentangan dengan konstitusi.

OLeh karena itu, mereka mempertanyakan langkah dan kebijakan apa yang telah dan akan dilakukan Parlemen dalam memperjuangkan pemenuhan tanggung jawab negara atas Tragedi 65 sebagai bagian pelanggaran HAM masa lalu.

Anggota Komisi III Eva Kusuma Sundari dari F-PDIP mengusulkan pada Ketua Komisi agar isu UU KKR diagendakan dalam rapat Komisi dan diambil keputusan di tingkat komisi.

"Amandemen bagaimana yang bisa dilakukan? Pasal apa yang tak sesuai Konstitusi? Lalu untuk rekonsiliasi apa mekanismenya? Apa mau membawa kasus- kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu ke tingkat internasional? Di mana tanggung jawab kita untuk menyelesaikan persoalan masa lalu? Di mana keadilan bagi korban?"

Secara institusional, pertemuan dengan Komisi III cukup memuaskan. "Mudah-mudahan DPR memenuhi janjinya," ujar Rumekso Setiadi.

Sementara itu, Ita Fatia Nadia, komisioner Komnas Perempuan yang baru saja selesai masa tugasnya, memaparkan kegiatan Komnas Perempuan dua tahun terakhir untuk mendorong proses pencarian keadilan bagi perempuan korban peristiwa tahun 1965.

Di antaranya adalah upaya mendokumentasikan laporan narasi korban, dalam kerangka hak-hak asasi manusia (HAM), yang perencanaannya dijelaskan oleh Galuh Wandita, aktivis yang banyak terlibat dalam proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi di Timor Leste.

Ita memaparkan upaya Komnas Perempuan menjembatani pertemuan perempuan korban peristiwa tahun 1965 dengan anggota organisasi perempuan bentukan negara, seperti Dharma Wanita dan wadah organisasi perempuan formal, Kowani.

Ia mengatakan, resistensi terkait dengan masalah Gerwani masih cukup kuat. Fakta ini memprihatinkan karena berarti pengungkapan sejarah perempuan yang dipenggal dari sejarah formal masih tetap akan sulit diterima.

Sejarawan Dr Baskara T Wardaya dari Pusat sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang dihubungi Jumat (9/2), mengatakan, perjuangan korban bukan untuk balas dendam atau meminta kompensasi finansial. "Mereka hanya butuh pengakuan atas apa yang terjadi di masa lalu," ujarnya.

Keengganan mengakui pelanggaran hak-hak asasi manusia berat di masa lalu, menurut Baskara, banyak terkait dengan berbagai kepentingan khususnya posisi politik. Perjuangan merebut pengakuan itu tampaknya akan semakin berat. Seruan korban "Kami Ingin Bertanya..." barangkali untuk bertahun-tahun ke depan akan tinggal sebagai seruan tanpa jawaban.


Sumber:
Kompas, 12 Februari 2007

Comments

Popular posts from this blog

Best Free Software

prediksi bencana alam

Tesla Unveils Cybercab: The Future of Autonomous Transportation