Kemanusiaan dan Keberagaman Mendorong Kita Rekonsiliasi

Salahuddin Wahid
Ketua PBNU

Sejarah bangsa kita penuh dengan tragedi kemanusiaan. Tragedi terbesar adalah yang terjadi pada akhir 1965 hingga awal 1966, yang konon menelan korban nyawa sekitar lima ratus ribu. Juga menimbulkan korban jutaan orang keluarga mantan tahanan politik (tapol) yang diperlakukan secara diskriminatif selama puluhan tahun. Tragedi itu terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Melibatkan aparat militer dan warga sipil antara lain Banser (NU) dan Kokam (Muhamadiyah). Saya tidak dapat memahami tindakan tidak berperikemanusiaan itu. Beruntung, saya langsung bisa menanyakan hal itu kepada beberapa anggota Banser saat bertemu pada peringatan Harlah NU ke-40 (Januari 1966).

Suasana perang
Kawan-kawan itu menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Mereka seperti berada dalam suasana perang, memilih membunuh atau dibunuh. Itu terbangun sejak bertahun-tahun sebelumnya, akibat aksi sepihak PKI/BTI terhadap warga NU yang kaya. Aksi itu dilakukan dengan dalih untuk melaksanakan UUPA. Tindakan kekerasan oleh warga PKI dan underbouw-nya juga dilakukan terhadap pelatihan PII di Kanigoro, Kediri, dan terhadap warga Ansor di Cemethuk, Banyuwangi (Oktober 1965) dan memakan korban jiwa belasan orang.

Dalam suasana seperti itu, pihak TNI menangkapi warga PKI dan underbouw-nya atau yang dianggap seperti itu. Orang yang ditangkap itu lalu diserahkan kepada pihak sipil seperti Banser atau Kokam untuk dihabisi. Tentu warga sipil yang mendapat tugas sambil diberi penjelasan tentang situasi yang dihadapi, berada pada posisi tidak bisa mengelak dari tugas tersebut. Sulit bagi saya untuk menentukan apakah tindakan terhadap para warga PKI itu merupakan kejahatan atau bukan. Sungguh beruntung kita yang tidak berada pada posisi seperti itu.

Setelah itu, para aktivis PKI yang tidak dibunuh lalu ditahan dan sebagian dibuang ke Pulau Buru. Keturunan mereka dikucilkan dan diperlakukan secara diskriminatif sehingga mereka kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Keturunan aktivis PKI dan underbouw-nya itu tidak bersalah, dan tidak harus menanggung akibat dari kesalahan atau dosa yang dilakukan orang tua mereka.

Tiga puluh tahun telah berlalu dan muncullah generasi baru di dalam masyarakat --termasuk di lingkungan NU-- yang kritis dan punya kepekaan serta kepedulian terhadap nasib tragis para korban dan keluarganya. Mereka mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi pada 1965. Sumber informasi mereka adalah hasil kajian para ilmuwan luar negeri.

Keinginan itu dipicu setelah mereka melihat praktik kekerasan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil yang tidak bersalah, yang terjadi di banyak tempat di Tanah Air kita. Seperti di Aceh, Papua, Lampung, Madura, dan lain-lain, yang memakan banyak korban nyawa dan menjatuhkan martabat warga. Mereka juga tidak mungkin melupakan tindakan represif pemerintah terhadap (Partai) NU dan partai lain dalam Pemilu 1971 dan 1977.

Kalangan muda NU merasa punya kewajiban moral untuk menyantuni dan menumbuhkan rasa percaya diri di dalam kalangan keluarga mantan tapol. Mereka juga mencoba meyakinkan masyarakat --termasuk warga NU-- untuk menerima kembali keluarga mantan tapol yang sudah puluhan tahun dikucilkan dan dizalimi seperti kaum paria. Mereka tergabung dalam jaringan Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat), yang bertujuan untuk mewujudkan rekonsiliasi kultural.

Syarikat mencoba mempertemukan warga NU dengan keluarga mantan tapol, supaya mereka bisa berdialog dan selanjutnya bisa mencairkan kebekuan dan menghilangkan kecurigaan yang ada. Sebelum mereka sampai pada tahap seperti sekarang, para aktivis itu memulai langkah dengan bertandang dari pintu ke pintu untuk mendengarkan `'pengalaman'' dan `'yang teringat'' serta menunjukkan empati. Mereka menyelenggarakan dialog di mana para ''pelaku'' (walaupun tidak langsung) dan menceritakan apa yang dialami dan apa yang masih diingat.

Mereka ingin mendorong negara dan institusi sosial untuk menciptakan ruang rekonsiliasi antara pelaku dan korban untuk saling memaafkan masa lalu. Kemudian membangun janji bersama untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama pada masa mendatang. Mereka mengharapkan upaya saling memaafkan tersebut bisa diprakarsai dan difasilitasi oleh ormas seperti NU dan Muhammadiyah.

Mereka mencari dasar-dasar pemikiran dari ajaran Islam, yang mengacu kepada ketentuan Alquran dan Hadits. Di dalam sejarah Islam (tentu dalam konteks di zaman Rasulullah) ada perintah membunuh orang kafir (hanya pada kasus tertentu). Menurut Syarikat, perintah agama itu tidak tepat diterapkan pada Peristiwa 1965. Dalam Surah Alma'idah ayat (32) dinyatakan:''Siapa yang membunuh satu orang tanpa alasan yang benar, seolah-olah dia membunuh semua orang di seluruh dunia''.

Kedua ayat itu kurang tepat diterapkan dalam konteks Peristiwa 1965. Pembunuhan terhadap warga (yang dianggap) PKI, bukan karena mereka tidak percaya kepada Allah SWT, tetapi karena situasi perang memberi dua pilihan, membunuh dan dibunuh.

Keturunan (mantan) tapol harus memikul akibat dari perbuatan orang tua mereka. Selama puluhan tahun mereka terpaksa menderita perlakuan tidak manusiawi, kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Mereka tidak bisa menjadi pegawai negeri, polisi, atau tentara.

Perlakuan tersebut tidak sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Alnajm ayat (38-39) dan Alfathir ayat (18) yang berbunyi: ''Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosa itu, tiadalah akan dipikulnya untuknya sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya''.

Warisan dosa
Dalam pandangan Islam, setiap manusia yang lahir ke bumi pasti dalam keadaan fitrah atau suci seperti kertas putih. Ajaran Islam tidak mengenal warisan dosa.

Kita, bangsa Indonesia, telah lama memberi perlakuan tidak adil kepada banyak warga negara. Seperti warga di Aceh, Papua, termasuk juga warga keturunan aktivis PKI dan underbouw-nya. Padahal ajaran semua agama sangat menekankan keadilan. Surah Alma'idah ayat (8) menyatakan: ''Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan kebenaran Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

Tentu kita paham bahwa tidak mudah melakukan upaya mendorong terwujudnya rekonsiliasi kultural. Penolakan dari pihak di luar korban cukup kuat. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang muncullah arus yang kuat untuk menyelesaikan persoalan bangsa dengan rekonsiliasi nasional, seperti yang dilakukan di Afrika Selatan. Undang-undang (UU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diundangkan pada September 2004, walaupun banyak kritik tajam terhadap UU itu. Kini sejumlah pihak mengajukan judicial review terhadap UU itu.

Panitia Seleksi Anggota KKR telah menyerahkan 42 calon untuk dipilih 21 orang oleh Presiden dan diajukan ke DPR untuk disetujui. Kita harap Presiden segera memilih 21 nama itu, karena kebutuhan terhadap adanya KKR sudah mendesak, walaupun masih banyak kekurangan di dalam UU-nya.

Tampaknya tidak mudah untuk membuka hati sebagian tokoh Islam supaya bersedia melakukan rekonsiliasi kultural dengan keluarga mantan tapol 1965. Padahal di dalam ajaran Islam banyak sekali perintah untuk melakukannya. Mereka masih belum lupa akan kekejaman warga PKI tahun 1948 dan 1965. Di dalam Alquran perintah untuk meminta maaf dan memaafkan banyak kita dapati. Meminta maaf oleh Alquran dipandang sebagai sikap terpuji. Tetapi tampaknya meminta maaf tidak mudah dilakukan. Diperlukan jiwa besar untuk bisa mengakui secara terbuka kesalahan yang diperbuat di masa lalu, oleh kedua pihak.

Di samping perintah untuk meminta maaf, Alquran juga memerintahkan agar kita mau memaafkan kesalahan orang lain terhadap kita. Tetapi, seperti meminta maaf, tindakan memberi maaf bukan perkara sepele yang dapat dikerjakan oleh setiap orang, terutama bagi mereka yang mengalami sendiri pahitnya ketidakadilan, penghinaan, dan penganiayaan. Bahkan mungkin memaafkan terasa lebih berat dari pada meminta maaf.

Karena itu, menurut Alquran, ''memaafkan'' adalah ciri orang-orang yang bertakwa. Surah Ali Imron ayat (133-134) menyatakan:''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang yang menafkahkan hartanya baik yang di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mamaafkan (kesalahan) orang lain''. Selain rasa kemanusiaan dan keberagaman, rasa kebangsaan kita juga harus mendorong upaya rekonsiliasi nasional termasuk dengan mantan tapol 1965 dan keluarganya. Kalau bangsa Indonesia ingin maju dan menjadi bangsa besar, semua komponen bangsa harus terlibat secara penuh untuk berjuang ke arah kemajuan.

Semua anak bangsa berhak memperoleh hak-hak dasar mereka tanpa melihat latar belakang mereka (agama, suku, dan sikap politik). Saat ini muncul diskriminasi baru yaitu perbedaan perlakuan terhadap orang miskin. Mereka tidak bisa bersekolah dan mendapat pelayanan kesehatan (hak dasar) karena tidak punya uang. Fakta ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Semua kekuatan bangsa harus melakukan rekonsiliasi dan bekerjasama menghadapi musuh. Musuh kita adalah kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan, dan ketidakadilan. Dan juga pihak atau orang yang menyebabkan musuh kita itu tetap ada (eksis) di tengah kehidupan bangsa kita, yaitu para koruptor, penyelundup, penjarah kekayaan negeri ini, dan pendukungnya.
 
 
dari 29 September 2005,Kebangsaan, Koran Republika

Comments

Popular posts from this blog

prediksi bencana alam

Best Free Software

not about us