Kesempatan dalam Kesempitan:
Kesempatan dalam Kesempitan:
Beberapa catatan awal untuk mengusik impunitas
yang telah terlembaga di Indonesia
[S]aya dibon. Pemeriksaannya …dilakukan pada malam hari sekitar jam 11, jam 12. Saya dibawa entah ke mana. Saya meronta-ronta sampai kaca pecah. Dia mau mengeluarkan pistol, saya kena pistol dan berdarah sampai tidak sadarkan diri … Kedua dan ketiga kalinya begitu terus … Hari keempat, di situ sudah tidak ada pemuda, tapi datang lagi lima atau tujuh pemuda. Saat itu ada Mas D dan jaksanya. Saya ditelanjangi dan dicari cap palu-aritnya. “Ini dari Jakarta, pasti ada palu-aritnya.” Saya tidak mau ditelanjangi, tapi saya tidak bisa bertahan melawan segerombolan pemuda untuk ditelanjangi dan dipermainkan di situ …, Saya diberikan pakaian yang sudah compang-camping… lalu disetrum …Hari ketiga, keempat dan kelima begitu seterusnya.
Penganiayaan tidak bisa kami terima, korban konflik tidak bisa kami lupakan karena dibunuh didepan mata. Kalau tsunami kami bisa terima karena itu dari Allah tapi ini… didepan mata ditembak. Makanya sampai kiamatpun kami masih ingat.
Latar Belakang
Sepuluh tahun sesudah reformasi berbagai agenda demokratisasi masih menjadi tunggakan dalam proses transformasi ke depan. Salah-satu tunggakan yang sangat mengganjal berkaitan dengan pertanggungjawaban untuk kejahatan-kejahatan berat yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh rejim Suharto. Kejahatan berat (serious crimes) yang terjadi di masa lalu tidak dapat dihapuskan dari benak para korban, dan terus menjadi tunggakan yang akan membebani bangsa Indonesia. Pada dasarnya, kejahatan berat adalah kejahatan yang menjadi musuh seluruh umat manusia, dimana kerugian tidak hanya dirasakan oleh para korban yang terkena dampak langsung dari kejahatan, tetapi juga mengancam perdamaian dunia, seperti yang tertera dalam Piagam PBB.
Satu dekade perjalanan reformasi kita harus mengakui yang kemenangan masih ada pada penyangkalan terhadap kejahatan, penelantaran terhadap korban, dan impunitas bagi pelaku. Nampak berbagai institusi maupun individu dengan rekam jejak yang jelas dalam pelaksanaan rejim otoriter masih menjadi ‘pemain’ penting pada saat sekarang. Diatas kertas ada berbagai kemajuan dalam perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia, termasuk dibentuknya sebuah ‘Pengadilan HAM’ (yang namanya agak membingungkan karena pengadilan tersebut hanya mempunyai jurisdiksi atas dua kejahatan berat –genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan), belum dapat menghasilkan satupun putusan bersalah yang dapat bertahan di tingkat banding. Sebuah Komisi Kebenaran, yang dimandatkan oleh TAP MPR dan dibentuk berdasarkan undang-undang, akhirnya, karena alasan politik maupun hukum, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2006. Mungkin pada saat ini kita patut bertanya, ‘Apakah sebuah analisa keadilan transisi dapat membantu membuka diskusi kembali untuk melihat kesempatan dalam kesempitan konteks kita sekarang?’
Kerangka Keadilan Transisi
Sebuah kerangka keadilian transisi berasumsi bahwa untuk membangun masa depan yang lebih demokratis, maka hutang lama tentang pelanggaran HAM dalam skala massif di masa lalu harus “dibayar.” Pendeknya, pelajaran dari sejarah yang pahit dimasa lalu harus diambil, karena penyangkalan memperbesar kemungkinan terulangnya pelanggaran tersebut. Pendekatan keadilan transisi biasanya menawarkan sebuah pendekatan yang holistik, yang menggunakan strategi dan mekanisme yang beragam, dan dibangun berdasarkan konteks setempat dapat membantu kita untuk maju selangkah dari masa lalu yang kelam. Secara sederhana, pendekatan keadilan transisi dapat digambarkan meliputi empat mekanisme, yang saling berhubungan. Dalam membahas mekanisme keadilan transisi biasanya juga dipikirkan persoalan peng-urutan (sequencing) karena pilihan-pilihan yang ada berkaitan dengan konteks transisi yang spesifik. Skema yang sederhana dapat digambarkan sbb:
Pengungkapan Kebenaran | Mengadili Pelaku Yang Paling Bertanggungjawab |
Reformasi Kelembagaan | Reparasi bagi Korban |
- Pengungkapan Kebenaran
Yang termasuk dalam prakarsa pengungkapan kebenaran untuk menentukan jenis dan luasnya pelanggaran-pelanggaran di masa lalu, termasuk: penyelenggaraan sebuah komisi kebenaran; penelitian sejarah dan arsip-arsip; penyusunan dan dokumentasi dari kesaksian atau sejarah lisan korban; perhimpunan bukti fisik mengenai pelanggaran, termasuk pencarian dan penggalian kembali kuburan massal. Pengungkapan kebenaran biasanya dilakukan oleh mekanisme resmi yang didirikan oleh undang-undang. Namun, dalam beberapa konteks dimana negara belum dapat mengakui kejahatan masa lalu, maka masyarakat sipil telah mengambil alih pekerjaan ini untuk menghadirkan kebenaran pada publik lewat proses alternatif non-resmi.
- Mengadili pelaku
Penuntutan terhadap pelaku-pelaku kejahatan berat dapat, pada dasarnya, dapat menggunakan dua kemungkinan: perangkat pengadilan domestik, atau apabila ini tidak dapat berjalan, maka dapat dilakukan upaya ‘internasionalisasi’ pengadilan dengan misalnya, membentuk pengadilan hibrida, pengadilan adhoc internasional (seperti halnya ICTY dan ICTR), membawa kasus ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC)—bagi negara yang telah meratifikasi, ataupun menggunakan pengadilan nasional di negara lain yang menggunakan “jurisdiksi universal.” Dalam konteks dimana terjadi kejahatan dalam skala massif, maka dapat diprioritaskan pengadilan untuk orang yang “paling bertanggungjawab atas kejahatan yang paling berat.”
- Reparasi
Reparasi bagi para korban kejahatan berat diwajibkan berdasarkan hukum internasional. Bentuk-bentuk reparasi termasuk: memberi kompensasi kepada korban atas kesakitannya dan penderitaannya: melakukan restitusi yaitu sebisa mungkin mengembalikan korban pada kondisinya sebelum terjadi pelanggaran (misalnya, mengembalikan hak korban untuk berpartisipasi dalam proses politik/ pemilu, mengembalikan tanah/rumah yang telah diambil atau dirusakkan, mengembalikan/ memulihkan hak-hak korban sebagai warganegara); memberi rehabilitasi terhadap luka dan kesakitan yang diderita (menjamin akses korban pada pelayanan—misalnya pelayanan kesehatan atau pendidikan); dan memenuhi hak atas kepuasaan korban dengan cara memberi penghargaan simbolis terhadap korban, pengakuan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dialami, pengungkapan kebenaran, membuat hari-hari peringatan untuk memelihara dan menghormati ingatan akan pelanggaran masa lalu, atau pernyataan maaf yang resmi oleh negara, dan upaya mencari/ mengakui orang-orang yang hilang.
- Reformasi Institusi
Reformasi institusi bertujuan membangun kembali kepercayaan di antara masyarakat dan struktur kekuasaan sambil mencegah terulangnya pelanggaran serupa pada masa depan dengan cara: mengidentifikasikan dan memperbaiki lembaga-lembaga yang terlibat kezaliman masa lalu; memecat dari lembaga-lembaga publik para aparat yang melakukan pelanggaran (vetting); mengambil langkah yang menjamin bahwa lembaga-lembaga publik tidak mempekerjakan individu-individu yang terlibat dalam pelanggaran; dan menciptakan perangkat hukum untuk mengontrol lembaga-lembaga tersebut bersama pimpinannya.
Sekilas Potret ‘Keadilan Transisi di Indonesia’
Potret keadilan transisi di Indonesia menghasilkan sebuah gambar yang kompleks, dimana ada kemajuan pada awal proses reformasi, namun di tingkat nasional sedikit demi sedikit peluang pertanggungjawaban untuk kejahatan masa lalu semakin melemah.
Kebenaran | Pengadilan |
|
|
Reparasi | Reformasi Institusi |
|
|
Upaya Mengusik/ Memecah Impunitas
Sepuluh tahun sejak momentum reformasi, hutang bangsa Indonesia terhadap korban pelanggaran berat semakin menumpuk. Perlu dipikirkan cara-cara untuk memecah impunitas dengan pendekatan yang kreatif, dengan menggunakan beragam strategi dan pada tingkatan nasional maupun lokal.
- Mencari dan Mendorong Celah-celah Kebenaran
Dalam konteks kebuntuan sekarang, perlu dipikirkan pendekatan yang majemuk untuk terus mendorong pengungkapan kebenaran tentang kejahatan masa lalu. Upaya-upaya ini tetap perlu didorong baik di tingkat nasional maupun lokal, lewat proses yang dibuat oleh negara maupun oleh masyarakat sipil, dengan mekanisme khusus (seperti KKR) maupun mekanisme-mekanisme yang sudah ada. Pada saat ini, Ditjen HAM telah mulai menggagas sebuah naskah akademik (dan RUU) untuk menggantikan UU 27/2004 tentang pembentukkan sebuah KKR, yang telah dibatalkan oleh putusan MK. Pada prinsipnya, masyarakat sipil menyambut baik inisiatif ini, dan telah juga memberikan pandangannya tentang perbaikan konsep tersebut.
Tetapi sebuah pendekatan majemuk berarti kita tidak hanya berharap bahwa akan dibentuk sebuah KKR nasional yang kredibel. Kita juga harus bekerja secara proaktif untuk menggunakan mekanisme yang ada. Misalnya, apa peran yang dapat dimainkan Komnas HAM untuk mendorong pengungkapan kebenaran, misalnya di Aceh dan Papua? Apakah mekanisme penyelidikan yang selama ini dilakukan oleh Komnas HAM yang dapat dibuat semakin ‘partisipatif’ dengan tujuan akhir mendidik publik tentang kejahatan masa lalu dan hubungannya dengan pelanggaran yang masih berjalan pada saat ini.
Sementara, upaya pengungkapan kebenaran di tingkat lokal, seperti yang telah dibentuk dibawah UUPA di Aceh, dan UU Otsus di Papua, tetap harus didorong. Proses perdamaian ataupun transisi dari pendekatan keamanan ke pemerintahan demokratis hanya dapat bertahan apabila ada pengakuan dan pertobatan terhadap kejahatan di masa lalu. Sehingga baik pemerintah maupun masyarakat sipil perlu menjamin bahwa mekanisme lokal pengungkapan kebenaran, yang telah dijanjikan oleh undang-undang, dapat berjalan dengan proses yang kredibel, berpusat pada korban, dan sesuai prinsip-prinsip HAM yang telah menjadi kewajiban Indonesia. Pada saat yang sama, masyarakat sipil perlu memikirkan skenario A, B, dan C [A: ada KKR resmi yang berjalan baik, B: ada KKR resmi tapi melanggar prinsip HAM; C: tidak ada KKR resmi] dan membuat strategi tentang proses pendidikan masyarakat tentang kejahatan berat di masa lalu.
- Mengadili Pelaku yang Paling Bertanggungjawab atas Kejahatan yang Paling Berat
Dalam sepuluh tahun terakhir, salah-satu terobosan yang luar biasa di Indonesia adalah upaya kita untuk mengadili para pelaku kejahatan berat. Namun, seperti yang sudah diungkapkan diatas, produk hukum [UU 26/2000] mencerminkan niat baik yang belum dapat dicapai oleh aparat pengadilan dan penegak hukum. Komnas HAM telah mengumpulkan berbagai masukan untuk revisi UU 26/2000, saya pikir setidaknya ada empat agenda pokok untuk perubahan yang mendasar:
- Menambahkan kejahatan perang dan penyiksaan dalam jurisdiksi Pengadilan HAM
- Memastikan adanya hukum acara yang khusus untuk kejahatan berat, khususnya yang berkaitan dengan pembuktian kejahatan seksual.
- Menyelesaikan perdebatan tentang pembentukkan Pengadilan HAM Adhoc untuk kejahatan masa lalu dengan sebuah pengakuan bahwa Indonesia telah mempunyai kewajiban hukum untuk mengadili pelaku kejahatan perang sejak Indonesia menanda-tangani Konvensi-konvensi Jenewa. Sehingga hukum humaniter berlaku dalam penanganan berbagai konflik di Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban masyarakat sipil.
- Memastikan proses pendidikan dan peningkatan kapasitas bagi aparat pengadilan untuk memperkuat pemahaman tentang hukum pidana internasional.
Pada saat pengadilan domestik tidak mau dan tidak mampu memberi keadilan untuk kejahatan berat, maka perlu dipikirkan juga bagaimana memanfaatkan jurisdiksi universal. Misalnya seperti yang sedang dilakukan untuk kasus Mobil Exxon (Aceh) di pengadilan di distrik Washington DC, Amerika Serikat. Sebelas orang korban menuntut Mobil Exxon dengan menggunakan alien torts court. Sesudah proses pengadilan selama 8 tahun, pengadilan baru saja memutuskan bahwa mereka mempunyai jurisdiksi untuk mendengar kasus ini. Pihak korban menyodorkan bukti-bukti bahwa Mobil Exxon memberi dukungan dana pada TNI untuk menjaga keamanan di sekitar PT. Arun, yang mengakibatkan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan. Sidang akan digelar sekitar bulan September ini.
- Reformasi Institusi
Tanpa pengakuan resmi terhadap kejahatan masa lalu, lebih sulit untuk mengupayakan reformasi institusi. Tetapi tetap perlu dikaji peluang-peluang untuk mengagendakan hal ini. Contoh dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dimana proses pengungkapan kebenaran yang problematis diharapkan bisa menghasilkan temuan tentang tanggungjawab institusi dan rekomendasi kedepannya harus terus disimak dan dikawal. Mungkin ada kemungkinan untuk melakukan proses serupa di tingkat lokal, atau pada sektor tertentu (industri ekstraktif misalnya?)
- Menggagas Kebijakan Reparasi untuk Korban Kejahatan Berat
Hak-hak korban untuk mendapatkan reparasi disebutkan dalam UU 26/2000, Pasal 35 (1), “Semua korban pelanggaran hak asasi manusia dan ahli warisnya harus menerima kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.” Namun, disyaratkan bahwa pengadilan harus membuat putusan berkaitan dengan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun ada berbagai hambatan untuk mendapatkan reparasi melalui Pengadilan HAM Ada berbagai hambatan untuk mendapatkan reparasi melalui proses pengadilan HAM. Pertama, pelaku harus dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida. Sebelumnya, harus ada dukungan dari Presiden dan DPR untuk membentuk pengadilan adhoc untuk kasus-kasus kejahaan yang terjadi sebelum tahun 2000. Ketiga, jaksa harus membuat permohonan untuk reparasi untuk korban sebagai bagian dari tuntutannya, meskipun sampai dengan sekarang belum ada preseden dalam hal ini. Apabila pelaku dinyatakan bersalah, maka ia harus membayar “restitusi” [sic]. Apabila pelaku tidak membayar restitusi ini, maka korban harus melaporakannya pada Jaksa Agung yang kemudian akan meminta Departemen Keuangan untuk membayar kompensasi.
Bagi korban perkosaan, misalnya, hambatan pertama tidak mungkin dapat diterobos. Pengadilan HAM menggunakan hukum acara yang sama dengan kejahatan biasa [KUHAP]. Dalam hal membuktikan perkosaan, maka seorang perempuan harus mempunyai 2 orang saksi, ditambah sebuah visum et repertum –surat pemeriksaan dari dokter yang berdasarkan surat dari polisi 24 jam sesudah kejahatan tersebut terjadi. Tentunya, tak akan ada satupun kasus perkosaan yang terjadi pada tahun 1965, di daerah konflik manapun, yang dapat memenuhi persyaratan ini, sehingga tidak mungkin diadili di Pengadilan HAM.
Pada 13 Maret 2002, pemerintah Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah No.3 Thn. 2002 mengenai Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban-korban Pelanggaran HAM Berat. Namun di dalam Peraturan tersebut terdapat penafsiran yang membingungkan mengenai norma-norma internasional berkaitan reparasi. Peraturan 3/2002 masih mencerminkan penyangkalan terhadap pertanggungjawaban negara terhadap kerugian yang dialami korban. Menurut peraturan tersebut “kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya” (Pasal 1 (4)) sedangkan “restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau biaya sebagai kompensasi terhadap tindakan tertentu” (Pasal 1, (5)). Dengan demikian, menurut peraturan ini tanggung jawab negara hanya bersifat sekunder dan ganti kerugian hanya diberikan apabila telah ditentukan oleh Pengadilan HAM. Dalam kenyataannya, belum ada satu orang korbanpun yang dapat mengakses rehabilitasi, restitusi dan kompensasi yang dikumandangkan dalam peraturan ini.
Sementara itu, Undang-undang Perlindungan Saksi Korban kini telah disahkan oleh DPR dimana segera akan dibentuk sebuah lembaga perlindungan korban, yang melapor langsung pada Presiden. Lembaga ini akan menjamin segala kepenting perlindungan saksi dan korban kejahatan (pendampingan hukum, keamanan, informasi dll). Pasal 6 dan 7 secara khusus menyebutkan hak reparasi untuk korban pelanggaran HAM berat:
Pasal 6
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal5, juga berhak untuk mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Pasal 7
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Undang-undang ini dapat saja menjadi sebuah hambatan lagi bagi korban karena ketidak-pastian proses pengajuan reparasi dan ketentuan bahwa reparasi hanya bisa didapatkan melalui pengadilan. Lembaga ini belum berdiri sampai dengan sekarang, walaupun DPR baru saja menyelesaikan proses seleksi calon anggota.
Dengan sistim pengadilan yang begitu lemah di Indonesia, reparasi berdasarkan proses pengadilan menghadirkan banyak hambatan bagi ribuan korban, yang kebanyakan telah semakin tua dan rentan. Sebuah laporan dari Komnas Perempuan telah membuat temuan bahwa perempuan telah menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender dalam peristiwa 1965, dan membuat rekomendasi untuk sebuah program reparasi nasional bagi korban. Oleh karena itu penting untuk mengeksplorasi kemungkinan menggagas dan mengadvokasi sebuah program reparasi nasional berdasarkan kebijakan, dan bukan berdasarkan proses pengadilan, seperti halnya telah diterapkan di Aceh.
“Reparasi” di Aceh sebagai pembelajaran kebijakan reparasi di Indonesia
Perjanjian Helsinki MoU, yang difasilitasi oleh masyarakat internasional pada tahun 2005, menjamin semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial mantan kombatan dan tahanan politik, dengan tekanan pada hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara bebas dalm proses politik di Aceh. Reintegrasi difokuskan pada pemulihan ekonomi, khususnya dibuat kesepakatan untuk memberi tanah pertanian, pekerjaan bagi mantan kombatan, tahanan politik, “rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian” serta jaminan sosial bagi mereka yang tidak dapat bekerja. Sebuah lembaga untuk mengelola dana reintegrasi dibentuk dibawah pemerintahan Aceh. “Reparasi” untuk masyarakat sipil yang terkena dampak konflik dimasukkan kedalam program reintegrasi secara umum. Namun perlu ditegaskan bahwa MoU Helsinki tidak menggunakan kata-kata “korban” dan tidak menyebutkan kebutuhan khusus kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak.
Sebagaimana dimandatkan dalam MoU Helsinki, skema reintegrasi juga memberi dukungan, yang dapat dilihat sebagai sebuah bentuk reparasi mendesak, kepada korban konflik. Sesudah membatalkan sebuah program dimana BRA menerima lebih dari 45,000 proposal dari korban dan masyarakat, BRA bermitra dengan Bank Dunia untuk merancang dan melaksanakan sebuah program yang bertujuan memberi dukungan pada orang-orang yang terkena dampak konflik. Program ini dikelola dibawah sebuah program nasional Bank Dunia yaitu Program Pengembangan Kecamatan [PPK] yang menggunakan tenaga fasilitator lokal untuk memfasilitasi diskusi di tingkat desa untuk memutuskan bersama apa program-program pembangunan yang akan didukung oleh pemerintah kecamatan. Penerima manfaat dari program ini dapat ditargetkan pada perorangan, kelompok atau di tingkat desa. BRA menyalurkan dana sebesar US $26.5 million untuk tahap pertama, yang selesai pada bulan Juni 2007, meliputi 1724 desa. Tiap desa menerima dana sebesar Rp 60-170 juta tergantung pada intensitas konflik di masa lalu dan jumlah penduduk. Menurut laporan Bank Dunia, dalam tahap pertama ini 85% dana BRA-KDP digunakan untuk program-program ekonomi, seperti pembelian bibit dan ternak, dan 17% untuk pembangunan infrastruktur desa.
BRA juga mengelola sebuh program diyat: sebuah bentuk kompensasi dari tradisi Islam yang dibayarkan pada ahli waris orang yang telah dibunuh atau dihilangkan. Dalam skema ini, yang telah dimulai oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2002, keluarga korban menerima dana tahunan, berkisar Rp 2-4 juta, yang ditransfer ke rekening bank. Prosedur mendaftar untuk menerima diyat berbeda-beda tergantung lokasi, namun sering melibatkan aparat keamanan dan pemerintahan lokal dalam memutuskan siapa yang akan menerima dana diyat. Kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan telah mengakibatkan banyaknya kritik tentang prosedur untuk mendapatkan diyat.
Program reparasi administratif ini (maksudnya reparasi diberikan berdasarkan kebijakan dan bukan putusan pengadilan) dapat dikatakan adalah untuk pertama kalinya di Indonesia, dan menunjukan keunikan situasi yang terbentuk dikarenakan bencana tsunami, serta tanggapan pemerintah Indonesia, petinggi GAM dan masyarakat internasional dalam membangun kesepakatan perdamaian di Aceh. Namun masih terdapat berbagai persoalan dengan pelaksanaan sebuah program reparasi pada saat kebenaran tentang pelanggaran masa lalu belum diakui secari resmi. [Pembentukan sebuah KKR dan Pengadilan HAM untuk Aceh, seperti dimandatkan dalam perjanjian perdamaian dan UUP masih belum dilaksanakan.] Para korban telah menyatakan berbagai persoalan yang mereka hadapi karena pemberian dana kompensasi belum transparan, dan tidak ada pengakuan terhadap pelanggaran yang mereka alami. Pada saat ini korban kekerasan seksual tidak masuk kriteria untuk mendapatkan kompensasi.
Kerangka HAM untuk Reparasi Korban Pelanggaran HAM Berat
Selain kewajiban dalam hukum nasional, hukum internasional jelas-jelas menyatakan bahwa apabila pelanggaran berat telah dilakukan, maka reparasi menjadi hak korban yang harus dipenuhi. Prinsip ini tetap berlaku tanpa melihat apakah pelanggaran tersebut dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, atau oleh negara terhadap seorang individu (termasuk warga negara sendirinya). Juga, bahwasanya kewajiban untuk memberi reparasi kepada korban diwariskan kepada pemerintah pengganti. Di dalam hukum internasional telah diakui definisi luas tentang “reparasi” yang tidak hanya menyangkut kompensasi moneter. Reparasi dimengerti sebagai perbaikan yang wajib diberikan kepada korban karena kerugian yang dialaminya. Ini dapat termasuk kompensasi (untuk kerugian ekonomi) tetapi juga dapat termasuk jenis reparasi lainnya, seperti:
- rehabilitasi yaitu pelayanan medis, psikologi, hukum atau sosial;
- “kepuasan” yaitu sejumlah tindakan, antara lain, pengungkapan kebenaran, menemukan orang hilang, mendapatkan dan menguburkan kembali jenazah, permintaan maaf, peringatan dan monumen serta langkah-langkah untuk mencegah pelanggaran di masa depan;
- restitusi yaitu, pengembalian kondisi korban pada situasi sebelum pelanggaran (termasuk memulihkan hak-hak dasar, identitas, pekerjaan, kewarganegaraan dan mengembalikan harta-benda);
- jaminan bahwa pelanggaran masa lalu tidak akan terulang: termasuk reformasi kelembagaan dan penguatan perlindungan hak asasi manusia.
Walaupun semua reparasi tersebut di atas adalah penting, beberapa bentuk reparasi dapat diprioritaskan untuk konteks Indonesia pada saat ini: yakni program rehabilitasi dan kepuasan, bagi korban-korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Hukum internasional juga mulai menetapkan pengertian tentang bagaimana caranya untuk menangani reparasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada skala massal, seperti yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Mengenai hal ini, PBB mempunyai Prinsip-prinsip untuk Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia lewat Tindakan Melawan Impunitas yang telah dibarui, yaitu sebagai berikut:
Reparasi juga dapat diberikan lewat program-program, yang didasarkan tindakan legislatif atau administratif, yang didanai oleh sumber nasional atau internasional, yang diarahkan pada individu maupun komunitas. Korban dan sektor lainnya dari masyarakat sipil harus menjalakan peranan yang berarti dalam perancangan dan pelaksanaan program tersebut…
Pembentukan program reparasi nasional di Indonesia bagi pelanggaran HAM berat akan memenuhi kewajiban Indonesia berdasarkan hukum internasional.
Beberapa Ide Awal untuk Program Reparasi Nasional
Dalam situasi impunitas yang melembaga, maka penting untuk upaya menggagas sebuah program reparasi nasional. Memang harus diakui bahwa sudah banyak kegiatan yang dilakukan bersama korban, dan oleh organisasi korban, yang mempunyai nilai pemulihan dan reparatif. Namun disadari bahwa upaya ini harus ditingkatkan, dan dikhususkan, karena kebutuhan korban pelanggaran HAM yang begitu mendesak, jumlah korban yang begitu besar, dan diskriminasi yang berkepanjangan dan bergenerasi.
- Dari Reparasi Mendesak Menuju Kebenaran: Mengupayakan reparasi pada saat masih ada penyangkalan negara terhadap kejahatan masa lalu merupakan sebuah kontradiksi. Namun karena situasi korban yang semakin memprihatinkan, terobosan ini patut diambil. Sebuah kebijakan tentang reparasi harus diadvokasikan di tingkat nasional dan lokal. Pada saat yang sama, program reparasi yang dibangung sepatutnya mengintegrasikan pendekatan pengungkapan kebenaran, sehingga pengakuan dan rehabilitasi terhadap korban didasari pengakuan terhadap pelanggaran yang dialami korban, atau keluarga dekatnya.
- Sistim Rujukan dan Case Management: Ini seharusnya menjadi tulang-punggung dari program pemulihan korban, dimana sebuah unit pelayanan korban membangun hubungan dengan berbagai pemberi layanan (kesehatan, hukum, pendidikan, dll.) agar dapat menghadirkan layanan tersebut bagi orang yang membutuhkan (korban). Unit ini harus secara pro-aktif melakukan advokasi pada lembaga-lembaga pelayanan (baik pemerintah, maupun non-pemerintah) sehingga korban mendapatkan ‘pintu khusus’ untuk mengakses pelayanan. Kekhususan ini adalah bagian dari pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat yang telah mereka derita di masa lalu. Untuk menjalankan program ini maka dibutuhkan tenaga-tenaga professional yang melakukan case management, artinya melakukan pendampingan jangka-panjang pada seseorang, dan membantu orang tersebut untuk mendapatkan pelayanan, informasi dan dukungan yang diperlukan. Para pendamping harus mendapatkan supervisi untuk menjamin kwalitas dukungan yang diberikan pada korban.
- Lokakarya Pemulihan: Perlu dikembangkan sebuah proses pemulihan kolektif, dengan menggunakan metode pendidikan orang dewasa, konseling sebaya, dan teater/bermain peran untuk membangun ruang yang aman bagi korban berbagi rasa, dan saling mendukung. Modul ini dapat dikembangkan dan kemudian dijadikan sebuah kegiatan yang dapat disebarkan diberbagai wilyah, dapat dilakukan oleh fasilitator dari komunitas NGO maupun dari komunitas korban sendiri. Salah-satu hasil dari lokakarya ini adalah kemungkinan muncuknya inisiatif-inisiatif di tingkat korban untuk perbaikan di tingkat lokal.
- Dana Dukungan Mendesak: Dikelola secara terpisah, perlu dipikirkan sebuah sumber dukungan dana untuk situasi/ kebutuhan mendesak yang dapat sekali-sekali diakses oleh korban. Sebuah kriteria dan mekanisme aplikasi dan pengambilan keputusan harus dibangun, sekaligus batasan berapa kali seorang korban dapat mengakses dana tersebut (juga dimungkinkan pengecualian, misalnya bagi korban yang sudah sangat tua dan sakit-sakitan). Upaya pembelajaran disini penting apabila kemungkinan kompensasi moneter juga akan dipertimbangkan untuk sebuah program reparasi nasional nantinya.
- Peningkatan Ketrampilan untuk Peningkatan Nafkah: Salah-satu layanan yang harus dipikirkan adalah bagaimana korban dan keluarga korban dapat mengakses program-program peningkatan ketrampilan untuk pencarian nafkah (livelihood skills) dan akses pada dana-dana benih untuk kegiatan ekonomi. Inisiatif ini sepatutnya melibatkan organisasi-organisasi yang telah lama menjalankan program pemberdayaan masyarakat (bukan NGO advokasi HAM) dimana juga dibuat sebuah analisa kelayakan untuk kegiatan ekonomi/ ketrampilan baru yang akan dirintis/ atau diperkuat oleh seorang korban/ kelompok korban.
- Pelayanan Khusus bagi Korban Perempuan: Perlu dipikirkan inisiatif khusus untuk memahami persoalan-persoalan khusus yang dialami korban perempuan, baik yang disebabkan oleh pelanggaran yang spesifik ditargetkan pada perempuan, maupun diskriminasi masyarakat terhadap korban perempuan, dan kesulitan korban perempuan untuk mengakses layanan dan dukungan yang dibutuhkan.
- Pengumpulan Data tentang Kebutuhan dan Situasi Korban: Yang terakhir, inisiatif ini perlu menjadi proses pembelajaran untuk mendesain dan mengadvokasi program reparasi nasional.
Penutup
Karena persoalan impunitas yang telah terlembaga, maka para pemerhati HAM, baik yang bekerja di lembaga negara maupun masyarakat sipil, perlu menggagas pendekatan yang kreatif, multi-strategi dan di berbagai tingkatan. Sebuah kerangka keadilan transisi dapat membantu kita untuk membangun pendekatan yang lebih holistik, dan mengatasi kemacetan pada saat satu upaya (pengadilan) telah menjadi jalan buntu. Hutang bangsa pada korban kejahatan berat terus menumpuk, dan tidak terhapus dengan waktu. Sudah waktunya kita sebagai sebuah bangsa dapat bangga akan berbagai capaian yang sudah kita hasilkan, sekaligus mengakui kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan di masa lalu, demi membangun masa depan yang bebas dari kekerasan bagi seluruh bangsa.
Catatan pendek ini dibuat untuk Lokakarya Nasional “ 10 Tahun Reformasi: Quo Vadis Penegakkan dan Pemajuan HAM di Indonesia” oleh KomnasHAM yang diadakan di Jakarta, 8-11 Juni 2008. Penulis adalah Senior Associate ICTJ (International Center for Transitional Justice) untuk program Indonesia dan Timor-Leste.
Kesaksian korban yang memberi kesaksian pada audiensi di Komnas Perempuan, Mei 2006. Laporan Komnas Perempuan “Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965,” (2007) hal. 63.
Korban perempuan, 33 tahun, FGD 1, Aceh Besar, 19 Juli 2007. Dikutip di ”Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian Aceh dari Perspektif Keadilan Transisi,” ICTJ (2008), hal. 22
Rekonsiliasi, yang kadang-kadang dianggap mekanisme yang kelima, lebih tepat dilihat sebagai tujuan dari empat kegiatan ini, oleh karena ia juga asalah salah satu unsur yang dibutuhkan untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Ada juga yang menganggap ‘memorialisasi’ sebagai unsur kelima, walaupun itu dapat dilihat sebagai bagian dari reparasi. Demi keringkasan, tulisan ini terfokus pada empat mekanisme keadilan transisi.
Anggota Kelompok Kerja Pengungkapan Kebenaran ini termasuk KontraS, Syarikat Indonesia, JKB, Walhi, Elsam, IDSPS, PEC, SKP-HAM Palu, Imparsial, IKOHI, ICTJ-Indonesia, PBHI, Bakumsu Medan, Pusdep Jogja, Demos, Tifa, LPH Yaphi Solo, HRWG, SHMI, SNB, LBH Jakarta, Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan , KPI.
Hak untuk Hidup mencakup pelanggaran seperti: Pembunuhan; Penghilangan paksa; Kematian yang disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar secara sengaja [death by deprivation]
Hak untuk Aman mencakup pelanggaran seperti: Penyiksaan; Perlakuan tidak manusiawi; Penganiayaan; Pemindahan paksa; Rekrutmen paksa; Kerja paksa; Pelanggaran berbasis jender: Perkosaan; Perbudakan seksual: Penyiksaan seksual; Kekerasan seksual lainnya; Pemaksaan KB
Penahanan sewenang-wenang; Hak untuk Keadilan mencakup pelanggaran seperti: Pengadilan yang tidak adil; Penahanan sewenang-wenang; Hak atas Kepemilikkan mencakup pelanggaran seperti: Penjarahan/Pencurian/ Pembakaran/ Penghancuran rumah dan barang milik; Pemusnahan bahan pangan/ kebun; Perampasan tanah dan sumber daya alam; Hak untuk Ekosob mencakup pelanggaran seperti: Korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya; Diskriminasi berdasarkan ras, agama, etnis, kelompok sosial, budaya dll; Hak atas pendidikan dan kesehatan; Hak atas standar hidup yang layak.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949, pada tanggal 30 September 1958, pada masa pemerintahan Presiden Sukarno.
Presentasi Asni Damanik, LBH APIK, Lokakarya Komnas Perempuan tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan berbasi Jender, Jakarta, 22 Agustus 2005.
Para jaksa yang menangani kasus Timor-Timur tidak memasukkan bukti-bukti terjadinya kekerasan seksual pada saat kekerasan 1999, walaupun telah didokumentasi oleh KPPHAM.
PP RI No. 3 Thn 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Diakses 27 Mei 2007 di http://www.depkumham.go.id/NR/rdonlyres/4769B910-739B-4096-80CE-082F3FC426A6/0/PERATURANPEMERINTAHREPUBLIKINDONESIANO3TAHUN2002. pdf
Lihat Reparation for Torture: A Survey of Law and Practice in 30 Selected Countries (Indonesia Country Report) [Reparasi untuk Penyiksaan: Sebuah Survei Hukum dan Praktek di 30 Negara yang Terpilih (Laporan Negara Indonesia)] Diakses 18 Januari 2006 dari http://www.redress.org/country_indonesia.html
ELSAM Pembahasan tentang Draft UU Perlindungan Saksi dan Korban, http://www.elsam.or.id/weblog.php?id=C0_43_1 (diakses 18 January 2006).
Awalnya, strategi BRA adalah untuk mendanai kegiatan ekonomi yang digagas oleh korban konflik. BRA mengundang para korban konflik membuat proposal dan akhirnya menerima sekitar 48,500 proposal yang melibatkan 600,000 orang. Karena BRA merasa tidak mempunyai kapasitas atau sumbersaya untuk memproses proposal yang begitu banyak, maka program ini dibatalkan.
See UNDP, “Access to Justice in Aceh: Making the Transition to Sustainable Peace and Development in Aceh,” 37, 59, 2007.
Untuk informasi lebih lanjut lihat Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan untuk Hak atas Penyelesaian dan Reparasi untuk Korban Pelanggaran Berat Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Berat Hukum Humaniter, Lampiran pada Resolusi MU 60/147, pasal 19-23
Comments
Post a Comment