Membongkar Masa Lalu

Membongkar Masa Lalu "Komunis"demi Demokrasi     Judul: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana  Anti-komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto.  Penulis: Budiawan  Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,  Jakarta, 2004  Tebal: xxxviii + 294 halaman     SETIAP negeri yang baru lepas dari kekuasaan otoriter menghadapi masalah besar  di masa transisi, yakni menangani pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan  yang dilakukan oleh kekuasaan otoriter sebelumnya. Penguasa lama yang tersebar  di birokrasi sipil maupun militer, parlemen dan partai politik, menggunakan  segala daya untuk mencegah adanya pengungkapan kebenaran dan penegakan  keadilan, dan dengan begitu mengganjal upaya reformasi.    Di Indonesia, pelecehan terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas  HAM), pengadilan HAM ad hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok, lambatnya  penanganan kasus Trisakti dan Semanggi yang ditingkahi perlawanan pihak militer  dalam proses penyelidikan, dan juga pembunuhan terhadap pembela hak asasi  manusia, adalah bukti bahwa reformasi di Indonesia bergerak menjauh dari  kebenaran dan keadilan. Para pemimpin tidak mengambil pelajaran apa pun dari  kematian korban kekerasan rezim Orde Baru, dan dengan sendirinya sangat mungkin  mengulang kesalahan yang sama.     Peristiwa 1965, yang mencakup pembunuhan massal terhadap ribuan orang dan  penahanan tanpa pengadilan terhadap ribuan orang lain yang dituduh terlibat  dalam G30S di seluruh Indonesia, mungkin merupakan kasus yang paling sulit  ditangani. Hambatan dan tantangan untuk menyelidiki, mengungkap, dan menegakkan  keadilan dalam kasus ini tidak hanya datang dari penguasa lama, tetapi juga  berbagai unsur masyarakat yang merasa dianiaya semasa pemerintahan Soekarno.    Banyak dari mereka yang di masa Orde Baru adalah bagian dari oposisi dan juga  dianiaya oleh penguasa, tetapi dalam menghadapi peristiwa 1965 sikap mereka  sama sebangun dengan penguasa militer. Bagi publik pun mengutak-atik peristiwa  ini masih sensitif karena fantasi tentang "hantu komunis" yang diciptakan oleh  kelompok antikomunis dan diresmikan keberadaannya oleh Orde Baru.    Dekonstruksi "hantu komunis"    Buku Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunisdan Politik Rekonsiliasi  Pasca-Soeharto karya Budiawan, kini mengajar pada Program Magister Ilmu Religi  dan Budaya Universitas Sanata Dharma, semula merupakan naskah disertasi pada  National University of Singapore pada Juni 2003. Buku ini berusaha menelusuri  akar kemarahan massal terhadap "hantu komunis" tersebut dan akibatnya bagi  proses penegakan kebenaran dan rekonsiliasi di Indonesia.    Salah satu pernyataan terpentingnya, bahwa kemarahan massal ini berakar pada  salah paham yang parah mengenai sejarah, ketidaktahuan, dan pada taraf tertentu  ketidakmautahuan, para pengobar kebencian terhadap komunisme di Indonesia.  Kemarahan ini sepanjang 32 tahun dibiarkan mengeras dan bahkan membatu sehingga  ruang untuk membicarakan kembali "masa lalu komunis" hampir tidak ada.  Penanganan  peristiwa 1965 secara menyeluruh pun semakin sulit dilakukan, dan dengan begitu  semakin berat pula langkah Indonesia menuju demokrasi.    Dalam situasi seperti ini, penanganan kekerasan masa lalu dengan membentuk  pengadilan atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang banyak dibicarakan dalam  beberapa tahun terakhir hanya bisa menjangkau sebagian dari masalah. Mungkin  saja pengadilan bisa menegakkan "fakta hukum" tentang peristiwa 1965 dan  menyatakan pembunuhan massal itu adalah kesalahan, seperti militer di Cile  baru-baru ini mengakui penculikan terhadap ribuan mahasiswa dan pemuda kiri  selama 1970-an adalah kesalahan. Namun, bayangan akan "hantu komunis" dan  segala pikiran absurd yang lahir dari politik antikomunis sejak pertengahan  1960-an tidak dapat "disembuhkan" semata-mata melalui keputusanpengadilan atau  permintaan maaf dari pejabat publik.  Langkah penyelesaian secara legal-formal tidak banyak artinya jika tidak  disertai perubahan kesadaran, yang mencakup kesediaan untuk membicarakan  kembali salah paham yang sudah membatu dalam ingatan kolektif dan menjadi  "sejarah".    Sistematika dan kejelasan argumentasi buku ini patut dipuji. Setelah meletakkan  duduk perkara dan landasan teoretisnya dalam Bab Pertama, Budiawan mulai  menyoroti wacana antikomunis yang, menurut dia, menjadi penghalang utama bagi  pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi untuk peristiwa 1965. "Komunisme" yang  dilawan oleh kelompok antikomunis ini tidak ada kaitannya dengan doktrin  politik tentang masyarakat tanpa kelas, apalagi perjuangan kelas yang  dibicarakan Marx. "Komunisme" oleh kalangan ini direduksi menjadi semata-mata  faham kaum kafir yang menentang agama atau ateisme.    Untuk menjelaskan salah paham yang parah ini, ia menelusuri asal-usul wacana  antikomunis dalam sejarah.  Ketegangan antara kalangan Islam dan komunis sebenarnya sudah dimulai sejak  1920-an, tetapi tidak pernah berkembang menjadi konflik dengan kekerasan,  apalagi pertumpahan darah. Konflik terbuka baru terjadi di masa kemerdekaan,  saat kekuatan-kekuatan politik mulai bertarung memperebutkan kepemimpinan  republik.    Peristiwa Madiun 1948 adalah tonggak sejarah yang penting dalam pembentukan  wacana antikomunis karena merupakan bukti "pengkhianatan PKI". Pembunuhan  terhadap sejumlah tahanan oleh laskar Pesindo yang berafiliasi dengan PKI  ketika tentara pemerintah menyerang Madiun menjadi bukti "permusuhan abadi"  antara komunis dan Islam, karena kebanyakan orang yang terbunuh itu beragama  Islam. Sampai saat ini orang Islam "memegang teguh pendapat bahwa Peristiwa  Madiun adalah peristiwa pembantaian terhadap umat Islam" (halaman 109).    Cerita bohong mengenai penyiksaan dan pembunuhan terhadap para jenderal di  Lubang Buaya oleh orang komunis yang kafir memperkuat anggapan bahwa komunisme  identik dengan moral bejat dan ateisme, dan menjadi landasan untuk menggalang  kekuatan yang kemudian melancarkan pembunuhan di seluruh Indonesia (halaman  127-137). Seruan untuk jihad melawan komunisme diiringi propaganda hitam,  seperti penyebaran daftar palsu yang menyebut nama-nama orang nonkomunis yang  akan dibunuh seandainya PKI berhasil merebut kekuasaan. Propaganda itu berhasil  menciptakan suasana ketakutan dan perasaan "lebih baik membunuh sebelum  dibunuh". Dalam situasi itu pembunuhan terhadap "orang komunis" yang tidak  beragama dan bermoral bejat tidak hanya dimaklumi, tetapi juga dianjurkan. Hal  ini mungkin yang menjelaskan mengapa sampai saat ini masih ada orang yang  bangga karena jasanya dalam "membasmi komunis" pada kurun te  rsebut.    Bagaimanapun, fantasi mengenai "komunisme" dan kemarahan massal yang membatu  itu tidak sempurna.   Setelah Soeharto jatuh, muncul beragam narasi tentang "masa lalu komunis" yang  bukan hanya berbeda, tetapi secara langsung menghantam narasi dominan yang  dibuat oleh Orde Baru. Bukan hanya fakta-fakta yang digugat, tetapi seluruh  konstruksi fantasi mengenai "hantu komunis" sebagai jejadian yang mengancam  kehidupan umat beragama. Di sini Budiawan melihat penerbitan dua autobiografi  "Muslim komunis", yakni Hasan Raid dan Achmadi Moestahal, menempati posisi  sangat penting dalam membongkar narasi dominan itu. Dengan menceritakan  pengalaman sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan beragama dan kemudian  condong pada komunisme tanpa meninggalkan keyakinan pada agama, keduanya  menghantam inti dari narasi dominan tentang "permusuhan abadi" antara komunisme  dan agama.    Dalam bab selanjutnya Budiawan menyoroti praktikrekonsiliasi di tingkat akar  rumput yang dimulai oleh kalangan muda Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung  dalam Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat). Kelompok ini semula  mengambil inisiatif membongkar keterlibatan NU, khususnya organisasi pemuda  Ansor, dalam pembasmian PKI selama 1965-1966, yang kemudian berlanjut dengan  pertemuan antara eks tahanan politik (tapol) dan komunitas pesantren di  beberapa daerah.    Rangkaian pertemuan ini, menurut Budiawan, sungguh penting sebagai ruang untuk  membahas dan merundingkankembali masa lalu sekaligus mencairkan kebekuan  danketegangan yang diwariskan oleh wacana antikomunis semasa Orde Baru.  Sekalipun masih terlalu pagi untuk dinilai, apalagi disimpulkan, praktik  dekonstruksi melalui penerbitan kisah para korban dan rekonsiliasi di tingkat  akar rumput ini sangat penting untuk membongkar fantasi dan narasi dominan dan  mencairkan ketegangan, sebagai dasar untuk menangani Peristiwa 1965 secara  menyeluruh.    Asal-usul wacana antikomunis    Sebagai salah satu karya perintis tentang wacana antikomunis di Indonesia,  dengan argumentasi yang lugas tanpa kecenderungan bergenit-genit dengan teori  atau konsep seperti yang sering dilakukan dalam studi tentang kekerasan,  sejarah dan ingatan, membuat buku ini pantas disambut oleh para peneliti dan  aktivis hak asasi manusia. Namun, seperti karya perintis pada umumnya, ada  beberapa wilayah bahasan yang cenderung terbengkalai dan dapat dikembangkan  lebih jauh.    Salah satu yang terpenting menurut saya adalah asal-usul fantasi antikomunis  yang merupakan bagian penting dari narasi dominan tentang komunisme di  Indonesia. Narasi dominan itu tidak hanya terdiri atas salah tafsir atau fakta  yang jungkir balik, melainkan juga kejadian yang sepenuhnya merupakan rekaan  atau khayalan semata, seperti penyiksaan terhadap enam orang jenderal di Lubang  Buaya pada 1 Oktober 1965.    Penjelasan Budiawan (halaman 127- 138) yang bersandar pada studi Saskia  Wieringa kurang memadai karena ada beberapa unsur penting yang justru absen  dalam penjelasannya, seperti persekongkolan militer dengan intelektual dan pers  antikomunis untuk mengarang cerita bohong di sekitar peristiwa itu. Semua  cerita tentang "kekejaman PKI" yang menyiksa para jenderal di Lubang Buaya  keluar pertama kali pada 11 Oktober, atau seminggu setelah tim dokter yang  melakukan autopsi melaporkan bahwa tak seorang jenderal pun yang menjadi korban  mengalami siksaan.    Peran Amerika Serikat (AS) juga tidak dapat dianggap sepi. Istilah Gestapu yang  berupaya menyamakan kekejaman penculik dan pembunuh para jenderal itu dengan  polisi rahasia Nazi, Gestapo, adalah produk propaganda yang cukup canggih.  Menurut Carmel Budiardjo yang dikutip oleh Budiawan, istilah Gestapu adalah  buah anjuran Guy Pauker, seorang konsultan pada Rand Corporation, sebuah  lembaga penelitian yang dipercaya sebagai perpanjangan tangan Badan Pusat  Intelijen AS (CIA) di masa itu. Penelitian George Kahin mengenai politik  subversif AS di Indonesia selama akhir 1950-an memperlihatkan bahwa praktik  menggalang opini publik melalui desas-desus dan media massa sudah sering  dilakukan sebelumnya. Dan Indonesia di bawah Soekarno bukan satu-satunya  sasaran psychological warfare AS. Wacana antikomunis yang menghadap-hadapkan  komunisme dengan agama bukan sesuatu yang khas Indonesia, tetapi ditemuka  n juga di banyak negara Amerika Latin dan Asia Tenggara.    Keterlibatan media massa dalam psychological warfare pun perlu diperiksa lebih  jauh. Sampai saat ini belum ada pemimpin media yang secara terbuka menjelaskan  apa yang membuat mereka turut menyebarluaskan erita-cerita bohong mengenai  kejadian di Lubang Buaya.    Sinar Harapan adalah satu-satunya surat kabar yang memuat laporan autopsi itu  secara lengkap pada Desember 1965, saat pembunuhan yang paling mengerikan  antara lain akibat kampanye fitnah mereka sebelumnya, sudah berlalu. Surat  kabar lain sementara itu terus mengulang cerita yang sama, mestinya dengan  kesadaran penuh bahwa cerita itu bohong belaka. Budiawan sayangnya tidak  berusaha melampaui temuan Saskia Wieringa atau Ben Anderson mengenai peran  media dalam konstruksi fantasi ini, padahal masalah tersebut begitu penting  bagi seluruh bangunan tesisnya.    Penelitian saksama terhadap pihak-pihak yang secara aktif membentuk fantasi  antikomunis dan narasi dominan tentang komunisme ini perlu dilakukan bukan  hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu, tetapi punya arti strategis.  Dekonstruksi narasi antikomunis kiranya bisa lebih efektif jika "pihak ketiga"  yang turut menciptakan permusuhan abadi agama dan komunisme bisa dihadirkan  secara proporsional. Di tingkat akar rumput, misalnya, akan sangat berguna jika  pihak-pihak yang terlibat upaya rekonsiliasi tahu bahwa "kebenaran sejarah"  yang mereka pegang hanyalah cerita khayal, dan bahwa banyak hal yang semula  diduga bersumber pada "tradisi antikomunis" yang melekat pada setiap ajaran  agama sesungguhnya hanya sesuatu yang disuntikkan dari luar.    Pertarungan politik dan kelas    Wilayah bahasan lain yang terkait dengan asal-usul fantasi antikomunis ini  adalah kaitan antara politik antikomunis dengan pertentangan kelas dan  pergulatan kuasa di kalangan elite. Dalam Bab Kedua, Budiawan menggambarkan  kontroversi di sekitar pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 semasa pemerintahan  Abdurrahman Wahid (halaman 58-73). Namun, uraian itu tidak menelaah lebih jauh  dimensi politik dari kontroversi tersebut karena lebih sibuk melihat keteguhan  kelompok antikomunis dalam membela keyakinan mereka. Gelombang pasang  antikomunis di satu sisi memang merupakan reaksi langsung terhadap pernyataan  Abdurrahman Wahid yang menyarankan agar ketetapan MPRS itu dicabut, tetapi di  sisi lain juga merupakan bagian dari penggalangan kekuatan untuk menjatuhkan  Abdurrahman Wahid dari jabatannya. Mereka menuduh Abdurrahman Wahid membiarkan  istana dipenuhi "orang komunis" dan bahwa kalangan muda NU penduku  ngnya adalah "komunis yang berkedok Islam".    Politik antikomunis di sini tidak bersumber pada keyakinan politik tertentu,  tetapi sekadar menjadi alat dari kelas atau kelompok yang berebut kuasa. Di  Cile, politik antikomunis yang kemudian berujung pada kudeta terhadap Salvador  Allende disuarakan terutama oleh kaum industrialis dan tuan tanah yang  bersekutu dengan partai politik Kristen kanan dan militer, serta mendapat  dukungan relatif terbuka dari badan intelijen serta kalangan bisnis Amerika  Serikat. Simbol agama di sini hanya dipakai untuk menyelubungi politik kelas  ketimbang sebaliknya. Di Indonesia ketegangan kelas memang tidak muncul ke  permukaan, antara lain karena PKI tidak memerintah dan juga tidak mengembangkan  program sosial-ekonomi seperti halnya Unidade Popular di Cile. Tetapi bukan  berarti bahwa kampanye antikomunis sepenuhnya bebas dari kepentingan kelas.    Contoh lain yang memperlihatkan bahwa wacana antikomunis bukan hanya ekspresi  ingatan kolektif yang membatu terlihat dari penggunaannya dalam konflik di  kalangan elite sendiri. Selama Orde Baru, wacana antikomunis sering digunakan  dalam perebutan jabatan politik dan menyerang lawan politik. Banyak tokoh  pemuda yang kemudian menjadi pejabat atau politikus penting hampir semuanya  punya catatan memimpin aksi atau kampanye antikomunis tertentu. Akbar Tandjung,  misalnya, pada 1980 memimpin kelompok pemuda yang mendesak pemerintah untuk  melarang peredaran Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Tentu bukan  kesetiaan pada sikap "antikomunis" yang membuat Tandjung kemudian berperan  penting dalam politik, tetapi kemampuannya untuk menggalang kekuatan mengambil  sikap dalam keadaan tertentu.    "Bahaya laten komunis" kadang hanya menjadi alat untuk menekan lawan politik  ketimbang sasaran yang harus dihancurkan. Hal ini tampak pada kampanye "bersih  diri" dan "bersih lingkungan" selama masa Orde Baru. Cukup banyak pejabat yang  coba dijatuhkan dengan keterlibatan mereka dengan G30S atau organisasi massa  yang dicap "komunis", atau hubungan darah dengan orang yang terlibat. Tidak  kurang dari Wakil Presiden Letjen Sudharmono yang menjadi sasaran kampanye  semacam ini saat namanya beredar sebagai calon wakil presiden.  Tuduhan itu tidak terdengar lagi setelah perebutan jabatan berakhir, dan pihak  yang menuduhnya tidak pernah berniat membunuh atau menyeretnya ke tahanan untuk  "membasmi komunis sampai ke akar-akarnya", seperti yang dilakukan terhadap  ratusan ribu orang lain.    Dalam situasi seperti ini, narasi antikomunis hanya alat untuk menggalang  kekuatan dalam perebutan kuasa. Dari oportunisme politik ini kemudian lahir  bermacam pernyataan dan tindakan yang absurd, seperti pembakaran buku Pemikiran  Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno oleh kelompok antikomunis yang seharusnya  justru membaca buku itu dengan saksama untuk mempertebal keyakinan mereka.  Oportunisme yang sama tampak dalam sikap pemerintah yang mencla-mencle dalam  kampanye "bersih diri" dan "bersih lingkungan".  Jika penguasa memang konsisten, maka ada banyak pejabat tinggi yang tidak akan  pernah menjadi pejabat karena nama mereka tercantum dalam Dewan Revolusi yang  dibentuk oleh Gerakan 30 September.    Jika melihat persoalan ini, maka hambatan bagi rekonsiliasi dan demokratisasi  bukan hanya fantasi dan narasi "sejarah" yang jungkir balik, tetapi juga  dominasi elite dalam kehidupan politik. Budiawan sendiri sempat menyinggung  masalah ini ketika membahas godaan politisasi upaya rekonsiliasi di tingkat  akar rumput di Blitar (halaman 221-24) ketika sejumlah tokoh Partai Kebangkitan  Bangsa setempat berusaha menyambung agenda rekonsiliasi itu dengan kepentingan  meraih suara dari kalangan eks tapol di wilayah tersebut. Upaya politisasi  tidak hanya terjadi di tingkat lokal, tetapi kerap mewarnai upaya pengungkapan  kebenaran dan rekonsiliasi selama ini.  Dalam pemilihan presiden 2004, masalah kekerasan masa lalu menjadi alat untuk  menyerang calon presiden dari kalangan militer. Mereka yang melakukan serangan  itu tentu tidak bermaksud mengungkap dan menangani peristiwa itu sampai tuntas,  tetapi semata-mata berkepentingan melemahkan dukungan terhadap para calon itu.    Penelitian lebih mendalam terhadap aspek-aspek yang belum ditelaah sampai  tuntas ini tentu akan berpengaruh terhadap berbagai strategi rekonsiliasi yang  dijabarkan Budiawan dalam penutup bukunya (halaman 246-254). Jika dimensi kelas  yang disebutkan di atas ditelaah lebih jauh, maka ada berbagai ruang dan  kemungkinan baru untuk menggalang solidaritas korban kekerasan dari berbagai  peristiwa dan kasus.  Demikian pula jika masalah elite yang menunggangi upaya rekonsiliasi tidak  dipahami dengan baik, maka ada banyak pekerjaan berharga yang sia-sia saja.    Ke arah rekonsiliasi    Ingatan yang membatu dan menjadi "sejarah" bukan hanya ada di kalangan yang  antikomunis saja. Mereka yang dituduh atau memang komunis (dengan atau tanpa  tanda petik) pun menghadapi masalah serupa. Setelah Soeharto jatuh, mulai ada  sedikit ruang untuk bicara lebih terbuka, menyampaikan pengalaman sebagai  korban secara lisan maupun tertulis. Ingatan kolektif mengenai penganiayaan dan  penderitaan secara perlahan mulai terbentuk, dan menjadi "sejarah". Di satu  sisi merekam suara korban dalam catatan sejarah sungguh penting untuk  mengungkap apa yang selama ini digelapkan, tetapi di sisi lain timbul masalah  jika penggalan sejarah yang hilang ini berkembang menjadi narasi yang berat  sebelah.    Budiawan dengan cermat mencatat masalah ini. Menurut dia, narasi dominan  tentang orang komunis bersifat berat sebelah karena hanya mencatat apa yang  dilakukanorang komunis terhadap yang dialami, tetapi tidak mencatat apa yang  kemudian mereka alami sebagai korban. Bahkan ada kecenderungan untuk menyangkal  status mereka sebagai korban. Namun, demikian sebaliknya, para korban peristiwa  1965 mengingat jelas penderitaan di bawah rezim Orde Baru, tetapi tidak banyak  bicara tentang apa yang mereka lakukan sebelum peristiwa itu. Dengan kata lain,  kelompok antikomunis mengingat apa yang dilupakan orang komunis, dan sebaliknya  orang komunis mengingat apa yang dilupakan oleh kelompok antikomunis (halaman  242). Sejarah tetap terbelah dan tidak ada titik temu, apalagi ruang untuk  membicarakan masa lalu.    Jalan keluar dari situasi ini adalah jika masing-masing pihak melintas dari  "kawasan" masing-masing dan mau menginjak, betapapun pahit, "kawasan" yang  lain. Kaum muda NU dalam hal ini cukup berhasil mengajak beberapa kiai  menyeberang ke "kawasan" yang lain, dan secara terbuka mendiskusikan peran  Banser dalam pembunuhan massal, tetapi sebaliknya belum ada upaya dari kalangan  eks tapol untuk menyeberang ke "kawasan" satunya dan berceritatentang apa yang  mereka lakukan sebelum 1965. DiBlitar, kelompok muda NU dan komunitas eks tapol  PKI sudah berhasil membuka ruang tersebut walau gemanya masih sangat lemah.  Diperlukan waktu dan tenaga untuk memperluas ruang dialog tersebut, dan  tentunya ketetapan hati untuk mengakhiri kekuasaan bebal yang senantiasa ingin  menanamkan ingatan yang absurd tentang masa lalu kepada generasi selanjutnya. 

Comments

Popular posts from this blog

prediksi bencana alam

Best Free Software

not about us