Menyikapi Bencana Alam: "Niteni", "Niroake," dan "Nambahake"

Menyikapi Bencana Alam
"Niteni", "Niroake," dan "Nambahake"

Kusmayanto Kadiman
Menteri Negara Riset dan Teknologi

Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
terbentang sepanjang
tidak kurang dari 5.000 kilometer dari Sabang sampai Merauke dan tepat di
garis
khatulistiwa, memiliki berbagai keunikan alam.
Keanekaragaman hayati di darat dan di air hanya dapat disaingi oleh Brasil.
Begitu juga
dengan keanekaragaman kekayaan alam lain, seperti sumber daya mineral dan
sumber
energi. Sering kita menerima dan menikmati kekayaan alam ini sebagai rahmat
dari
Tuhan Yang Maha Esa belaka.

Bahkan, tidak jarang dalam kita menerima kekayaan alam ini kita
memperlakukannya
sebagai warisan nenek moyang dan kita lupa bahwa kekayaan alam ini adalah
sesungguhnya titipan anak-cucu yang mesti kita pertahankan kelestariannya.
Dari berbagai sumber pengetahuan kita dapat memahami bahwa kekayaan berupa
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam kita ini dianugerahkan kepada
kita melalui
berbagai kejadian alam yang sering kita kategorikan sebagai bencana alam
karena
menimbulkan kerugian jangka pendek bagi umat manusia, seperti kematian,
kehilangan
rumah, ternak, kebun, serta kerugian aset fisik lainnya dan juga kerugian
akses ke
berbagai layanan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, spiritual, dan
kenikmatan
transaksional lain.

Padahal, jika kita dengan kepala dingin dan hati terbuka mau menggunakan
anugerah lain
yang diberikan kepada kita, yaitu keingintahuan (titen dalam bahasa Jawa
atau iqra dalam
bahasa Arab) akan kejadian alam, maka kita tidak akan selalu bersifat
negatif menilai
kejadian alam yang kita sebut bencana tersebut.
Niteni (dengan kata dasar titen) adalah perilaku yang menjadi ciri kaum
terdidik yang
dapat diperoleh melalui bangku sekolah atau melalui pengetahuan
turun-temurun untuk
selalu ingin tahu dan mengenali alam. Dengan bekal niteni ini, kita ketahui
bahwa tanah
kita menjadi subur dan laut kita begitu kaya akibat meletusnya gunung api di
darat
ataupun di dasar laut yang memuntahkan berbagai unsur alam yang lengkap dan
setelah
beberapa lama akan melengkapi unsur hara dalam tanah dan berbagai mineral
yang
memperkaya kandungan air laut. Jika kita hanya menggunakan kacamata miopik,
maka
kita akan terjebak pada penilaian letusan gunung api ini sebagai bencana
alam. Serupa
dengan berkah ketersediaan minyak bumi, gas alam, batu bara, dan berbagai
sumber daya
mineral.

NKRI terbentang dan berada di perbatasan tiga lempengan bumi: Eropa-Asia,
Asia-
Pasifik, dan Australia-Asia. Ketiga lempengan besar ini bergerak dengan arah
dan laju
tertentu yang menyebabkan lempengan-lempengan ini saling bergesekan dan juga
bertubrukan satu dengan yang lain. Gesekan dan tubrukan ini yang membuat
satu lapisan
menumpuk di lapisan lain, menciptakan ruang-ruang kosong dan jadi jebakan
bagi gas,
minyak bumi, batu bara, dan bahan galian lain.
Di sisi lain, gesekan dan tubrukan dua atau lebih massa besar ini
menimbulkan getaran
besar dan dislokasi massa yang jika terjadi di dasar laut akan mengubah
perilaku laut
secara mendadak, tsunami (tsu dan nami bahasa Jepang yang berarti gelombang
menuju
darat atau pelabuhan) adalah salah satu contoh. Kekuatan tsunami mampu
membawa
berbagai unsur laut yang subur dan kaya akan mineral ke daratan. Sekali
lagi, dengan
kriteria jangka pendek yang membuat kita terperangkap dalam menilai tsunami
sebagai
bencana alam.

Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita dengan sepenuhnya dapat
menikmati
dan mensyukuri kekayaan alam dan secara simultan dapat menyikapi dan
menghindarkan
dampak negatif dari kejadian alam yang kita sebut bencana alam itu? Ki
Hadjar
Dewantara mewariskan pada kita ilmu dan pengetahuan pamungkas, yaitu N3:
Niteni,
Niroake, dan Nambahake. Jika niteni fokus pada upaya mengetahui dan
mengenali
berbagai kejadian alam. Niroake atau menirukan adalah langkah selanjutnya
dari hasil
kita niteni, yaitu berupaya menirukan kejadian alam yang telah kita ketahui
dan pahami
untuk tujuan memenuhi kebutuhan kita. Sedangkan nambahake adalah upaya
memberi
nilai tambah dari kejadian alam yang telah kita kuasai dan bisa tirukan
tersebut.
Mari kita lihat bagaimana niteni, niroake, dan nambahake kita terapkan dalam
menyikapi
"bencana alam", khususnya letusan gunung api, gempa tektonik, dan tsunami.

Peringatan dini

Iptek yang diperoleh dari bangku sekolah, seperti geologi dan geofisika,
maupun
pengetahuan turun-temurun yang mengajarkan untuk mengenali
peristiwa-peristiwa alam,
baik dengan mengamati perubahan-perubahan perilaku alam yang besar sampai
terkecil
selalu berbasis pada niteni, yaitu mengenali perilaku alam.
Gerakan ketiga lempengan besar yang telah disebutkan terdahulu selalu
diikuti dengan
tanda-tanda alam. Getaran-getaran seismik, turun-naiknya temperatur, tekanan
udara dan
tinggi permukaan laut, pergeseran pola magnetik, perubahan perilaku
binatang, adalah
beberapa contoh dari tanda-tanda alam yang boleh jadi disebabkan oleh
gesekan dan
tubrukan lempengan bumi. Istilah smong yang dikenal baik dalam kultur
Simeulue adalah
suatu contoh konkret dari niteni perilaku alam, yaitu turunnya muka laut
secara tiba-tiba
yang diikuti dengan aksi lari ke tempat tinggi dalam upaya meminimumkan
korban dari
bencana tsunami.

Dengan mengenali perilaku alam ini, kemudian kita bisa menirukannya, tentu
tidak
dengan sempurna karena berbagai keterbatasan yang ada. Dalam ilmu logis,
upaya
niroake (menirukan) ini kemudian dikenal dengan istilah simulasi yang banyak
digunakan
sebagai upaya memenuhi kebutuhan kita. Simulasi gunung api dan gempa
tektonik yang
menjadi bekal kita untuk melakukan prakiraan akan munculnya bencana. Sistem
Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System/T-EWS) dibangun dengan
modal dasar niteni dan niroake.

Data yang dihasilkan oleh perlengkapan dan peralatan mendeteksi getaran
bumi, baik di
darat maupun di laut, dipasang di titik-titik yang diperkirakan akan mampu
memberi
sinyal akan kejadian gempa tektonik yang kemudian menjadi bekal dalam upaya
niroake
(kata lain dari simulasi) yang kemudian akan memberi tahu tentang
kemungkinan suatu
gempa tektonik di dasar laut akan menimbulkan tsunami. Ini yang kita sebut
sebagai
peringatan dini tsunami.

Idem dengan gunung api, beragam peralatan yang terpasang tepat di lokasi
puncak
gunung api ataupun pemantauan yang dilakukan dari jarak jauh sampai pada
pemanfaatan
citra satelit akan memberi masukan bagi simulasi gunung api.
Melalui simulasi ini kita bisa memberi peringatan dini letusan gunung api.
Titen yang
dipraktikkan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, adalah pendekatan
holistik
yang sebetulnya merupakan N3 yang komplementer dari iptek logis: geologi,
geofisik,
dan biofisik.

Sistem peringatan dini tsunami dan gunung api yang dijadikan cikal bakal
pembangunan
Sistem Peringatan Dini Bencana (Multi Hazard Early Warning System/MH-EWS).
Longsor, banjir, dan kebakaran kebun-hutan adalah jenis bencana yang perlu
juga kita
upayakan bersama penanggulangannya.

Untaian sepanjang 1.200 km dari barat sampai ke timur Indonesia yang
merupakan batasbatas
ketiga lempengan besar berpotensi memicu berbagai kejadian alam besar.
Untaian
ini dikenal sebagai Ring of Fire. Upaya yang paling konservatif dalam
menghindarkan
dari dampak bencana alam adalah menjauhinya. Ini tentu mudah dikatakan, tapi
muskil
untuk dilakukan. Membangun MH-EWS dan melakukan pembelajaran publik akan
berbagai potensi bencana adalah langkah yang akan efektif dalam mitigasi
atau
mengurangi dampak bencana.

Pembelajaran publik

Mengajarkan pengetahuan kejadian alam melalui bangku sekolah adalah salah
satu cara,
baik melalui kurikulum formal maupun memanfaatkan berbagai kegiatan
ekstrakurikuler.
Khotbah di masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, dan rumah ibadah lain
adalah juga
cara yang terbukti ampuh. Tulisan-tulisan ilmiah populer dan komik juga
upaya yang
luhur. Masyarakat Jepang dapat kita jadikan sebagai model panutan dalam
pembelajaran
publik dalam menyikapi bencana alam, mengingat deretan pulau dan lautnya
menyimpan
potensi besar berbagai bencana alam.

Komik Api Inamura (Inamura Nori) telah dikenal masyarakat Jepang sejak abad
ke-18
sebagai upaya pembelajaran publik dalam mengenali dan menyikapi tsunami.
Kemajemukan kultur dan struktur komunitas Indonesia yang memiliki
pengetahuan turun
temurun dan menjunjung kearifan lokal, seperti smong di masyarakat Simeulue,
perlu
terus digalang, didorong, dan ditumbuhkembangkan sebagai upaya memperkaya
iptek
logis yang masih jauh dari merata dan mencukupi, mengingat pendidikan formal
masih
juga belum berhasil dijadikan sebagai komponen utama pembangunan Indonesia.
Dengan membaiknya pengetahuan masyarakat tentang bencana tentu berbagai
adaptasi
akan segera dilakukan. Bangunan tahan gempa dan siaga terhadap bencana
adalah dua hal
penting dalam upaya mitigasi bencana.

Bangunan tahan gempa?

Dengan mengenali beragam potensi bencana alam, tentu masyarakat dengan
pengetahuan
dan kemampuan yang ada akan melakukan penyesuaian. Ini merupakan sifat
natural dari
manusia untuk tetap bisa hidup (to learn dan to survive).
Rumah-rumah adat yang kita kategorikan sebagai bangunan dengan arsitektur
tradisional
sebetulnya sudah secara intrinsik memperhitungkan potensi bencana alam.
Pembangunan
rumah menggunakan fondasi pasir, kayu, dan tali pada rumah-rumah adat dan
tradisional
seperti bangunan rumah kaum Badui di Banten Dalam adalah jenis rumah tahan
gempa
karena bangunannya yang fleksibel alias lentur dan dapat beradaptasi
terhadap gerakan
lateral dan vertikal akibat getaran dan gempa.
Tawaran menarik dari arsitektur modern dengan komponen cepat pasang berbasis
semen,
batu, dan besi membuat rumah kaku dan rentan terhadap bencana alam.
Tentu tidak arif memberi penilaian bahwa pendekatan modern ini buruk jika
dibandingkan dengan arsitektur bangunan tradisional. Kita wajib menggunakan
prinsip
nambahake (menambahkan) rancangan yang menjadikan arsitektur cepat bangun
memiliki sifat lentur, khususnya pada fondasi dan komponen-komponen
sambungan.
Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai struktur bangunan tahan gempa. Hal
ini berlaku
juga pada pembangunan bangunan-bangunan lain di darat dan di pesisir, baik
untukBahkan, tidak jarang dalam kita menerima kekayaan alam ini kita
memperlakukannya sebagai warisan nenek moyang dan kita lupa bahwa kekayaan
alam
ini adalah sesungguhnya titipan anak-cucu yang mesti kita pertahankan
kelestariannya.
Dari berbagai sumber pengetahuan kita dapat memahami bahwa kekayaan berupa
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam kita ini dianugerahkan kepada
kita melalui
berbagai kejadian alam yang sering kita kategorikan sebagai bencana alam
karena
menimbulkan kerugian jangka pendek bagi umat manusia, seperti kematian,
kehilangan
rumah, ternak, kebun, serta kerugian aset fisik lainnya dan juga kerugian
akses ke
berbagai layanan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, spiritual, dan
kenikmatan
transaksional lain.

Padahal, jika kita dengan kepala dingin dan hati terbuka mau menggunakan
anugerah lain
yang diberikan kepada kita, yaitu keingintahuan (titen dalam bahasa Jawa
atau iqra dalam
bahasa Arab) akan kejadian alam, maka kita tidak akan selalu bersifat
negatif menilai
kejadian alam yang kita sebut bencana tersebut.
Niteni (dengan kata dasar titen) adalah perilaku yang menjadi ciri kaum
terdidik yang
dapat diperoleh melalui bangku sekolah atau melalui pengetahuan
turun-temurun untuk
selalu ingin tahu dan mengenali alam. Dengan bekal niteni ini, kita ketahui
bahwa tanah
kita menjadi subur dan laut kita begitu kaya akibat meletusnya gunung api di
darat
ataupun di dasar laut yang memuntahkan berbagai unsur alam yang lengkap dan
setelah
beberapa lama akan melengkapi unsur hara dalam tanah dan berbagai mineral
yang
memperkaya kandungan air laut. Jika kita hanya menggunakan kacamata miopik,
maka
kita akan terjebak pada penilaian letusan gunung api ini sebagai bencana
alam. Serupa
dengan berkah ketersediaan minyak bumi, gas alam, batu bara, dan berbagai
sumber daya
mineral.

NKRI terbentang dan berada di perbatasan tiga lempengan bumi: Eropa-Asia,
Asia-
Pasifik, dan Australia-Asia. Ketiga lempengan besar ini bergerak dengan arah
dan laju
tertentu yang menyebabkan lempengan-lempengan ini saling bergesekan dan juga
bertubrukan satu dengan yang lain. Gesekan dan tubrukan ini yang membuat
satu lapisan
menumpuk di lapisan lain, menciptakan ruang-ruang kosong dan jadi jebakan
bagi gas,
minyak bumi, batu bara, dan bahan galian lain.
Di sisi lain, gesekan dan tubrukan dua atau lebih massa besar ini
menimbulkan getaran
besar dan dislokasi massa yang jika terjadi di dasar laut akan mengubah
perilaku laut
secara mendadak, tsunami (tsu dan nami bahasa Jepang yang berarti gelombang
menuju
darat atau pelabuhan) adalah salah satu contoh. Kekuatan tsunami mampu
membawa
berbagai unsur laut yang subur dan kaya akan mineral ke daratan. Sekali
lagi, dengan
kriteria jangka pendek yang membuat kita terperangkap dalam menilai tsunami
sebagai
bencana alam.

Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita dengan sepenuhnya dapat
menikmati
dan mensyukuri kekayaan alam dan secara simultan dapat menyikapi dan
menghindarkan
dampak negatif dari kejadian alam yang kita sebut bencana alam itu? Ki
Hadjar
Dewantara mewariskan pada kita ilmu dan pengetahuan pamungkas, yaitu N3:
Niteni,
Niroake, dan Nambahake. Jika niteni fokus pada upaya mengetahui dan
mengenali
berbagai kejadian alam. Niroake atau menirukan adalah langkah selanjutnya
dari hasil
kita niteni, yaitu berupaya menirukan kejadian alam yang telah kita ketahui
dan pahami
untuk tujuan memenuhi kebutuhan kita. Sedangkan nambahake adalah upaya
memberi
nilai tambah dari kejadian alam yang telah kita kuasai dan bisa tirukan
tersebut.
Mari kita lihat bagaimana niteni, niroake, dan nambahake kita terapkan dalam
menyikapi
"bencana alam", khususnya letusan gunung api, gempa tektonik, dan tsunami.

Peringatan dini

Iptek yang diperoleh dari bangku sekolah, seperti geologi dan geofisika,
maupun
pengetahuan turun-temurun yang mengajarkan untuk mengenali
peristiwa-peristiwa alam,
baik dengan mengamati perubahan-perubahan perilaku alam yang besar sampai
terkecil
selalu berbasis pada niteni, yaitu mengenali perilaku alam.
Gerakan ketiga lempengan besar yang telah disebutkan terdahulu selalu
diikuti dengan
tanda-tanda alam. Getaran-getaran seismik, turun-naiknya temperatur, tekanan
udara dan
tinggi permukaan laut, pergeseran pola magnetik, perubahan perilaku
binatang, adalah
beberapa contoh dari tanda-tanda alam yang boleh jadi disebabkan oleh
gesekan dan
tubrukan lempengan bumi. Istilah smong yang dikenal baik dalam kultur
Simeulue adalah
suatu contoh konkret dari niteni perilaku alam, yaitu turunnya muka laut
secara tiba-tiba
yang diikuti dengan aksi lari ke tempat tinggi dalam upaya meminimumkan
korban dari
bencana tsunami.

Dengan mengenali perilaku alam ini, kemudian kita bisa menirukannya, tentu
tidak
dengan sempurna karena berbagai keterbatasan yang ada. Dalam ilmu logis,
upaya
niroake (menirukan) ini kemudian dikenal dengan istilah simulasi yang banyak
digunakan
sebagai upaya memenuhi kebutuhan kita. Simulasi gunung api dan gempa
tektonik yang
menjadi bekal kita untuk melakukan prakiraan akan munculnya bencana. Sistem
Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System/T-EWS) dibangun dengan
modal dasar niteni dan niroake.

Data yang dihasilkan oleh perlengkapan dan peralatan mendeteksi getaran
bumi, baik di
darat maupun di laut, dipasang di titik-titik yang diperkirakan akan mampu
memberi
sinyal akan kejadian gempa tektonik yang kemudian menjadi bekal dalam upaya
niroake
(kata lain dari simulasi) yang kemudian akan memberi tahu tentang
kemungkinan suatu
gempa tektonik di dasar laut akan menimbulkan tsunami. Ini yang kita sebut
sebagai
peringatan dini tsunami.

Idem dengan gunung api, beragam peralatan yang terpasang tepat di lokasi
puncak
gunung api ataupun pemantauan yang dilakukan dari jarak jauh sampai pada
pemanfaatan
citra satelit akan memberi masukan bagi simulasi gunung api.
Melalui simulasi ini kita bisa memberi peringatan dini letusan gunung api.
Titen yang
dipraktikkan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, adalah pendekatan
holistik
yang sebetulnya merupakan N3 yang komplementer dari iptek logis: geologi,
geofisik,
dan biofisik.

Sistem peringatan dini tsunami dan gunung api yang dijadikan cikal bakal
pembangunan
Sistem Peringatan Dini Bencana (Multi Hazard Early Warning System/MH-EWS).
Longsor, banjir, dan kebakaran kebun-hutan adalah jenis bencana yang perlu
juga kita
upayakan bersama penanggulangannya.

Untaian sepanjang 1.200 km dari barat sampai ke timur Indonesia yang
merupakan batasbatas
ketiga lempengan besar berpotensi memicu berbagai kejadian alam besar.
Untaian
ini dikenal sebagai Ring of Fire. Upaya yang paling konservatif dalam
menghindarkan
dari dampak bencana alam adalah menjauhinya. Ini tentu mudah dikatakan, tapi
muskil
untuk dilakukan. Membangun MH-EWS dan melakukan pembelajaran publik akan
berbagai potensi bencana adalah langkah yang akan efektif dalam mitigasi
atau
mengurangi dampak bencana.

Pembelajaran publik

Mengajarkan pengetahuan kejadian alam melalui bangku sekolah adalah salah
satu cara,
baik melalui kurikulum formal maupun memanfaatkan berbagai kegiatan
ekstrakurikuler.
Khotbah di masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, dan rumah ibadah lain
adalah juga
cara yang terbukti ampuh. Tulisan-tulisan ilmiah populer dan komik juga
upaya yang
luhur. Masyarakat Jepang dapat kita jadikan sebagai model panutan dalam
pembelajaran
publik dalam menyikapi bencana alam, mengingat deretan pulau dan lautnya
menyimpan
potensi besar berbagai bencana alam.

Komik Api Inamura (Inamura Nori) telah dikenal masyarakat Jepang sejak abad
ke-18
sebagai upaya pembelajaran publik dalam mengenali dan menyikapi tsunami.
Kemajemukan kultur dan struktur komunitas Indonesia yang memiliki
pengetahuan turun
temurun dan menjunjung kearifan lokal, seperti smong di masyarakat Simeulue,
perlu
terus digalang, didorong, dan ditumbuhkembangkan sebagai upaya memperkaya
iptek
logis yang masih jauh dari merata dan mencukupi, mengingat pendidikan formal
masih
juga belum berhasil dijadikan sebagai komponen utama pembangunan Indonesia.
Dengan membaiknya pengetahuan masyarakat tentang bencana tentu berbagai
adaptasi
akan segera dilakukan. Bangunan tahan gempa dan siaga terhadap bencana
adalah dua hal
penting dalam upaya mitigasi bencana.

Bangunan tahan gempa?

Dengan mengenali beragam potensi bencana alam, tentu masyarakat dengan
pengetahuan
dan kemampuan yang ada akan melakukan penyesuaian. Ini merupakan sifat
natural dari
manusia untuk tetap bisa hidup (to learn dan to survive).
Rumah-rumah adat yang kita kategorikan sebagai bangunan dengan arsitektur
tradisional
sebetulnya sudah secara intrinsik memperhitungkan potensi bencana alam.
Pembangunan
rumah menggunakan fondasi pasir, kayu, dan tali pada rumah-rumah adat dan
tradisional
seperti bangunan rumah kaum Badui di Banten Dalam adalah jenis rumah tahan
gempa
karena bangunannya yang fleksibel alias lentur dan dapat beradaptasi
terhadap gerakan
lateral dan vertikal akibat getaran dan gempa.

Tawaran menarik dari arsitektur modern dengan komponen cepat pasang berbasis
semen,
batu, dan besi membuat rumah kaku dan rentan terhadap bencana alam.
Tentu tidak arif memberi penilaian bahwa pendekatan modern ini buruk jika
dibandingkan dengan arsitektur bangunan tradisional. Kita wajib menggunakan
prinsip
nambahake (menambahkan) rancangan yang menjadikan arsitektur cepat bangun
memiliki sifat lentur, khususnya pada fondasi dan komponen-komponen
sambungan.
Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai struktur bangunan tahan gempa. Hal
ini berlaku
juga pada pembangunan bangunan-bangunan lain di darat dan di pesisir, baik
untuk
rumah, bangunan publik, maupun industri. Merupakan kewajiban bagi pemerintah
untuk
menetapkan persyaratan bangunan (yang dikenal dengan istilah building code &
standard)
dan melakukan pengawasan dengan saksama dalam pemenuhan persyaratan
tersebut.

Agar masyarakat siaga?

Mengenali potensi bencana merupakan prasyarat dalam mitigasi bencana.
Pelajaran dari
pengetahuan turun temurun, kearifan lokal dan memadukannya dengan
pengetahuan dan
pengalaman logis yang ditumbuhkembangkan oleh kaum intelek di kampus,
laboratorium, studio, atau kelompok ormas dan LSM domestik serta
internasional akan
menjadi ciri khas alias keunikan pendekatan ala Indonesia. Niteni, niroake,
dan
nambahake akan menambah koleksi solusi anak negeri sebagai perwujudan moto
Bhinneka Tunggal Ika.

Kombinasi bangun dan sebarluaskan merupakan cara efektif dalam upaya
menjadikan
masyarakat kita siaga terhadap bencana. Inisiatif masyarakat Padang,
Sumatera Barat,
melakukan simulasi gempa dan tsunami yang dipimpin langsung Wali Kota Padang
beberapa bulan lalu merupakan contoh yang bukan cuma patut diacungi jempol,
melainkan ditiru, khususnya bagi masyarakat-masyarakat di pesisir Sumatera,
Jawa, NTB,
NTT, Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau lain. Paket-paket pendidikan dan
pelatihan
menghadapi bencana tsunami, gempa tektonik, dan letusan gunung api mesti
terus
dibangun, disebarluaskan, dan diterapkan melalui berbagai peluang
pembelajaran publik,
baik dengan prinsip wajib atau sukarela.

Bayangkan seandainya kiat smong masyarakat Simeulue sempat kita budayakan di
Aceh,
pembelajaran dan simulasi tsunami ala Pemkot Padang dengan sungguh-sungguh
kita
lakukan dan T-EWS telah efektif… tentu tragedi tsunami 26 Desember 2004
tidak
memakan korban sebesar yang kita alami.

Seandainya budaya membangun rumah kaum Badui, Banten Dalam, telah menjadi
kebiasaan masyarakat Yogyakarta, paket pelatihan menghadapi gempa telah kita
terus
bangun, sebar luaskan, dan terapkan dan MH-EWS telah terbangun dan
berfungsi… tentu
kehancuran dan korban gempa tektonik 27 Mei 2006 akan minimal.
Terlambat? Mengapa tidak… karena itu lebih baik dari tidak melakukannya sama
sekali.

Kusmayanto Kadiman Menteri Negara Riset dan Teknologi

Comments

Popular posts from this blog

prediksi bencana alam

Best Free Software

not about us