Merintis Gerakan Rekonsiliasi Akar Rumput Berperspektif Jender
Budiawan
PADA suatu malam di penghujung tahun 1965 di Blora, Jawa Tengah, rumah Pak Sabar, bukan nama sebenarnya, didatangi sekelompok pemuda yang beberapa di antaranya berseragam loreng-loreng. Ketika pintu depan diketuk, Pak Sabar-yang sebelumnya aktivis Pemuda Rakyat-segera cepat-cepat keluar lewat pintu belakang dan lari bersembunyi di semak-semak di tepi sungai yang agak jauh dari desa mereka.
Sementara itu, Bu Sumini, istri Pak Sabar, dan seorang anak gadisnya berjalan ke ruang tamu membuka pintu depan. Tanpa banyak basa-basi, sekelompok pemuda itu masuk ke dalam rumah, mencari Pak Sabar dan menggeledah seisi rumah kalau-kalau di situ tersimpan senjata api dan dokumen-dokumen penting. Karena orang yang mereka cari tidak ada, mereka pun memaksa Bu Sumini dan anak gadisnya mengikuti mereka ke kantor polisi di kota.
Sejak saat itu, Bu Sumini dan anak gadisnya menjadi tahanan, sedangkan Pak Sabar berpindah-pindah dari satu tempat persembunyian ke tempat persembunyian yang lain. Hampir setahun mereka hidup berpisah, tidak saling kontak, sampai kemudian Pak Sabar tertangkap di sebuah kampung di Jakarta. Kini giliran Pak Sabar yang ditahan tanpa proses pengadilan, sedangkan istri serta anak gadisnya dilepas.
SEPENGGAL kisah nyata itu dituturkan oleh seorang putri kiai Nahdlatul Ulama (NU) dalam sebuah acara bertajuk Pelatihan Gender Mainstreaming dan Penelitian untuk Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Masyarakat Korban Tragedi 1965-66 Berperspektif Jender. Pelatihan itu diselenggarakan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sekelompok anak muda NU, yakni Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat), bekerja sama dengan Cordaid (Belanda) di Wisma Sargede, Yogyakarta, 27-31 Desember 2003. Kisah itu hanyalah satu dari dua puluh dua kisah yang dituturkan oleh para peserta Pelatihan yang berasal dari LSM-LSM jaringan Syarikat, yang tersebar di dua puluh dua kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur (termasuk Madura), dan Bali. Setiap LSM diwakili dua orang, yang masing-masing berasal dari keluarga korban tragedi 1965-1966 dan keluarga Nahdliyin. Sekitar sembilan puluh persen peserta pelatihan adalah perempuan.
Selama lima hari, dengan didampingi sebuah tim fasilitator yang terdiri dari Nursyahbani Katjasungkana (Komnas Perempuan), Ruth Indiah Rahayu (Kalyanamitra), Ira Febriana (Cordaid), M Imam Azis, Taufiqurrahman, dan Syaiful H Shodiq (Syarikat) serta saya sendiri, para peserta pelatihan yang sebelumnya telah mencatat kisah-kisah para istri/ibu/anak perempuan korban-korban tragedi 1965-1966 di daerah asal masing-masing, belajar bersama melakukan analisis dengan perspektif jender atas kasus-kasus yang telah mereka dokumentasikan. Salah satu temuan yang menonjol dalam penuturan kisah-kisah itu adalah gambaran betapa beratnya perjuangan hidup para istri yang suaminya ditahan atau dibunuh dalam tragedi 1965-1966. Hal lain yang tidak kalah tragisnya adalah tidak sedikit para istri itu yang hingga kini relatif belum cukup terbuka untuk menuturkan pengalaman-pengalaman pahit masa lalu mereka.
Berbeda dari berbagai gerakan rekonsiliasi akar rumput sebelumnya, di mana fokus perhatian adalah para eks tahanan politik (tapol) peristiwa 1965, yang notabene mayoritas laki-laki, Syarikat kali ini belajar menggunakan perspektif jender untuk memahami dampak-dampak tragedi 1965-1966. Dengan perspektif ini, mulai terkuak adanya perbedaan pengalaman antara laki-laki dan perempuan yang baik langsung maupun tidak langsung terkena dampak tragedi 1965-1966. Tersingkap pula bahwa yang disebut korban bukan hanya mereka yang dibunuh atau ditahan, yang sebagian besar laki-laki, tetapi juga keluarga yang mereka tinggalkan. Mereka yang disebut belakangan ini tidak hanya harus berjuang bertahan hidup, tetapi juga berjuang tetap tabah menghadapi hujatan dan stigmatisasi sebagai "istri PKI", atau "anak PKI", atau "keluarga PKI dari lingkungan sekitar, entah tetangga atau bahkan kerabat sendiri.
Dengan perspektif jender ini pula, terbangun sebuah kepekaan bukan hanya tentang beban hidup para istri tapol, melainkan juga beban psikologis mereka menghadapi berbagai pengalaman hidup pahit. Karena telah terkondisikan di dalam kultur patriarkis, di mana perempuan nyaris tidak terlibat dalam kegiatan produksi, beban hidup menjadi terasa berat ketika suami mereka ditahan atau dibunuh. Para istri tapol atau janda korban pembantaian nyaris harus berjuang sendirian menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Tidak sedikit di antaranya yang harus memulai dari nol, yakni menjadi buruh industri rumahan atau berwiraswasta kecil-kecilan. Ketika ada di antara mereka yang kemudian berhasil keluar dari lembah kemiskinan, sementara suami mereka masih berada di tahanan, tidak jarang mereka menghadapi cibiran dari masyarakat sekitar. Seperti kasus di Klaten, di mana seorang istri tapol yang sukses menjadi pedagang kain, para tetangga di sekitarnya mencibirnya sebagai memiliki prewangan. Cibiran ini refleksi dari pandangan umum bahwa seakan-akan perempuan tidak mampu menjadi wiraswastawan.
Cobaan hidup lain yang harus dihadapi para istri yang berhasil keluar dari lembah kemiskinan datang justru dari suami mereka sendiri. Ketika para suami telah keluar dari tahanan, dan mendapati istri sebagai tiang penyangga utama kehidupan ekonomi rumah tangga, tidak sedikit suami yang tidak siap menghadapi situasi semacam ini. Tidak jarang situasi semacam ini berlanjut pada perceraian, atau "pisah ranjang", sebagaimana banyak terjadi di Subang, seperti dituturkan peserta dari Bandung.
Cobaan hidup lain lagi yang banyak dihadapi para istri tapol adalah "rayuan" dari para laki-laki yang mungkin juga terlibat dalam menjebloskan suami mereka ke tahanan. Di satu sisi mereka dihadapkan pada beban hidup yang berat, di mana jika mereka mau menerima "rayuan" itu mungkin beban hidup akan (sedikit) terkurangi. Tetapi, di lain pihak, kesetiaan mereka kepada suami yang tengah berada di tahanan yang tak seorang pun tahu sampai berapa lama diuji. Dihadapkan pada pilihan yang serba sulit ini, tidak sedikit para istri tapol yang akhirnya tak berdaya menghadapi "rayuan" para laki-laki yang mungkin merupakan "lawan politik" suami mereka. Dalam kasus ini ada yang kemudian menikah resmi, artinya mendapat persetujuan dari suami mereka yang masih berada di tahanan. Tetapi, tidak sedikit yang kawin tidak resmi, dengan segala cibiran dan hujatan dari berbagai pihak, baik dari kerabat sendiri maupun apalagi kerabat suami. Situasi pun menjadi kompleks dan rumit ketika suami mereka keluar dari tahanan. Lebih-lebih bila hubungan mereka dengan "suami" tidak resmi sampai membuahkan anak. Berbagai pengalaman pahit semacam ini cenderung mereka simpan rapat-rapat.
MASIH banyak kisah-kisah lain yang tidak kalah pahitnya. Tetapi, ada juga kisah yang romantis, sebagaimana dituturkan seorang putri yang kedua orangtuanya saling jatuh cinta sewaktu mereka sama-sama menjadi penghuni rumah tahanan sementara. Yang jelas, kisah-kisah yang dituturkan para peserta pelatihan itu selama ini nyaris tidak pernah diperbincangkan secara publik. Buku-buku sejarah lebih banyak memfokuskan perhatian pada sebab-sebab dan struktur kejadian "peristiwa 1965". Kalau toh belakangan ini bermunculan biografi atau otobiografi para eks tapol, kebanyakan ditulis oleh eks tapol laki-laki. Kalaupun ada yang ditulis eks tapol perempuan, hampir semuanya perempuan yang pernah aktif di salah satu ormas di lingkungan PKI.
Jelas otobiografi atau biografi para eks tapol itu sangat bermakna dalam membangun wacana sejarah tragedi 1965-1966. Namun, otobiografi atau biografi yang cenderung bersemangat membela-diri dan terkadang heroik-romantis itu hampir-hampir tidak berbicara tentang pengalaman hidup para perempuan biasa, yang ternyata tidak kalah tragisnya. Dalam kehidupan sehari-hari, pengalaman-pengalaman tragis para perempuan biasa itu seakan-akan tidak ada, atau dianggap tidak pernah ada. Padahal, ingatan akan pengalaman-pengalaman pahit itu tidak pernah bisa sepenuhnya lenyap. Sebab, memang tidak ada yang disebut "total amnesia", begitu pula "total remembering".
Kini Syarikat dengan prakarsa barunya mencoba secara perlahan-lahan mengangkat ingatan yang terpendam itu. Ini merupakan langkah awal proses penyembuhan, tak lain agar masa lalu tidak lagi menjadi beban. Bila dalam gerakan-gerakan rekonsiliasi akar rumput terdahulu, Syarikat telah berperan sebagai mediator dalam berbagai forum sambung rasa antara warga NU dan keluarga eks tapol di berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kini, dengan bertolak dari perspektif jender. Karena itu, melibatkan banyak kaum perempuan, Syarikat berupaya memberikan edukasi di kalangan perempuan Nahdliyin tentang kisah-kisah hidup sesama perempuan yang kebetulan suami mereka dulu secara politik berseberangan dengan NU. Bila kebiasaan memberikan stigma kepada para keluarga eks tapol, yang sering masih dijumpai di dalam masyarakat luas, tidak (lagi) berkembang di kalangan perempuan NU, hal itu sudah merupakan langkah awal positif menuju rekonsiliasi. Sebab, rekonsiliasi tidak sekadar koeksistensi atau hidup berdampingan, tetapi hapusnya sikap saling curiga, yang berarti juga lenyapnya "ketakutan" bahwa "the other"' merupakan ancaman bagi "the self"; selain itu juga hilangnya klaim bahwa "the self" secara moral lebih tinggi daripada "the other".
Pelatihan selama lima hari yang diprakarsai Syarikat itu sekurang-kurangnya telah menghadirkan situasi di mana para putri dari keluarga NU tidak memandang rekan-rekan mereka yang berasal dari keluarga eks tapol dengan nada hina; sebaliknya, para putri keluarga eks-tapol tidak perlu merasa rendah diri dalam menuturkan kisah-kisah hidup diri dan keluarga mereka. Keterbukaan berkomunikasi baru merupakan jembatan awal rekonsiliasi. Langkah selanjutnya adalah keseriusan menggali pengalaman masa lalu lebih dalam, tidak lain untuk lebih saling memahami dan menerima pihak lain apa adanya.
Budiawan Alumnus National University of Singapore, Menulis Disertasi tentang Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto; Kini Mengajar di Universitas Sanata Dharma
dari:kompas
Comments
Post a Comment