Museum Tsunami dan Bustanussalatin
[ penulis: Reza Idria Mohd. Roem | topik: Budaya ]
Si KUNTARI, burung peliharaan kami yang telah mati; untuk mengenangnya saya menukilkan kisah ini. Sebuah cerita yang akan saya urutkan dengan banyak sekali “maka”.
Hatta, suatu ketika sang raja gusar pada tingkah seekor burung yang dipandangnya hanya bisa berbunyi dan terbang ke sana ke mari, tidak berbudi, dan tak bisa membaca kitab suci. Maka terbitlah pikiran raja agar burung yang nakal ini sebaiknya diajar supaya pintar. Tapi bukankah sebelumnya harus diketahui dulu kenapa burung bisa sebodoh itu? Raja kita meminta usulan dari kerabat dan cerdik pandai kerajaan.
Penyebab pertama kebodohan si burung disimpulkan ada pada kandangnya yang terbuat dari jerami, sangat tidak layak untuk ditempati. Perlu dibuatlah kandang dari emas yang megah dan berkilauan. Pandai emas yang menjadi arsitek kandang tersebut mendapat puja-puji dan diganjar berkantung-kantung emas oleh sang raja yang bahkan tak sanggup dipikulnya.
Perihal berikutnya, atas usulan cerdik pandai kerajaan, agar si burung terpelajar, maka disediakan buku-buku terbaik untuk dibaca selama ia dididik dalam sangkar barunya. Para cerdik pandai pengusul yang memberi usul sangat beradab itu tentu saja diberkahi beragam hadiah sehingga mereka dan keluarganya bisa hidup bersuka-cita di menara-menara tinggi.
Para penyalin naskah pun diundang. Mereka bekerja siang malam menyalin buku-buku, lalu menyalin ulang buku-buku yang sudah disalin, sehingga salinan itu menumpuk setinggi gunung. Untuk mengawasi pekerjaan ini dirasakan perlu mempekerjakan pengawas, dan para pengawas itu dirasa juga harus diawasi kerja mereka dalam mengawasi, maka diangkatlah kembali sejumlah pengawas agar mengawasi para pengawas pekerjaan. Bukan main banyaknya orang yang diperlukan dalam upaya mendidik burung yang bodoh. Semua yang terlibat mendapat imbalan yang tak terbayangkan sebelumnya. Perhiasan yang bertabur lekas menutupi sekujur tubuh isteri-isteri mereka. Luar biasa.
Setelah kandang selesai dan buku-buku sudah disalin dengan sempurna, tiba saat memulai proses pendidikan si burung yang bodoh. Namun sebelumnya mesti didahului pesta yang meriah karena tentu sang raja berkenan menghadirinya. Diundanglah para kerabat, cerdik pandai pengusul, arsitek, pekerja, para pengawas, pengawas para pengawas dan tentu saja isteri-isteri mereka sehingga ramailah pesta itu. Tukang kritik yang tak diundang juga bergegas untuk mengamati dari jauh.
Ramainya pesta membuat si burung bodoh melompat ke sana-kemari dalam sangkarnya. Seorang polisi melihat dan memperingatkan para tamu akan kelakuan si burung. Kemudian semua undangan pesta menyesali tingkah burung yang bodoh. Sungguh burung itu tak tahu terimakasih, sungguh tak beradab, sungguh tak terpelajar. Maka seorang pandai besi dipanggil untuk merantai sayap sang burung agar tak kurang ajar lagi. O ya, tak lupa sebelumnya hadiah besar diberikan kepada polisi atas kewaspadaannya.
Salinan-salinan buku pelajaran terbaik haruslah segera dibaca oleh burung yang bodoh. Untuk mempercepat proses belajar, kertas-kertas salinan tersebut dijejalkan ke dalam mulut sang burung. Sungguh ia diam kini, semua orang berbahagia, si burung mulai tak cerewet lagi. Nampaknya sudah mulai beradab ia. Dan, akhirnya ilmu-ilmu terbaik bikinan manusia yang dijejalkan ke dalam mulutnya membikin sang burung bodoh tak bergerak lagi. Burung itu mati.
Tukang kritik lekas memperingatkan raja, tetapi raja berjanji akan mengganjar si tukang kritik dengan beratus cambukan.
***
Tentu bukan tanpa pijakan ketika Rabindranath Tagore menuliskan kisah yang saya rawikan kembali itu (pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang menawan oleh Indria Sabati). Terang sekali penyair terbesar dan salah satu pemikir agung Hindustan ini sedang menertawakan kepintaran dan adab ummat manusia sebagai cermin kedunguan di seberangnya.
Maka pada hari-hari mengenang Kuntari, burung peliharaan kami yang telah mati, kisah tersebut membikin saya harus kembali terpaku pada dua sangkar besar yang sedang dikerjakan BRR dari duit orang-orang Aceh yang telah mati.
Dua sangkar megah berupa Museum Tsunami dan Taman Raja-Raja alias Bustanussalatin yang dipandang BRR dan para pembisiknya adalah kebutuhan mendesak, harus segera dibangun untuk membikin orang Aceh tampak beradab dan terpelajar. Kedua “sangkar” yang tak saya ragukan akan sangat jauh melampaui “burung”nya, bila sah kiranya saya menganalogikan kedua proyek sialan itu dengan kebutuhan Aceh pasca ditinggal mati ratusan ribu warganya.
Museum Tsunami di satu sudut dengan anggaran mencekam, sejumlah Rp 70 milyar! Menjadi sangkar untuk menghimpun segenap benda karatan bekas tikaman laut, dan digadang-gadangkan sangat penting dibangun saat ini. Sementara itu di petak lain tanah peninggalan orang Aceh yang mati juga sedang diwujudkan mimpi girang beberapa “cerdik-pandai” yang konon telah lelah melanglang ke segenap penjuru bumi dan merasa penting mengembalikan keagungan eksotik peradaban Aceh masa lalu melalui keberadaan taman raja “Bustanussalatin”, juga dengan anggaran dana orang mati.
Seperti proses mendidik burung dalam hikayat satire Tagore, kita tahu ada banyak cerdik-pandai pengusul, arsitek, pekerja, pengawas dan pengawas para pengawas yang berbahagia kecipratan dana kematian dari BRR. Maka tukang kritik yang malang mengendap-ngendap untuk mengabarkan berita ini.
Khusus untuk membangun museum dan taman raja-raja, tentu para cendikia pengusul adalah para “Don” yang tampaknya teracuni mimpi Mooij Indie warisan kolonial Eropah. Perkara merawat sejarah adalah alasan yang diajukan para “Don” untuk mendukung betapa pentingnya museum dan taman dibangun, namun fakta bahwa sekian pekerjaan BRR atas bisikan para “Don” yang menganjurkan bagaimana cara cepat menghabiskan anggaran adalah kepintaran dengan cermin kedunguan di seberangnya. Seperti usulan membuat bukit penyelamatan untuk tsunami sementara bukit yang sudah ada di kawasan Peukan Bada dibiarkan dan tinggal menunggu waktu untuk habis dikeruk.
Para pengusul ini bersikap seolah-olah bisa mengajarkan dan merepresentasikan bagaimana semestinya orang Aceh mengenang. Seolah puak langganan nestapa ini adalah bangsa pelupa yang harus diajar cara mengingat. Mereka lelap, menafikan apa kata Milan Kundera bahwa manusia itu hidup untuk melawan lupa. (Ulah dan bagaimana mendefinisikan para “Don” kabarnya ditulis lebih detail oleh seorang kawan di majalah Aceh Kini edisi Agustus 2008).
Mereka luput bahwa bagi sebagian besar orang Aceh yang sedang mengharap rumahnya lekas selesai, berharap anaknya dapat bersekolah agar tak selalu dapat dikelabui para “Don”, berharap malam-malam tak kerap gelap karena dikhianati oleh listrik negara, berharap para tenaga medis merawat mereka dengan hati hingga tak sampai memotong “kenikmatan masadepan” anak-anak mereka. Maka sungguh untuk zaman berperadaban ini keberadaan sekian kuburan massal, rekaman film, buku-buku, komik, gambar-gambar dan kepedihan dalam ingatan sudah cukup bagi orang Aceh yang masih hidup untuk tetap mengenang peristiwa duka itu.
Bencana alam, dengan sangat waras disadari oleh orang Aceh adalah kehendak tuhan, setiap saat bisa berulang dengan segenap keterbatasan kita sebagai manusia. Bila ada nestapa yang harus terus menerus dikenang oleh orang Aceh adalah mara yang bersebab pada keserakahan manusia, kejahatan militer dan kealpaan negara. Kemanakah kita simpan parade perang, pembunuhan, pembakaran, pemerkosaan dan pembodohan sekian puluh tahun? Kenapa tak ada yang mencoba membangun museum untuk kejahatan manusia di Aceh yang kegunaannya untuk pelajaran dan pencegahan lebih mungkin dibanding dengan apa yang dilakukan alam?
Sedang dongeng taman raja-raja (bustanussalatin) yang sarat semangat hedonis-feodalistik itu, boleh adakan sensus untuk menanyakan pentingkah ini bagi korban tsunami? Jangan-jangan untuk memuaskan mata dan hasrat segelintir “Don” yang berbahagia, yang kerap menggunakan alasan penting dan urgensi untuk melampaui sikap etik dalam nurani mereka.
Maka selepas BRR di pertengahan 2009, orang-orang Aceh akan membangun museum dalam kepalanya tentang berapa gaji Kuntoro dan para “Don”, tentang kepanikan Kuntoro tatkala ambruknya lantai bangunan penyelamatan yang sedang dikunjunginya dengan rombongan menteri, tentang museum tsunami 70 Milyar yang belum jelas darimana uang perawatan dan siapa yang bisa mengurusnya nanti, tentang taman raja-raja yang hingga saat ini konon hanya ada plakatnya saja, tentang konferensi ICAIOS yang tak jelas juntrungnya kemana, tentang keburukan, tentang kebohongan. Apa orang Aceh tak tahu terimakasih? Bukan, orang Aceh tidak tahu harus berterimakasih untuk apa dan kepada siapa.
*) Penulis adalah pengurus Sekolah Menulis Dokarim, berkhidmat untuk kerja-kerja budaya di Liga Kebudayaan Tikar Pandan
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1721
Si KUNTARI, burung peliharaan kami yang telah mati; untuk mengenangnya saya menukilkan kisah ini. Sebuah cerita yang akan saya urutkan dengan banyak sekali “maka”.
Hatta, suatu ketika sang raja gusar pada tingkah seekor burung yang dipandangnya hanya bisa berbunyi dan terbang ke sana ke mari, tidak berbudi, dan tak bisa membaca kitab suci. Maka terbitlah pikiran raja agar burung yang nakal ini sebaiknya diajar supaya pintar. Tapi bukankah sebelumnya harus diketahui dulu kenapa burung bisa sebodoh itu? Raja kita meminta usulan dari kerabat dan cerdik pandai kerajaan.
Penyebab pertama kebodohan si burung disimpulkan ada pada kandangnya yang terbuat dari jerami, sangat tidak layak untuk ditempati. Perlu dibuatlah kandang dari emas yang megah dan berkilauan. Pandai emas yang menjadi arsitek kandang tersebut mendapat puja-puji dan diganjar berkantung-kantung emas oleh sang raja yang bahkan tak sanggup dipikulnya.
Perihal berikutnya, atas usulan cerdik pandai kerajaan, agar si burung terpelajar, maka disediakan buku-buku terbaik untuk dibaca selama ia dididik dalam sangkar barunya. Para cerdik pandai pengusul yang memberi usul sangat beradab itu tentu saja diberkahi beragam hadiah sehingga mereka dan keluarganya bisa hidup bersuka-cita di menara-menara tinggi.
Para penyalin naskah pun diundang. Mereka bekerja siang malam menyalin buku-buku, lalu menyalin ulang buku-buku yang sudah disalin, sehingga salinan itu menumpuk setinggi gunung. Untuk mengawasi pekerjaan ini dirasakan perlu mempekerjakan pengawas, dan para pengawas itu dirasa juga harus diawasi kerja mereka dalam mengawasi, maka diangkatlah kembali sejumlah pengawas agar mengawasi para pengawas pekerjaan. Bukan main banyaknya orang yang diperlukan dalam upaya mendidik burung yang bodoh. Semua yang terlibat mendapat imbalan yang tak terbayangkan sebelumnya. Perhiasan yang bertabur lekas menutupi sekujur tubuh isteri-isteri mereka. Luar biasa.
Setelah kandang selesai dan buku-buku sudah disalin dengan sempurna, tiba saat memulai proses pendidikan si burung yang bodoh. Namun sebelumnya mesti didahului pesta yang meriah karena tentu sang raja berkenan menghadirinya. Diundanglah para kerabat, cerdik pandai pengusul, arsitek, pekerja, para pengawas, pengawas para pengawas dan tentu saja isteri-isteri mereka sehingga ramailah pesta itu. Tukang kritik yang tak diundang juga bergegas untuk mengamati dari jauh.
Ramainya pesta membuat si burung bodoh melompat ke sana-kemari dalam sangkarnya. Seorang polisi melihat dan memperingatkan para tamu akan kelakuan si burung. Kemudian semua undangan pesta menyesali tingkah burung yang bodoh. Sungguh burung itu tak tahu terimakasih, sungguh tak beradab, sungguh tak terpelajar. Maka seorang pandai besi dipanggil untuk merantai sayap sang burung agar tak kurang ajar lagi. O ya, tak lupa sebelumnya hadiah besar diberikan kepada polisi atas kewaspadaannya.
Salinan-salinan buku pelajaran terbaik haruslah segera dibaca oleh burung yang bodoh. Untuk mempercepat proses belajar, kertas-kertas salinan tersebut dijejalkan ke dalam mulut sang burung. Sungguh ia diam kini, semua orang berbahagia, si burung mulai tak cerewet lagi. Nampaknya sudah mulai beradab ia. Dan, akhirnya ilmu-ilmu terbaik bikinan manusia yang dijejalkan ke dalam mulutnya membikin sang burung bodoh tak bergerak lagi. Burung itu mati.
Tukang kritik lekas memperingatkan raja, tetapi raja berjanji akan mengganjar si tukang kritik dengan beratus cambukan.
***
Tentu bukan tanpa pijakan ketika Rabindranath Tagore menuliskan kisah yang saya rawikan kembali itu (pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang menawan oleh Indria Sabati). Terang sekali penyair terbesar dan salah satu pemikir agung Hindustan ini sedang menertawakan kepintaran dan adab ummat manusia sebagai cermin kedunguan di seberangnya.
Maka pada hari-hari mengenang Kuntari, burung peliharaan kami yang telah mati, kisah tersebut membikin saya harus kembali terpaku pada dua sangkar besar yang sedang dikerjakan BRR dari duit orang-orang Aceh yang telah mati.
Dua sangkar megah berupa Museum Tsunami dan Taman Raja-Raja alias Bustanussalatin yang dipandang BRR dan para pembisiknya adalah kebutuhan mendesak, harus segera dibangun untuk membikin orang Aceh tampak beradab dan terpelajar. Kedua “sangkar” yang tak saya ragukan akan sangat jauh melampaui “burung”nya, bila sah kiranya saya menganalogikan kedua proyek sialan itu dengan kebutuhan Aceh pasca ditinggal mati ratusan ribu warganya.
Museum Tsunami di satu sudut dengan anggaran mencekam, sejumlah Rp 70 milyar! Menjadi sangkar untuk menghimpun segenap benda karatan bekas tikaman laut, dan digadang-gadangkan sangat penting dibangun saat ini. Sementara itu di petak lain tanah peninggalan orang Aceh yang mati juga sedang diwujudkan mimpi girang beberapa “cerdik-pandai” yang konon telah lelah melanglang ke segenap penjuru bumi dan merasa penting mengembalikan keagungan eksotik peradaban Aceh masa lalu melalui keberadaan taman raja “Bustanussalatin”, juga dengan anggaran dana orang mati.
Seperti proses mendidik burung dalam hikayat satire Tagore, kita tahu ada banyak cerdik-pandai pengusul, arsitek, pekerja, pengawas dan pengawas para pengawas yang berbahagia kecipratan dana kematian dari BRR. Maka tukang kritik yang malang mengendap-ngendap untuk mengabarkan berita ini.
Khusus untuk membangun museum dan taman raja-raja, tentu para cendikia pengusul adalah para “Don” yang tampaknya teracuni mimpi Mooij Indie warisan kolonial Eropah. Perkara merawat sejarah adalah alasan yang diajukan para “Don” untuk mendukung betapa pentingnya museum dan taman dibangun, namun fakta bahwa sekian pekerjaan BRR atas bisikan para “Don” yang menganjurkan bagaimana cara cepat menghabiskan anggaran adalah kepintaran dengan cermin kedunguan di seberangnya. Seperti usulan membuat bukit penyelamatan untuk tsunami sementara bukit yang sudah ada di kawasan Peukan Bada dibiarkan dan tinggal menunggu waktu untuk habis dikeruk.
Para pengusul ini bersikap seolah-olah bisa mengajarkan dan merepresentasikan bagaimana semestinya orang Aceh mengenang. Seolah puak langganan nestapa ini adalah bangsa pelupa yang harus diajar cara mengingat. Mereka lelap, menafikan apa kata Milan Kundera bahwa manusia itu hidup untuk melawan lupa. (Ulah dan bagaimana mendefinisikan para “Don” kabarnya ditulis lebih detail oleh seorang kawan di majalah Aceh Kini edisi Agustus 2008).
Mereka luput bahwa bagi sebagian besar orang Aceh yang sedang mengharap rumahnya lekas selesai, berharap anaknya dapat bersekolah agar tak selalu dapat dikelabui para “Don”, berharap malam-malam tak kerap gelap karena dikhianati oleh listrik negara, berharap para tenaga medis merawat mereka dengan hati hingga tak sampai memotong “kenikmatan masadepan” anak-anak mereka. Maka sungguh untuk zaman berperadaban ini keberadaan sekian kuburan massal, rekaman film, buku-buku, komik, gambar-gambar dan kepedihan dalam ingatan sudah cukup bagi orang Aceh yang masih hidup untuk tetap mengenang peristiwa duka itu.
Bencana alam, dengan sangat waras disadari oleh orang Aceh adalah kehendak tuhan, setiap saat bisa berulang dengan segenap keterbatasan kita sebagai manusia. Bila ada nestapa yang harus terus menerus dikenang oleh orang Aceh adalah mara yang bersebab pada keserakahan manusia, kejahatan militer dan kealpaan negara. Kemanakah kita simpan parade perang, pembunuhan, pembakaran, pemerkosaan dan pembodohan sekian puluh tahun? Kenapa tak ada yang mencoba membangun museum untuk kejahatan manusia di Aceh yang kegunaannya untuk pelajaran dan pencegahan lebih mungkin dibanding dengan apa yang dilakukan alam?
Sedang dongeng taman raja-raja (bustanussalatin) yang sarat semangat hedonis-feodalistik itu, boleh adakan sensus untuk menanyakan pentingkah ini bagi korban tsunami? Jangan-jangan untuk memuaskan mata dan hasrat segelintir “Don” yang berbahagia, yang kerap menggunakan alasan penting dan urgensi untuk melampaui sikap etik dalam nurani mereka.
Maka selepas BRR di pertengahan 2009, orang-orang Aceh akan membangun museum dalam kepalanya tentang berapa gaji Kuntoro dan para “Don”, tentang kepanikan Kuntoro tatkala ambruknya lantai bangunan penyelamatan yang sedang dikunjunginya dengan rombongan menteri, tentang museum tsunami 70 Milyar yang belum jelas darimana uang perawatan dan siapa yang bisa mengurusnya nanti, tentang taman raja-raja yang hingga saat ini konon hanya ada plakatnya saja, tentang konferensi ICAIOS yang tak jelas juntrungnya kemana, tentang keburukan, tentang kebohongan. Apa orang Aceh tak tahu terimakasih? Bukan, orang Aceh tidak tahu harus berterimakasih untuk apa dan kepada siapa.
*) Penulis adalah pengurus Sekolah Menulis Dokarim, berkhidmat untuk kerja-kerja budaya di Liga Kebudayaan Tikar Pandan
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1721
Comments
Post a Comment