"Rekonsiliasi 1965, Tak Perlu Takut Lagi"
Peristiwa konflik dan pembantaian massal 1965 masih melekat dalam ingatan setiap generasi bangsa. Terlebih, di masa Orde Baru tragedi memilukan itu selalu direproduksi melalui sebuah film `resmi' Orde Baru tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ditayangkan setiap malam 30 September. Tak ayal, PKI terekam dengan jelas dalam ingatan sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai `musuh' dan tidak berhak untuk hidup di bumi Indonesia. Benarkah demikian?
Prof. Dr. Syafii Ma'arif, pendiri Ma'arif Institute dan mantan ketua umum P.P. Muhammadiyah itu prihatin atas sikap Orde Baru yang berlebihan terhadap PKI. Dalam Talkshow Agama dan Budaya yang diadakan CRCS UGM, Buya Syafi'i mengatakan saat itu sebagian elit dan anggota PKI memang pernah menyulut konflik horizontal dan konflik aliran yang tajam hingga ke desa-desa di beberapa daerah, bahkan kadang juga melakukan kekerasan. Tapi kekejaman rezim yang menumpasnya melalui pembantaian massal ratusan ribu warga sangatlah memprihatinkan, menjadikan PKI kemudian berposisi sebagai korban. Apalagi, Orde Baru, bersikap berlebihan dengan mencabut hak sipil politik keluarga mereka yang tak bisa dibenarkan oleh hak azasi manusia.
Benar bahwa saat itu terjadi ketegangan antar faksi politik aliran yang sangat tajam dimana PKI terlibat. Tapi Rm. Baskoro T. Wardaya, Direktur Pusat Studi Sejarah dan Etika Politik (PUSDEP), Universitas Sanata Dharma, dengan mengungkapkan fase-fase konflik, terutama setelah fase operasi pembunuhan massal Oktober 1965, menyatakan tak benar pembantaian massa dilatari murni motif aliran dan keagamaan. Menurutnya, jika ternyata pembantaian masal orang-orang PKI atas nama agama, karena PKI ateis, mengapa pembantaian tidak terjadi di Jawa Barat yang dikenal sangat agamis dengan latar belakang basis Masyumi yang kuat?
Tak bisa dipungkiri, selain menggunakan alat-alat negara, pembantaian massal 1965 juga meminjam `tangan' para agamawan. Ben Anderson menyatakan bahwa tidak ada satupun agama besar di Indonesia yang terbebas dari peran pembantaian orang-orang PKI saat itu. Rm. Baskara memandang sebenarnya para agamawan saat itu juga berposisi sebagai `korban'. Baik PKI dan tokoh-umat beragama adalah korban dari kontestasi politik kekuasaan yang sengit. Untuk itulah kini, keduanya perlu merumuskan jalan rekonsiliasi secara bersama-sama. Rupa-rupanya banyak tokoh agama telah memiliki kesadaran seperti itu. Ketika masih menjadi Ketua PBNU, Abdurrahman Wahid pernah meminta maaf atas kekejaman peristiwa 1965. Ketika menjabat sebagai presiden, Wahid juga sempat mengusulkan pentingnya mencabut TAP MPR Nomor XXV/MPR/1966 tentang Larangan Pengajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Syarikat, sayap gerakan anak-anak muda NU, telah memulai upaya-upaya rekonsiliasi secara kongkrit sejak beberapa tahun lalu di berbagai daerah. Gerakan ini telah melangkah jauh, tidak saja memberi perhatian pada silaturrahmi kemanusiaan para eks tapol 1965 dengan kaum santri, tapi juga memperhatikan perempuan korban 1965 yang menderita berlipat ganda atas tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah nasional bangsa ini.
Kesadaran serupa, meski dengan tekanan yang berbeda, mulai menjadi perhatian pemerintahan SBY. Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, berencana merealisasikan pemulangan para mahasiswa yang saat itu dikirim oleh Soekarno ke Eropa. Karena disinyalir mendukung PKI, para duta pendidikan bangsa itu dicabut hak kewargaannya oleh Orde Baru, dicekal, dan tidak bisa pulang ke negeri asalnya, Indonesia. Padahal selama di negeri orang, profesionalitas tak kurang dari 500 orang pintar tersebut dimanfaatkan oleh negara-negara Eropa.
Namun, kesadaran seperti itu tak selamanya dipahami sebagian masyarakat lain. Masih sulit rupanya menghapus sejarah ingatan kita tentang kekejaman PKI yang didoktrinkan oleh Orde Baru. Upaya rekonsiliasi belum menjadi pilihan popular dalam masyarakat kita. Karena, sebagian masih memahami rekonsiliasi sama saja dengan mengamini ideologi atau gerakan komunisme.
Anggapan akan bangkitnya komunisme di Indonesia merupakan phobia berlebihan. Buya Syafii menegaskan tidak ada alasan lagi untuk mengkhawatirkan kembalinya ideologi komunisme di bumi Indonesia. Di manapun ideologi komunisme sudah tidak lagi memiliki masa depan. Komunisme selalu menjanjikan akan mengusir kemiskinan di muka bumi. Tapi faktanya Partai Komunis di manpaun tak pernah bisa mensejahterakan warganya. Di Rusia dan Cina, kemiskinan yang seharusnya mereka perjuangkan malah balik `mengusir' komunisme, karena janji-janji komunisme yang tak pernah terbukti.
Akhirnya sebenarnya rekonsiliasi tidak bersangkut paut dengan kepentingan ideologi. Kepentingannya tak lain adalah keinginan menjalin kembali silarurrahmi kemanusiaan dan upaya memanusiakan manusia. Umat beragama apapun yang syarat dengan sikap arif, sikap minta-memberi maaf atas kesalahan masa lalu selayaknya menjadi bagian penting dari upaya rekonsiliasi 1965. Sejarah ingatan buruk tentang 1965 memang terlalu kuat dikonstruk rezim sebelumnya. Namun upaya-upaya rekonsiliasi yang telah mulai dilakukan memberi harapan masa depan bangsa yang lebih adil dan manusiawi.
Comments
Post a Comment