Tentang Tragedi 1965

Romo BakaraTahun
2005 merupakan tahun peringatan 40 tahun salah satu lembaran paling
hitam dalam sejarah Indonesia, yakni Tragedi 1965. Dalam tragedi itu
ada tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat ditangkap dan dibunuh
sebagai akibat operasi militer yang diadakan oleh Letkol Untung dan
kawan-kawan. Selanjutnya ada ratusan ribu rakyat Indonesia yang
kemudian dalam tempo beberapa bulan tewas dibantai oleh sesama warga
negara. Lebih lanjut, selama beberapa dekade berikut, ingatan akan
Tragedi ‘65 terus diproduksi dan dikemas sedemikian rupa hingga
menjadi alat efektif untuk melayani berbagai macam kepentingan
kelompok.
Oleh karena itu dalam berbicara mengenai Tragedi
‘65 kita perlu memerinci dan menyoroti tiga unsur penting yang
tampaknya tak terpisahkan namun sebenarnya berbeda. Ketiganya adalah:
(a) operasi militer Letkol Untung dkk; (b) pembunu-han massal; (c)
produksi ingatan atas tragedi tersebut.
1. Operasi militer Letkol Untung dkk

Ketika orang berbicara mengenai peristiwa G30S tahun 1965 biasanya
narasi yang berlaku adalah sebagai berikut. Pada tanggal 30 September
1965 melalui Pasukan Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan
jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta.
Begitu kejamnya orang-orang PKI itu sehingga enam orang Jendral plus
seorang Kapten telah menjadi korban. [Dalam salah satu operasi
penangkapan, seorang Jenderal berhasil lolos dari upaya itu, namun
putrinya tewas secara mengenaskan di tangan PKI.] Kekeja-man PKI
berlanjut di Lubang Buaya, dengan jalan menyayat-nyayat tubuh para
Jendral. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerwani
bahkan memotong alat-alat vital para Jendral itu sambil menari-nari di
tengah orgi yang disebut “pesta harum bunga”. Mata dari
sebagian korban juga dicungkil dengan alat khusus.

Karena PKI dipandang sebagai satu-satunya “dalang” dari
peristiwa keji tersebut, maka sudah selayaknya bahwa ratusan ribu
anggota PKI di manapun mereka berada dibunuh secara beramai-ramai.
Pantas pula peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu
disebut “G30S/PKI” dengan tekanan pada
“PKI”-nya karena PKI merupakan pelaku utama. Juga, pantas
kalau istilah yang dipakai adalah istilah “Gestapu”
(Gerakan September Tigapuluh). PKI juga layak ditumpas karena
sebelumnya mereka telah dua kali memberontak (tahun 1926/27 dan 1948),
dan ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis yang
ateis.

Selanjutnya, siapapun yang telah berhasil “menyelamatkan”
negara dan bangsa ini dari kaum komunis dengan jalan memimpin operasi
pembantaian dan pemenjaraan massal atas mereka “berhak”
menjadi pemimpin tertinggi Republik Indonesia. Tanpa kepemimpinannya
(dan orang-orang dekatnya) negeri ini akan terus-menerus berada di
bawah rong-rongan kaum komunis yang licik.

Lepas dari apakah setuju atau tidak dengan narasi tersebut, kalau
diteliti lebih lanjut akan muncul sejumlah “misteri” yang
belum terjawab. Misalnya saja, PKI adalah organisasi sipil, tetapi
mengapa tokoh-tokoh kunci dalam Gerakan Tigapuluh September (G30S) itu,
yakni Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief dan Brigjen Soepardjo, justru
adalah para personil militer, khususnya TNI-Angkatan Darat? Perlu
diingat, Angkatan Darat sendiri sejak Pemilu 1955 telah sengit
berlawawan dengan PKI antara lain karena kemenangan PKI dan kekalahan
IPKI dalam pemilu tersebut. [IPKI /Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia adalah partai politik yang dipelopori oleh Angkatan Darat].

Dalam pledoinya, Kolonel Abdul Latief mengatakan bahwa sebelum
dilaksana-kannya operasi militer itu ia telah melapor ke Pangkostrad
Mayor Jendral Soeharto (Latief: 2000, 157-158; 277-282). Pertanyaanya,
mengapa Mayjen Soeharto tidak melaporkan rencana operasi militer itu ke
atasannya, yakni Jendral Ahmad Yani sebagai Panglima Angkatan Darat,
atau ke Presiden Sukarno sebagai Panglima Tertinggi? Padahal ia tahu
bahwa operasi militer itu adalah operasi besar dan akan segera
berlangsung di Ibukota negara.

Sejauh mana sebenarnya keterlibatan pihak-pihak asing dalam peristiwa
itu? Dalam konteks Perang Dingin tentu ada banyak negara yang senang
atau khawatir dengan perkembangan politik di Indonesia waktu itu,
terutama berkaitan dengan kecenderungan politik Presiden Sukarno,
perkembangan PKI, serta dinamika militer (khususnya Angkatan Darat).
Sangat mungkin bahwa sejumlah negara, entah itu dari blok kapitalis
pimpinan AS atau dari blok komunis pimpinan Uni Soviet dan Cina, ikut
berkepentingan atas terjadinya perubahan drastis dalam perpolitikan di
Indonesia.

Satu-satunya link
yang menghubungkan Gerakan 30 September dengan PKI adalah Ketua
Biro Khusus PKI, yakni Sjam Kamaruzzaman alias Sjamsul Qamar Mubaidah.
Oleh PKI ia ditugasi untuk "membina" sejumlah anggota TNI-AD agar
mendukung PKI. Akan tetapi bagaimana dengan dugaan bahwa sebenarnya ia
adalah sekaligus bertindak sebagai agen ganda yang juga bertugas
memata-matai gerak PKI demi kepentingan militer? Kalau dugaan itu
benar, bagaimana mungkin posisi Sjam yang masih meragukan itu bisa
dijadikan bukti bahwa PKI merupakan satu-satunya "dalang" dari operasi
militer G30S?
Selanjutnya, benarkah dalang dari operasi militer itu
tunggal? Tidakkah mungkin bahwa dalang dari peristiwa itu bukan satu
melainkan beberapa? Bisa jadi, operasi militer yang dilakukan oleh
kelompok G30S itu merupakan muara dari berbagai kelompok kepentingan
yang mengharapkan ada perubahan fundamental dalam perpolitikan
Indonesia saat itu. Kelompok kepentingan itu bisa datang dari dalam
maupun dari luar negeri.

Benarkah apa yang terjadi pada malam 30 September -1 Oktober 1965 itu
merupakan “pemberontakan” sebagaimana selama ini dipahami?
Penggunaan istilah ini perlu dicermati, karena secara etimologis
istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Istilah pemberontakan
dalam bahasa Inggris adalah rebellion, yang berarti “open defiance of or resistance to an established government”
atau suatu tindakan menentang/resistensi secara terbuka terhadap
pemerintah yang ada. Istilah itu perlu dibedakan dengan istilah coup d’etat (kudeta), yang berarti perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh tentara bersama sipil; dengan istilah pronounciamento yang berarti perebutan kekuasaan yang semua pelakunya adalah tentara; dan dengan istilah putsch
yang pengertiannya adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh
sekelompok tentara (Asvi: 2005). Dari definisi-definisi itu kelihatan
bahwa operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan
itu lebih dekat dengan pengertian putsch daripada
pemberontakan, karena tidak dimaksudkan untuk menggulingkan
pemerintahan Presiden Sukarno dan hanya dilakukan oleh sekelompok
tentara. Tetapi mengapa istilah yang dipakai selalu saja istilah
“pemberontakan” dan bukan putsch? Itupun selalu dikaitkan dengan "pemberontakan-pemberontakan PKI" yang terjadi pada tahun 1926/27 dan 1948.

2. Pembunuhan Massal

Apapun jawab atas pertanyaan-pertanyaan di atas, telah diketahui bahwa
dalam beberapa hari operasi militer yang diprakarsai oleh Letkol Untung
dan kawan-kawan itu menjadi publik dan dalam waktu singkat, yakni
tanggal 2 Oktober, dinyatakan abortive atau gagal. Koran PKI Harian Rakjat
menyatakan dukungan kepada operasi militer Untung, tetapi siapa
sebenarnya yang membuat pernyataan itu kini banyak diragukan. Letkol
Untungpun melarikan diri ke luar Jakarta. Sejak itu berlangsung masa
tenang, dalam arti tak terjadi pergolakan sosial yang berarti di
masayarakat, meskipun suasana tegang muncul akibat pembunuhan para
Jendral di Jakarta.
Pergolakan sosial baru terjadi sekitar
tanggal 20-21 Oktober ditandai dengan pembunuhan massal yang
berlangsung di Jawa Tengah, khususnya di daerah Klaten dan Boyolali.
Dengan kata lain, pembunuhan massal itu baru terjadi sekitar tiga
minggu setelah berlangsungnya operasi militer yang dilakukan oleh
Letkol Untung beserta G30S-nya. Dan pembunuhan massal itupun terjadi
secara bergelombang. Pada bulan Oktober pembunuhan terjadi di Jawa
Tengah, selanjutnya pada bulan November di Jawa Timur, dan baru pada
bulan Desem-ber terjadi di Pulau Bali.

Pembunuhan itu sendiri berlangsung secara sungguh keji dan sungguh
massal. Pada dinihari tanggal 23 Oktober 1965, misalnya, di Boyolali
ada sekitar 250 orang yang dibunuh secara beramai-ramai, termasuk
seorang guru SD dan istrinya yang dilempar ke sumur dalam keadaan
hidup-hidup (Dommen: 1966, 8). Dalam keadaan kaotik, banyak warga
keturunan Cina di Semarang, Yogyakarta dan Surakarta juga menjadi
korban amuk massa. Tindakan kejam serupa terjadi di berbagai tempat
lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan sejumlah lokasi di luar Jawa.
Jumlah pasti tentang berapa korban yang tewas sulit ditentukan, tetapi
umumnya berkisar antara setengah juta sampai satu juta jiwa (Crib
1990:8; Fein 1993:8). Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa
dari segi skala kekejaman dan jumlahnya, pembantaian massal 1965 di
Indonesia merupakan salah satu kekejian kemanusiaan di luar perang yang
paling mengerikan.

Di sinilah terletak aspek tragedi dari apa yang terjadi pada tahun 1965
itu. Yakni bahwa tujuh perwira tinggi telah tewas dan dikorbankan oleh
sesama warga negaranya, dan pembunuhan atas para perwira itu disusul
oleh pembantaian ratusan ribu (kalau tak mau dikatakan jutaan) warga
bangsa ini, juga oleh sesama wara bangsanya. Tak hanya berhenti di
situ, pembantaian warga sipil dan militer itu dilanjutkan dengan
pemenjaraan massal tanpa proses pengadilan. Hak-hak mereka sebagai
warga negara dicabut oleh rekan-rekan sebangsa mereka. Hak-hak asasi
mereka sebagai manusia terus dilanggar.

Berkaitan dengan pembunuhan massal itu tentu ada banyak hal yang bisa
dipertanyakan. Antara lain adalah, mengapa pembunuhan massal itu tidak
berlangsung secara serempak, melainkan bergelombang atau bergiliran?
Adakah faktor-faktor tertentu yang menjadi pemicu bagi mulainya
pembunuhan massal itu di masing-masing daerah? Bahwa sejak
diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan UUBH
(Undang-undang Bagi Hasil) pada tahun 1964 terjadi ketegangan antara
PKI dan para tuan tanah memang betul; tetapi mengapa pembantaian di
masing-masing daerah itu baru mulai terjadi pada tahun 1965 dan itupun
pada bulan-bulan terakhir tahun tersebut?

3. Produksi dan Reproduksi Ingatan

Guna menjawab pertanyaan di atas, tak dapat dipungkiri bahwa tampaknya
memang terdapat kesengajaan untuk mengarahkan atau bahkan memproduksi
ingatan (memory)
akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menurut versi tertentu, untuk
tujuan-tujuan tertentu pula. Misalnya saja penggunaan istilah
"G30S/PKI". Meskipun sebenarnya dalang yang sebenarnya dari pembunuhan
para Jendral itu belum jelas — bahkan ketika diketahui
bahwa tokoh-tokoh kunci dari operasi militer itu adalah anggota militer
— tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud untuk
memojokkan PKI. Bahkan penggunaan istilah "Gestapu" tampak sekali
disengaja untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi
oleh PKI itu dengan tentara rahasia Jerman Gestapo yang terkenal
kejamnya.
Produksi ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965
itu sudah dimulai ketika pada dua pekan pertama bulan Oktober hampir
semua koran disensor, dan hanya koran-koran tertentu yang boleh terbit,
khususnya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Melalui koran-koran ini, dan melalui berbagai cerita yang beredar di
masyarakat, dikisahkan mengenai berbagai kekejaman PKI di Halim Perdana
Kusuma, seperti kisah "pesta harum bunga", kisah pemotongan alat-alat
vital, serta kisah pencungkilan mata yang sampai sekarang belum
terbukti itu. [Brigjen TNI dr Rubiono Kertapati yang mengetuai tim
dokter yang melakukan autopsi atas para korban menyatakan dalam laporan
visum et repertum-nya bahwa tak ada penyiksaan atas tubuh para korban].

Lepas dari apakah orang setuju dengan PKI atau tidak, faktanya adalah
bahwa hanya kisah-kisah versi militer yang memojokkannya yang boleh
beredar pada waktu itu. Akibatnya, rakyat menjadi mudah disulut dalam
tindakan massal untuk menghabisi para anggota PKI. Slogan yang beredar
di masyarakat adalah “membunuh atau dibunuh”— persis
slogan militer dalam perang. Pembunuhan massalpun terjadi, dan bagaikan
Perang Baratayudha, bangsa Indonesia mandi darah saudara sendiri.
Kemudian pembunuhan itu diikuti dengan pemenjaraan massal di Jawa
maupun di luar Jawa, dan hampir semua tanpa didahului oleh proses
pengadilan yang memadai.

Selanjutnya, ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 menurut
versi tertentu itu tidak hanya diproduksi melainkan juga terus
direproduksi, karena produksi dan reproduksi macam itu menguntungkan
sejumlah pihak, baik dari kalangan militer maupun sipil. Pembuatan,
pemutaran dan pemaksaan untuk menonton film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI
pada tahun 1980-an hingga 1990-an hanyalah salah satu contoh. Dalam
film yang berat sebelah dan bernada propaganda itu ditunjukkan
kekejaman yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 yang menurut film
itu dilakukan oleh PKI. Bahkan ketika pada tahun 1998 pemutaran film
itu dihentikan, penggantinya adalah film Bukan Sekedar Kenangan,
yang isinya juga tetap secara berat sebelah mengingatkan orang akan
kekejaman PKI di masa lalu, dan akan hadirnya "bahaya laten" PKI dalam
kehidupan sehari-hari (Schreiner: 2002).
Oleh kelompok
kepentingan tertentu produksi dan reproduksi ingatan menurut versi
tertentu atas tragedi ’65 itu penting, karena hal itu dapat
digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol. Ia
menjadi semacam menara panoptik-nya Foucault yang berfungsi sebagai
sistem pengawasan yang dominan tapi tak mudah diduga. Pembubuhan kode
“ET” (Eks Tapol) pada KTP milik orang-orang yang melawan
kebijakan penguasa, misalnya, membuat orang-orang itu ketakutan dan
berpikir dua kali kalau tak mau tunduk pada pemerintah.

4. Konsekuensi lebih jauh

Lebih daripada sekedar membuat takutnya orang-orang yang KTP-nya dicap
“ET”, produksi dan reproduksi ingatan oleh penguasa yang
bersifat sepihak juga memiliki konsekuensi lebih jauh bagi kehidupan
bersama sebagai bangsa. Salah satunya ialah bahwa ingatan masyarakat
akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menjadi kabur dan campur
aduk. Masyarakat bahkan sulit membedakan antara (a) operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan dengan (b) pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia oleh rakyat Indonesia, serta (c) berbagai upaya produksi dan reproduksi ingatan akan tahun 1965 yang dimanipulasi.

Kebiasaan memusatkan peringatan Tragedi ’65 pada bulan September
adalah contoh bagaimana masyarakat mengira bahwa “puncak”
tragedi itu ada pada bulan September. Seakan-akan pada bulan
tersebutlah tragedi itu terjadi. Padahal pembunuhan para Jendral itu
terjadi pada bulan Oktober, dan pada bulan Oktober pula mulai terjadi
pembantaian massal di Jawa Tengah, yang kemudian terus berlangsung pada
bulan November, Desember, dst. [Sudah saatnya peringatan Tragedi
’65 digeser ke bulan Oktober atau setelahnya, supaya kita bisa
belajar untuk tidak saling membunuh].

Tidak lengkapnya ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun
1965 itu juga membuat tidak adanya upaya hukum untuk secara serius
mengadili para pemberi komando maupun para pelaku lapangan pembantaian
massal itu. Mahmilub yang diadakan pada waktu itu terkesan lebih
dimaksudkan untuk memposisikan tokoh-tokoh PKI dan para pelaku G30S
sedemikian rupa agar mudah dijatuhi hukuman (mati). Selain itu juga
dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan terhadap mereka yang punya
afiliasi dengan komunisme atau terhadap setiap gerakan kiri di negeri
ini.

Konsekuensi praktisnya ialah, kalau membunuh ratusan ribu orang saja
dibiarkan, orang akan merasa tidak apa-apa ketika melakukan
tindakan-tindakan lain yang sebenarnya jahat, tetapi ia pandang
“lebih ringan” daripada apa yang terjadi pada tahun 1965
itu. Misalnya tindakan melakukan penculikan dan pembunuhan atas
beberapa mahasiswa, mencuri beberapa milyar rupiah uang negara, menjual
sumber-sumber daya alam ke negara lain, atau memprovokasi
konflik-konflik horisontal yang korbannya “hanya” beberapa
ribu orang, dsb. Akibat selanjutnya adalah begitu banyaknya kasus
pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) berat yang tak pernah
diselesaikan secara tuntas di pengadilan, entah itu berkaitan dengan
masalah Maluku, Aceh, Poso, Tanjung Priok, Timor Leste, atau yang lain.
Situasi demikian tentu tak dapat dibiarkan terus berlang-sung. Untuk
itu perlu segera dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, keadaan akan
terus memburuk dan masa depan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa
yang adil dan demokratis akan semakin dipertanyakan.

5. Belajar dari Sejarah

Peringatan 40 tahun Tragedi ‘65 adalah momentum yang amat
berharga. Peringatan ini bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak, baik
para sejarawan maupun masyarakat pada umumnya, untuk secara kritis
meninjau kembali apa yang terjadi pada pertengahan 1960-an dengan
segala kompleksitasnya. Lebih dari itu, kita diundang untuk belajar
dari tragedi yang terjadi pada tahun 1965 itu, yang kekejamannya nyaris
tak tertandingi dalam sejarah Indonesia dan yang dampaknya masih tetap
mengganggu kehidupan bersama kita sebagai bangsa sampai sekarang.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut untuk belajar dari sejarahnya sendiri.


Romo Bas

Baskara T. Wardaya SJ, dosen Sejarah di USD, Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

prediksi bencana alam

Best Free Software

not about us