Terbunuhnya Spiritualitas Jawa
Sabtu, 30 Agustus 2008 | 11:23 WIB
Barangkali kami adalah anak-anak kota yang lahir bersama kesemenjanaan yang melahirkan kami. Kedangkalan yang datang bersama listrik. Itulah salah satu petilan novel Bilangan Fu karya Ayu Utami yang dibawakan penyair Landung Simatupang di Taman Budaya Yogyakarta, Kamis (28/8) malam. Tentu listrik bukan listrik dalam arti sebenarnya.
Listrik merupakan wakil dari modernitas yang telah melahirkan begitu banyak alat yang memajukan peradaban manusia. Sayang, modernitas tak selalu berarti kemajuan. Kemajuan itu dibayar dengan kematian. Nyi Roro Kidul salah satunya.
Sekali lagi, Nyi Roro Kidul dalam petilan Bilangan Fu itu adalah wakil dari sesuatu yang lebih dalam, yakni tradisi dan spiritualitas yang termuat di dalamnya. Listrik yang menghidupkan televisi. Ratusan kisah hantu haus sensasi di layar kaca itu telah mereduksi kisah spiritual menjadi tak lebih dari kisah mistis murahan. Diawali oleh aktris film Suzanna sebagai pemerannya, Nyi Roro Kidul mulai tampil di layar kaca sejak dekade 1970. Dalam film, ia ditampilkan sebagai mahkluk halus penguasa laut selatan yang kerap mengganggu manusia.
Figur Nyi Roro Kidul yang berambut panjang nan jelita namun gemar mencari korban untuk dijadikan abdi dalem di keratonnya itu lalu menghasilkan ratusan turunan kuntilanak dan genderuwo yang menghadirkan tawa seram di ruang tamu penduduk Pulau Jawa. Pelan- pelan, warga memercayainya. Cerita lain tentang Nyi Roro Kidul sebagai penyeimbang kekuatan penguasa di tanah Jawa yang tak pernah tersebut di layar kaca perlahan punah dari ingatan orang Jawa. Begitu juga tak banyak orang lagi yang tahu bahwa dalam sebuah dongeng rakyat, Nyi Roro Kidul dipercaya sebagai guru dari raja pertama Majapahit.
Saat ini, Nyi Roro Kidul hanya dipercaya sebagai lelembut pemberi pesugihan atau hantu yang menakutkan. Orang-orang tak lagi rasional melihatnya dan gampang sekali ketakutan dengan cerita-ceritanya. Nyi Roro Kidul sudah menjadi mistis murahan, padahal kisahnya adalah misteri yang menarik untuk dikritisi, kata Ayu Utami yang juga hadir dalam pertunjukan.
Petilan dengan panjang tak lebih dari 20 halaman itu merupakan versi pendek dari novel yang tebalnya mencapai 531 halaman. Sejumlah bagian dari novel ketiga Ayu Utami itu dipetil di sana-sini untuk menjalin satu kisah yang bisa habis terbaca dalam waktu satu jam. Dalam rangka menampilkan inti novel dalam bentuk padat, Ayu yang menulis sendiri naskah petilan itu sengaja memilih dua tragedi kemanusian yang terdapat dalam novelnya.
Tragedi kemanusiaan Tragedi pertama adalah peristiwa keracunan kue yang menimpa sekelas anak SD di pinggir pantai laut selatan. Dua pelajar yang tengah bersukaria merayakan kemenangan dalam sebuah lomba pentas teater itu tak terselamatkan. Tragedi kedua adalah peristiwa pembunuhan orang yang diduga sebagai dukun santet di daerah Tuban, Jawa Timur, sekitar akhir dekade 1990- an. Gelombang pembunuhan oleh segerombolan orang berkostum ala ninja itu meluas hingga memakan ratusan lelaki desa.
Walaupun terpisah dalam rentang 15 tahun, dua tragedi kemanusiaan yang sungguh pernah terjadi di Indonesia itu terikat oleh satu roh, Nyi Roro Kidul. Dalam dua kisah itu, Nyi Roro Kidul tampil sebagai sesuatu yang perlu ditakuti atau menjadi pemicu dari munculnya tragedi kemanusiaan. Dengan menggunakan sebuah berita dalam majalah terbitan Amerika Serikat, terungkaplah dugaan kuat bahwa dua tragedi kemanusiaan itu merupakan rekayasa dari pihak militer yang tengah menebarkan teror demi sebuah maksud politis.
Di sini terlihat militer menggunakan ketakutan buta atau kepercayaan dangkal penduduk terhadap mistis, kata Ayu. Topik ini mungkin cukup berat bagi sebagian orang. Kisah itu menjadi hidup dan menghibur oleh cara pembacaan Landung yang demikian ekspresif. Suara latar yang dimainkan oleh Tommy Simatupang, putranya, juga mendukung realisasi kisah. Pertunjukan itu berakhir dengan suasana duka yang gelap dan kosong ketika sebuah berita tiba bahwa seorang penghulu desa telah terbantai sia-sia. Tanpa membenarkan atau menyalahkan tuduhannya terhadap militer, melalui petilannya, Ayu menawarkan sebuah spiritualisme kritis. (IRE)
Comments
Post a Comment